LIMA BELAS

2694 Words
Andrian menghentikan motornya di depan Tempat Pemakaman Umum. Dia rutin berkunjung ke sana setidaknya sebulan sekali, sebab itu merupakan tempat peristirahatan terakhir sang adik. Adrian selalu mendoakan, merawat, serta membersihkan makam adiknya dengan sepenuh hati. Meski Mia sudah tidak ada di dunia ini, namun Adrian yakin bahwa Mia selalu melihatnya dari atas sana. Adrian memulai dengan mendoakan sang adik, menabur bunga, serta menuangkan air mawar di atas makam. Mia adalah gadis yang baik, Adrian yakin sekali bahwa adiknya akan mendapat tempat terbaik di sisi Tuhan.  Namun nyatanya, menjadi orang baik tak lantas membuat semua orang jadi menyukai kita. Terkadang, mereka yang membenci kita akan tetap seperti itu meski kita sudah melakukan seribu kebaikan. Itulah mengapa beberapa orang berkata bahwa berbuat baiklah tanpa mengharap balasan apapun. Kita tidak bisa mengontrol orang lain untuk bersikap seperti yang kita inginkan, tapi kita bisa mengendalikan diri kita sendiri untuk hanya melakukan hal-hal baik. Tapi bagaimana pun juga, Adrian adalah manusia biasa yang terkadang tidak bisa menahan emosinya. Ia masih terus memikirkan siapa orang yang berbuat jahat pada sang adik. Sampai saat ini, Andrian merasa gagal sebagai seorang kakak karena tidak bisa melindungi adiknya. Perasaan untuk mengungkap fakta di balik kasus kematian Mia akan selalu ada. Hanya saja saat ini, ia akan mengerahkan seluruh kemampuannya untuk gadis lain yang memiliki nasib malang seperti Mia. Adrian berharap Mia dan Karisa bertemu di sana dan menyaksikan perjuangannya untuk menyelesaikan kasus itu.  Sebelum pergi meninggalkan makam Mia, Andrian mengusap gundukan tanah itu seraya berkata, "Kakak akan melakukan yang terbaik untuk kamu, Mia. Kamu hanya perlu menunggu dengan tenang di atas sana hingga kakak menemukan orang itu." Ujarnya.  Tepat saat Adrian ingin mengendarai sepeda motornya, ia menerima panggilan masuk dari Julie. Tanpa menunggu lama ia pun langsung menjawabnya, "Ya, hallo?" Ucap Adrian. "Hallo, Adrian. Bisa kita ketemu malam ini? Ini berhubungan dengan penyidikan kasus Karisa." Jelas Julie dari balik ponselnya.  "Bisa. Mau bertemu dimana?"  "Nanti aku share alamat lengkap tempatnya ya. Kita ketemu di sana jam 7 malem."  Panggilan berakhir. Tidak ada kalimat basa-basi karena Julie juga sedang mempersiapkan sesuatu. Beberapa menit kemudian, Adrian menerima pesan singkat dari Julie yang berisi sebuah alamat rumah. "Jalan Pasir Jati nomor 50?" Ujarnya ketika membaca pesan tersebut. "Apa ini alamat rumah Julie?" Entah dia bertanya pada siapa. Namun yang pasti Adrian belum tahu bahwa dirinya akan bergabung dengan Baron untuk menyidiki kasus tersebut.  Masih ada waktu beberapa jam sebelum pertemuan itu. Adrian akhirnya memutuskan untuk pergi ke suatu tempat untuk mengambil sesuatu. Adalah kantor lamanya yang hendak ia datangi hari itu. Adrian ingin mengambil beberapa barang pribadi yang masih tertinggal di loker. Saat mengundurkan diri dan pamit pergi dari kantor Andrian memang dalam keadaan emosi, sehingga ada beberapa barang yang tak sempat dia bawa. Tapi hari ini dia ingin mengambilnya setelah mendapat informasi dari Nina bahwa atasannya sedang tidak ada di kantor karena tugas ke luar kota. Ya, Adrian masih enggan bertemu dengan atasan yang tak menghargainya.  Adrian berjalan memasuki gedung yang cukup mewah itu. Dia kemudian duduk di sofa yang disediakan di lobby kantor untuk para tamu. Matanya memandangi sekitar, tidak ada yang berubah bahkan setelah kepergiannya, seluruh pegawai masih sibuk ke sana kemari untuk menyelesaikan beban kerja masing-masing. Di depannya ada seorang pegawai yang sibuk merapikan berkas sambil berjalan menuju ruangan, sementara di ujung sana ada seorang pegawai yang sedang dicaci maki oleh klien dari balik telpone. Adrian pernah berada di posisi mereka. Bekerja sesuai target dan aturan perusahaan sekalipun tidak sesuai dengan prinsip hidupnya. Namun sekarang Adrian sudah memutuskan untuk menjalankan hidup sesuai dengan keinginannya. Tidak ada tuntutan dari pihak manapun.  