Hal yang paling menyedihkan buat Niko adalah ditinggal pacar pas lagi cinta-cintanya. Meskipun sudah bertahun-tahun berlalu Pria itu tidak rela. Dia sudah merasa memberikan yang terbaik untuk Intan. Nurut aja waktu Intan nyuruh beli kertas polio padahal dia lagi asik-asiknya main basket. Dia juga rela antar jemput Intan meski cuma sampai pertigaan jalan saja. Khawatir ketahuan bapaknya karena belum boleh pacaran.
Niko sanggup nahan lapar lantaran tidak jajan pada saat istirahat. Uangnya dia tabung buat ngajak Intan ke perpusda atau nyewa n****+ Agatha Christie di taman bacaan. Karena dia tahu gadis pujaannya itu lebih berbinar kala diberi sebuah n****+ meski dapet nyewa atau bahkan beli di pasar buku bekas di kota sebelah.
Bahkan dia sudah siapkan satu bundel n****+ Agatha Christie kesukaannya untuk hadiah menjelang LDR an. Biar dia bisa fokus baca n****+ dari pada tertarik sama cowok lain yang gantengnya ngalahin Niko. Cowok Jakarta kan cakep-cakep. Niko pasti kalah.
Namun, malam itu, malam dimana seharusnya mereka bertemu sebelum berpisah untuk sementara waktu, Intan menghilang. Seperti kentut, setelah aromanya memenuhi seisi ruangan baunya hilang tanpa permisi. Niko nyaris seperti orang gila yang mencari Intan tanpa henti. Bodohnya dia tidak pernah tahu di mana rumah Intan. Pertigaan jalan itu menjadi saksi bisu tempat bertemu dan berpisah setiap harinya.
Mereka putus? Tidak, Niko masih pacar Intan. Setidaknya begitu menurut Niko. Dia menunggu hingga kemarin, saat kenyataan mengolok-olok Niko. Dia kembali hancur saat seorang anak berusia tiga tahun memanggil pacarnya dengan sebutan Bunda. Pacar yang hilang kini benar-benar hilang. Niko kalah, dia meraba d**a kirinya yang berdenyut sakit. Sakit yang telah Intan torehkan, sialnya, tidak ada penawar untuk sakit ini sekalipun dia dokter yang suka memberikan obat penahan rasa sakit untuk pasien-pasiennya.
"Ko, kalau sakit gak usah praktik aja dulu," titah Rosmala, wanita itu menyodorkan satu gelas perasan jeruk nipis yang dicampur air hangat.
Sambil mengempaskan punggungnya di sofa dia meneguk sedikit demi sedikit minuman yang rutin dia minum setiap pagi. "Gak apa-apa, Ma. Iko masih kuat, Iko sekalian minta obat dari klinik nanti. Kalaupun gak kuat tinggal tidur aja, yang penting presensi tetap jalan jadi gaji gak dipotong."
"Kamu mikir uang melulu, sekali-kali pikirin tubuh kamu. Nanti kalau beneran sakit malu sama Zahra, masa dokter sakit!"
"Dokter juga manusia, Ma. Lagi pula ngapain Niko malu sama Zahra, dia anak kecil."
"Terserah lah, Ko. Suka-suka kamu saja!" Rosmala bangkit menuju dapur, sesaat kemudian dia datang kembali membawa buah potong jatah sarapan Niko.
"Makasih, ya, Ma."
"Hmmm."
Di klinik tidak ada lagi Niko ganteng yang suka tebar pesona. Yang ada hanya Niko lesu kemana-mana. Kalau pun harus senyum dia hanya mengangkat sudut bibirnya sedikit. Sebagai penggugur kewajiban menjadi pelayan masyarakat yang ramah.
Dia ingat kembali saat terakhir ketemu Intan, pantas saja perempuan itu bertingkah aneh. Seperti maling yang kepergok polisi. Berkali-kali membenahi masker norak bergambar kepala doraemon. Niko yakin, masker itu bukan punya Intan, dia tahu betul selera Intan.
Intan mengecat rambutnya dengan warna coklat. Dulu dia sering curhat ingin sekali mewarnai rambut, tapi takut di Razia pak Nano, takut pula kena sabetan rotan bapak.
"Nanti kalau kita sudah nikah, kamu bebas warnai rambut sesuka hati. Suami kamu ini tidak akan marah," kenang Niko. Seketika Intan lompat-lompat girang, padahal Niko berharap Intan memeluknya karena merasa tersanjung.
Kisah itu telah usai.
"Kamu pucat banget, Ko, kenapa?" Sukma lagi. Entah kenapa Niko selalu merasa risih jika rekannya itu mendekati. Dia terlalu agresif. Sukma juga seperti lintah menempel dan menghisap darah sampai habis. Mengerikan.
"Gak enak body."