Sementara dari arah sana, ada seorang wanita yang berjalan menghampiri Adrian dengan kedua tangan membawa kotak kardus berukuran sedang, ia adalah Nina. Nina sudah lebih dulu menjadi reporter di perusahaan itu di banding Andrian. Ketika Adrian bergabung, mereka pun langsung berteman baik. Bagi Adrian, Nina adalah rekan kerja sekaligus teman yang paling dekat dengannya. Namun bagi Nina, Adrian lebih dari sekedar teman dan rekan kerja. Beberapa bulan setelah mereka kenal, mulai muncul benih-benih cinta pada diri Nina. Ia jatuh cinta dengan sikap Adrian yang pandai bergaul. Tapi tentu saja Andrian tidak tahu itu. Nina pun tidak pernah mengungkapkan perasaannya pada Adrian. Dia lebih memilih untuk jatuh cinta diam-diam.  Nina meletakkan kotak kardus tersebut di pangkuan Adrian, "Nih barang-barang lo." Ucapnya sedikit sebal. Adrian memintanya untuk mengemas dan membawa turun barang-barang tersebut karena tidak ingin masuk ke ruangan.  Adrian tertawa kecil melihat ekspresi wajah Nina yang bete dengannya, "Terima kasih Nina-kuu!" Nina lalu duduk di samping Adrian, dia melenturkan tangannya yang pegal. Karena sedikit merasa bersalah dan tak enak hati, Adrian pun memijit-mijit kecil tangan Nina, "Sini deh gue pijitin." Adrian tidak sadar bahwa perlakuannya itu bisa membuat Nina terbawa perasaan.  Nina menelan ludah, dia buru-buru melepaskan tangan Adrian dari lengannya karena tak ingin terlihat salah tingkah. "Gak usah sok baik gitu deh. Lagian kenapa sih gak mau dateng ke ruangan? Kau kan tahu kalau Pak Bos sedang ke luar kota."  Adrian mengendikkan bahu, "Hanya sedang tidak ingin menjawab pertanyaan basa-basi dari rekan kerja yang lain. Lagi pula enakan di sini kok, kita jadi bisa mengobrol berduaan kan." Ujarnya seraya tersenyum pada Nina.  Nina berdeham, tetap berusaha untuk mengontrol ekspresi wajahnya agar tak kegeeran. "Jadi gimana sekarang?" Tanya Nina.  "Gimana apanya?"  "Kau sudah melakukan sesuatu yang kau inginkan? Itu kan alasanmu mengundurkan diri dari kantor?" Di jam-jam seperti ini, tidak banyak orang yang duduk di sofa lobby sehingga mereka bisa mengobrol dengan nyaman. Adrian melihat sekeliling, setelah memastikan bahwa tidak ada orang lain yang bisa mendengar percakapannya, dia pun bicara setengah berbisik pada Nina, "Aku sedang menyidiki kasus kematian seorang siswi SMA Cendikiawan III."  Nina memutar tubuhnya hingga berhadap-hadapan dengan Adrian, "Siswi yang meninggal setelah jatuh dari balkon sekolah?"  "Stttt..." Adrian meminta Nina mengecilkan volume suaranya. "Jangan keras-keras. Kau tahu kasus itu?" Nina mengangguk, "Bukankah kasus itu sudah ditutup oleh pihak kepolisian? Salah satu rekan reporterku dari stasiun tv sebelah berhenti meliput kasus itu karena pihak kepolisian sudah menghentikan penyidikan." Jelasnya. Itu adalah informasi yang belum diketahui oleh Adrian. Sejak mendengar kabar tersebut dari Baron, Julie memang belum memberitahu Adrian.  "Menghentikan penyidikan?" Ulang Adrian.  Nina mengangguk. "Bagaimana mungkin kau meliput kasus yang sudah ditutup secara resmi?"  Adrian tidak menanggapi pertanyaan Nina karena pikirannya sudah melayang entah kemana. Dia kemudian pamit meninggalkan Nina setelah berterimakasih karena sudah membantunya hari itu. "Gue pergi dulu ya, ada yang harus gue selesaikan."  Nina hendak mencegah Adrian, "Ta..." Namun Adrian melakukan satu hal yang membuat Nina tak bisa berkutik sedikitpun. Ia mengelus rambut Nina kemudian pergi meninggalkannya.  "Tapi gue masih kangen, Yan." Ucap Nina saat Adrian sudah berjalan menjauh. Nina tahu betul kenapa Adrian sangat tertarik dengan kasus kematian. Sebab saat kejadian itu, mereka berdua sudah berteman baik. Nina juga lah yang selalu berada di samping Adrian ketika pria itu dalam keadaan terpuruk pasca kematian Mia. Sejujurnya Nina ingin Adrian tetap bekerja di perusahaan itu, namun Nina tidak bisa berbuat banyak jika tindakan yang dilakukan oleh Adrian menyangkut dengan kematian Mia. Dia tahu bahwa Mia adalah segalanya bagi Adrian. Dan itulah alasan yang membuat Adrian nyaman berteman dekat dengan Nina, sebab dia adalah wanita yang berpikiran dewasa. Bukan hanya karena usianya yang lebih tua dua tahun dari Adrian, tetapi Nina juga tidak pernah bertindak kekanak-kanakan.  ****** Adrian ingin segera bertemu dengan Julie untuk menanyakan kabar tersebut. Ia pun memutuskan untuk datang ke alamat yang Julie berikan lebih awal sebelum jam yang mereka tetapkan. Adrian melajukan motor dengan kecepatan sedang, dia sedikit berhati-hati karena kondisi jalanan dalam keadaan licin setelah hujan lebat beberapa saat lalu. Kini yang tersisa hanya rintik-rintik hujan yang turun membasahi bumi. Dengan bermodalkan Google Maps sebagai petunjuk arah, Adrian yakin bisa menemukan alamat tersebut dengan cepat. Tanda panah yang ada di layar ponselnya menunjukkan jika ia harus belok kanan. Seratus meter setelah itu terlihat plank jalan bertuliskan "Jalan Pasir Jati", itu berarti dia sudah berada di jalan yang benar. Kini Adrian hanya perlu mencari rumah nomor 50, tempat dimana dirinya dan Julie akan bertemu.  Adrian memperhatikan lingkungan sekitar, itu bukan perumahan yang memiliki cluster atau komplek, melainkan sebuah kapling dengan rumah-rumah yang cukup luas. Tidak ada satpam seperti di perumahan, semua pedagang keliling bisa berjualan dengan bebas karena tidak memerlukan akses apapun. Lingkungan tersebut terbuka untuk umum. Sebelum masuk ke gang, Adrian juga menemukan banyak penjual makanan di kios-kios atau pinggir jalan, dan setelah masuk ke Jalan Pasir Jati, ia bisa menemukan beberapa warga yang membuka warung di rumahnya sendiri.  Pandangannya langsung mengarah ke sebuah rumah dengan gerbang tinggi berwarna hitam, di pagarnya terdapat tulisan NO. 50, itu adalah rumah yang dia cari. Rumah itu benaar-benar tertutup dari luar karena tingginya gerbang yang dipasang oleh sang empunya rumah. Bahkan tidak ada sedikitpun celah untuk megintip apa yang sedang terjadi di dalam rumah. Selain itu, terpasang cctv yang siap merekam kejadian apapun di depan atau sekitar rumah. Ada juga bel rumah yang harus dipencet oleh para tamu jika tidak ingin kehilangan suara mereka karena harus memanggil nama si pemilik. Dapat disimpulkan bahwa rumah tersebut memiliki sistem keamanan yang sangat baik. Adrian justru merasa itu cenderung berlebihan bagi orang biasa seperti dirinya. "Apakah Julie sebegitu takutnya seseorang akan menyeludup masuk ke rumahnya?" Batin Adrian.  Pria itu kemudian memencet bel sebanyak dua kali, beberapa menit kemudian terdengar suara bahwa seseorang sedang berusaha untuk membuka pintu gerbang tersebut. Betapa terkejutnya Adrian saat melihat bahwa yang keluar dari rumah itu adalah Baron, bukan Julie. "Lho..." Ujarnya bingung.  Baron hanya menatap Adrian lalu mempersilahkannya untuk masuk. Ia tidak suka membuka gerbang rumahnya terlalu lama. Selagi Adrian memarkirkan motornya di halaman rumah Baron, Baron kembali menutup gerbang rapat-rapat.  "Kau lagi bertemu dengan Julie juga? Julie ada di dalam?" Tanya Adrian.  "Ini rumahku. Dan Julie belum datang."  "Tunggu, tunggu, aku tak mengerti. Mengapa Julie memintaku untuk datang ke rumahmu?" Baron menaikkan satu alisnya, "Kau ingin menyelidiki kasus kematian Karisa, bukan?"  