"Aku periksa, ya?" Maunya. Niko mendengus kemudian meninggalkan Sukma yang semakin geram karena susah sekali mendapatkan perhatian Niko.
Hari-hari Niko kini berbeda, masih soal dia. Intan. Intan. Dan Intan.
Intan meninggalkan Niko, menghilang, menikah lalu punya anak secantik Gianara. Bicara soal Gianara, gadis itu pasti akan kembali untuk berobat. Niko tersenyum penuh rencana, hal yang mudah untuk Niko melihat catatan rekam medik Gianara. Gotcha! Tanggal enam adalah jadwal kontrol Gia. Satu minggu dari sekarang, mau kabur kemana kamu Intan?
Demi melancarkan hari ini, Niko harus bertukar jadwal praktik dengan Sukma. Dia bahkan rela makan siang berdua dengannya, jalan berdua dan tutup telinga kala perawat dan petugas kesehatan lainnya bisik-bisik gosipin mereka. Sudah biasa, bukankah Niko selalu bilang bahwa resiko orang ganteng ya digosipin.
Entah kekuatan apa yang memberi suntikan semangat pada dokter yang tengah kasmaran itu. Dia luar biasa bersemangat. Melayani pasien satu per satu memberi banyak hadiah pada anak-anak dan bibirnya tak pernah lepas dari senyum. Tiga pasien lagi sebelum dia bertemu Intan. Semoga takdir kembali berpihak kepadanya. Semoga Gianara tidak diantar neneknya.
Sesekali batinnya berteriak, mengatakan dengan kencang jangan dekati Intan. Dia punya suami. Dia punya anak. Jangan sampai menjadi perebut istri orang, menghancurkan rumah tangganya karena itu nista. Tapi sisi lain dari hatinya menjawab dengan santai bahwa Niko hanya ingin bertanya kenapa Intan meninggalkan Niko. Itu saja. Meski dia sendiri tidak tahu untuk apa? Karena apa pun jawaban Intan tidak akan mengubah kenyataan bahwa mantan kekasihnya itu sudah jadi istri orang.
Ketika tiba giliran Gianara Niko membenahi rambutnya. Padahal rambutnya cepak, diapa-apain juga tetep begitu. Melihat cermin takut ada sledri atau cabe nyangkut di gigi. Lalu makan permen mint, takut bau mulut. Ya kali ngobrolnya deket-deketan.
"Halo Gia," Sapa Niko saat Gia masuk. Takut-takut gadis itu melirik Intan. Ya, Intan yang antar Gia.
"Hai doktel," jawab Gia masih dengan gaya bicara cadelnya. Hari ini gadis kecil itu tampil luar biasa, rambut panjangnya dia biarkan tergerai, mata bulatnya berkedip-kedip lucu dengan bulu mata yang lentik persis seperti boneka susan. Namun sayang senyum dan tawa di bibirnya sirna. Niko yakin Intan yang saat ini mengenakan kemeja tanpa lengan dengan celana panjang model pipa dan masker motif kembang-kembang telah mengancam Gia. Itu jahat!
"Kok diem? Biasanya bawel, dokter kangen, Nih." Niko sengaja mengabaikan Intan, seperti biasa wanita itu sibuk dengan maskernya. Niko gerah, dia tidak tahan untuk membuka masker itu dan menuntut banyak pertanyaan, kalau saja dia tidak sadar sedang berada di tempat kerja.
"Yuk periksa, sini dokter pangku." Gia beringsut mendekati Niko, kemudian naik dengan cekatan ke atas ranjang periksa. Dia nolak tawaran Niko untuk menggendongnya.
"Wah, semakin bagus, Gia masih suka batuk I ... Bu?" Hampir saja keceplosan sebut nama Intan.
"Tidak," jawab Intan pendek.
"Bagus. Perkembangannya luar biasa. Kalau sebagus ini Inshaa Allah enam bulan bersih. Beberapa anak ada yang melanjutkan hingga sembilan bulan lho."
"Ok." Intan ketus.
"Gia mau hadiah apa?" tanya Niko. Dia menunjuk sebuah meja kecil di belakang tempat duduknya. Ada boneka, mobil-mobilan dan beberapa makanan kecil.
"Boleh bunda?" tanya Gia penuh harap. Intan mengangguk sekilas. Sementara putrinya bersorak gembira, tetapi sesaat kemudian dia diam.
Niko menghela napas kemudian mengempaskan punggungnya ke sandaran kursi.
"Buka saja maskernya, aku tahu itu kamu, Ntan!" Niko tidak tahan lagi akhirnya membuka suara.
Kontan Intan melotot, kemudian dia membuka masker pasrah dan menerima kekalahan.
"Hah ... Kelihatan banget ya?" tanya Intan tanpa dosa setelah melepas maskernya. Niko terpana, betapa dia merindukan orang ini.