Adrian mengangguk, "Tapi aku baru saja mendengar kabar bahwa kepolisian sudah menutup kasus ini. Apa itu benar?" Kali ini giliran Baron yang mengangguk, rupanya kabar tersebut sudah beredar luas. Itu semakin menunjukkan bahwa dia harus menyidiki kasus ini secara mandiri.  "Jadi maksudnya kau akan menyidiki kasus ini sendirian?" "Tidak, tapi kita akan menyidiki kasus ini bersama."  "Kita? Maksudmu, kau, aku, dan Julie?" Pembicaraan mereka terpotong karena bel rumah Baron berbunyi lagi. Itu adalah Julie, rupanya ia juga datang lebih awal karena khawatir tersesat di jalan. Tapi ternyata mencari rumah Baron tidak sesulit mencari petunjuk dari kematian Karisa.  Tidak ingin membuang-buang waktu, mereka bertiga segara masuk ke dalam rumah Baron. Ruangan pertama yang mereka lihat adalah ruang tamu. Seperti ruang tamu pada umumnya dimana terdapat beberapa sofa, meja, serta bupet/ bufet ruang tamu yang digunakan untuk menyimpan beberapa pajangan. Namun Baron tidak akan mengajak Baron dan Julie untuk berbicara di sana, ia terus berjalan menuju ruangan yang terletak di bagian belakang rumahnya. Ada sebuah tangga yang mengarah langsung menuju ke balkon--tempat biasa Baron menjemur pakaian--Baron kemudian memencet sebuah tombol yang terletak dibawah pegangan tangga. Beberapa detik kemudian, sebuah lemari kayu tiba-tiba bergerak memutar hingga menyisakan ruang kosong. Itu seperti pintu rahasia untuk menuju ke sebuah ruangan yang ada di dalamnya. Julie dan Adrian saling bertatapan karena takjub, mereka tahu bahwa Baron adalah seorang detektif, tapi mereka tidak menyangka bahwa Baron juga memiliki ruang rahasia di rumahnya.  Tanpa banyak bertanya keduanya mengikuti Baron memasuki ruangan tersebut. Kesan pertama yang mereka lihat adalah gelap. Baron kemudian menempelkan ibu jarinya pada mesin yang terpasang di sebuah pintu. Rupanya lemari yang terbuka tadi adalah "pintu gerbang", dan untuk mengakses pintu utama ternyata membutuhkan sidik jari Baron. Julie bertanya-tanya apa yang ada di dalam ruangan tersebut hingga Baron menerapkan sistem keamanan yang begitu ketat. Itu pasti bukan ruangan biasa yang bisa diakses oleh sembarang orang. Dan Baron baru saja membawa dirinya serta Adrian untuk masuk ke ruang tersebut, entah Julie harus merasa istimewa atau justru merasa khawatir.  Begitu mereka berjalan memasuki pintu utama, lampu di ruangan menyala secara otomatis. Ruangan yang cukup luas itu mirip seperti ruangan detektif yang biasa Julie lihat di film-film. Ada meja dan kursi kerja, sofa, dua perangkat komputer, lemari berisi tumpukan berkas, satu televisi, serta sesuatu yang tertutup dengan kain putih. Baron kemudian membuka kain putih tersebut, ternyata itu adalah sebuah papan kaca berukuran besar yang dipenuhi oleh berbagai foto serta tulisan. Sekilas bentuknya seperti papan tulis, hanya saja berbahan kaca dan tidak menempel di dinding melainkan berdiri sendiri karena memiliki kaki penyangga.   Lagi-lagi Julie dan Adrian saling bertatapan. Baron telah merangkum kasus kematian Karisa pada papan kaca itu. Ia mempelkan foto Karisa di bagian tengah atas papan lengkap dengan tempat dan waktu kematian. Baron kemudian membuat garis panah berbentuk bagan yang saling terhubung, mulai dari orang-orang yang kemungkinan berhubungan dengan kematian Karisa, hasil visum mayat Karisa, dan beberapa hal yang mungkin menjadi penyebab kasus kematian Karisa. Di bagian tengah bawah terdapat tulisan "Siapa? Mengapa? Bagimana?" Itu adalah tiga pertanyaan terkait misteri kematian Karisa yang sampai saat ini belum terjawab.  Dan yang membuat Julie terkejut, di sana ada foto-foto dari ketiga muridnya serta petugas kebersihan SMA Cendikiawan III. Julie berjalan mendekati Baron yang sejak tadi berdiri di depan papan kaca, "Mengapa kau menempel foto murid-muridku dan petugas kebersihan dari sekolahku?"  