"Mata kamu gak bisa bohong. Aku ingat betul. Ini resepnya." Dia menyerahkan selembar kertas resep. Intan merebutnya kasar. Wanita itu kemudian berdiri dan meraih lengan putrinya.
"Oke, ayo Gia!" ajak Intan. Perih. Itu yang Niko rasakan saat ini, bukan perih lantaran dia belum makan, tetapi dia tidak bisa berkutik padahal semalam sudah banyak berlatih untuk bicara dengan Intan. Ditambah lagi Intan yang begitu ketus dan garang.
"Ntan, jangan pulang dulu," pinta Niko.
"Maaf, aku sibuk."
"Ntan," bisik Niko, tetapi intan mengabaikannya. Dia pergi tanpa melihat Niko.
Tidak boleh menyerah, Niko. Setidaknya setelah kamu tahu alasan Intan meninggalkannya. Ada sesuatu yang belum selesai diantara keduanya. Niko bertekad menyelesaikannya baik-baik. Intan tidak mungkin dia dapatkan kembali, tetapi kesempatan untuk menjadi temannya masih terbuka lebar. Intan terlalu mengasyikkan untuk diabaikan.
Waktu istirahat telah tiba. Selesai salat Niko bergegas menuju parkiran. Dia tahu Intan belum pulang. Antrian obat biasanya lumayan lama jadi dokter itu putuskan untuk menunggu dekat pos satpam sambil ngobrol bareng juru parkir.
"Mang, perempuan yang rambutnya segini di cat coklat udah keluar belum?" tanya Niko pada juru parkir.
"Waduh, gak lihat, pak Dokter. Yang parkir banyak, bingung Mamang."
"Gak apa-apa, Mang. Tinggal dulu ya, laper."
"Silakan Pak Dokter."
Waktu istirahat tidak banyak. Niko harus menggunakan waktu yang sempit itu untuk salat, makan, dan periksa akun instagramnya. Niko memang begitu, dia aktif di media sosial dan aktif di forum akun dokter tampan se Indonesia.
Dengan langkah gontai dia berjalan menapaki lorong klinik, pot yang berisi tanaman hias berjejer di tepi lorong, sesekali tangan Niko memunguti sampah yang di buang orang tidak bertanggung jawab ke dalam pot, kemudian membuannya ke dalam tong sampah yang tersedia di sudut lorong dekat pintu keluar klinik.
Bersamaan dengan itu, Intan keluar menuntun Gia yang terlihat lebih semringah di bandingkan pada saat berada di ruang periksa tadi.
"Ntan," sapa Niko, dia mencekal pegelangan tangan Intan, "lima menit saja."
Intan mengangguk setelah melepaskan pegangan tangan Niko. Dia berjalan menuju sebuah kursi kosong yang terletak di depan area bermain untuk anak yang di sediakan oleh klinik.
"Gia main dulu, Ya. Bunda mau bicara sama pak Dokter sebentar." Gia mengangguk antusias, Niko mengusap lembut rambut panjang anak kecil itu.
"Apa kabar, Ntan?"
"Cuma mau tanya kabar? Emangnya kamu tidak lihat aku baik-baik saja." Intan melotot. Niko ingat kembali mimik wajah Intan ketika marah, memang seperti ini menggemaskan.
"Gak usah nyolot kali, Ntan. Aku nanya baik-baik, lho." Niko gusar.
"Oke, setelah tanya kabar mau apalagi? Asal kamu tahu, aku baik-baik saja bahkan setelah kamu menghianati kepercayaan aku. Aku bisa move on dan bahagia dengan kehidupanku yang baru. Aku punya Gia. Aku bahagia." Niko melihat mata Intan yang berkabut. Sekali mengerjap air matanya luruh. Pilu.
"Aku salah dengar, ya, Ntan? Siapa yang menghianati siapa? Bukannya kamu yang pergi ninggalin aku gitu aja?"
"Ada alasan kenapa aku pergi menjauh dari orang seperti kamu, Niko!"
"Apa? Selingkuh? Menikah lalu punya anak?"
Plakk!
Sebuah tamparan mendarat di pipi merah Niko. Meninggalkan jejak kemerahan dan rasa panas. Dia abaikan malu karena menjadi tontonan. Dia fokus pada rasa sakit yang muncul dari dalam d**a. Intan beranjak menuntun Gia yang tengah asik main perosotan. Kemudian menjauh meninggalkan Niko yang sedang mengelus pipi dengan senyum miris.
Andai ku bisa
Ingin aku memelukmu lagi
Di hati ini hanya engkau mantan terindah
Yang selalu ku rindukan
Mau dikatakan apa lagi
Kita tak akan pernah satu
Engkau disana aku disini
Meski hatiku memilihmu
(Kahitna- Mantan terindah)