Baron kemudian menunjuk keempat foto tersebut dengan pulpen yang dipegangnya, "Awalnya aku mencurigai keempat orang itu, namun setelah setalah melakukan interogasi, penyidikan, dan konfrimasi darimu, Tia, Demi, dan sang petugas kebersihan bukan lagi bagian dari orang-orang yang patut dicurigai. Aku sudah memberi tanda silang di samping foto mereka." Ujar Baron seraya melirik ke papan kaca tersebut.  Karena tidak ingin murid-muridnya dijadikan "tersangka" padahal tidak bersalah, Julie segera melepas foto-foto tersebut, mulai dari foto Tia serta Demi, namun saat dia hendak melepas foto Fadli, Baron menahanya. "Kau belum berbicara empat mata dengannya, bukan? Dia masih ada di daftar orang yang aku curigai." Ujar Baron pada Julie. Pria itu kemudian melepas foto sang petugas kebersihan. Kini hanya ada satu foto di papan kaca tersebut, yaitu Fadli.  Adrian sejak tadi diam saja merasa seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa. Selain karena masih terkejut dengan fakta bahwa dirinya kini bergabung di tim penyidikan mandiri, ia juga masih belum tahu penyebab mengapa pihak kepolisian menutup kasus yang belum terselesaikan itu. Kini giliran Adrian yang berjalan mendekati mereka, "Jadi saat ini hanya Fadli satu-satunya orang yang kau curigai? Lalu bagaimana dengan pimpinanmu yang tiba-tiba memutuskan untuk menutup kasus ini? Apakah kau menganggap itu sebagai hal biasa yang seringkali dilakukan oleh pihak kepolisian? Menutup kasus yang belum terpecahkan karena tidak bisa menyelesaikannya dengan baik?" Sangat jelas bahwa Adrian sedang menyindir pihak kepolisian yang dia anggap seringkali tidak becus dalam menangani suatu kasus.  Julie hanya diam, dia tahu mengapa Adrian berkata demikian. Jauh di dalam lubuk hatinya, Adrian jelas masih kesal dengan pihak kepolisian yang cepat sekali membuat kesimpulan atas kasus kematian adiknya, Mia. Perkataan Adrian barusan tentu saja menyinggung perasaan Baron. Namun Baron juga tidak bisa menyangkal bahwa yang dilakukan oleh pimpinannya kali ini adalah salah. Baron hanya menatap Adrian dengan tajam, kemudian berjalan sedikit menuju meja kerjanya. Ia membuka laci dan mengeluarkan foto pimpinannya, Bambang. Karena belum tahu keterkaitan antara Bambang dengan kasus itu, Baron hanya menempelkan foto Bambang di bagian kiri atas tanpa membuat garis penghubung. Dia kemudian menulis, "Ada apa dengannya?" menggunakan spidol merah.  Adrian mengangguk-anggukan kepala seraya berkata, "Kita juga patut mencurigai orang yang tiba-tiba menutup kasus ini. Ngomong-ngomong, apa kau yakin kita bisa menyidiki kasus ini secara mandiri tanpa embel-embel instansimu?"  Baron melangkah maju, kini posisinya semakin dekat dengan Adrian, "Tidak bisa jika kau hanya bicara dan tidak melakukan hal apapun." Kali ini Baron mengatakannya dengan tegas.  Julie menghela napas. Dia tidak yakin apakah tim mereka dapat bekerja sama dengan baik jika Baron dan Adrian tidak akur seperti ini. Namun Adrian hanya tertawa kecil. "Apa tubuh Karisa masih ada di ruang autopsi?"  "Kau gila? Tentu saja sudah dikebumikan." Jawab Baron.  Kini Adrian beralih pada Julie, "Bisakah kau membawaku ke rumah Karisa?"  "Untuk apa?" Tanya Julie.  "Akan kutunjukan pada seseorang bahwa aku tidak hanya banyak bicara." Tentu saja orang yang Adrian maksud adalah Baron.  Pertemuan mereka berakhir setelah menentukan langkah pertama apa yang mereka ambil dalam penyidikan mandiri itu, yakni mengunjungi rumah Karisa. Adrian tidak menjelaskan secara detail apa yang akan ia lakukan di sana, tapi dia berjanji bahwa apa yang mereka lakukan tidak akan sia-sia. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD