Jikalau perlu pembanding maka perbandingan yang tepat untuk menggambarkan kecepatan laju gosip adalah sebanding dengan shinkansen, kereta tercepat di Jepang. Istimewanya, gosip ini kalau digosok makin sip. Makin banyak orang yang bergosip maka makin banyak perbedaan persepsi yang meluncur begitu saja dari mulut manis setiap penggosip.
Tidak ada yang dikurangi. Mereka malah dengan senang hati menambah-nambahi versi cerita. Seperti saat ini, Intan yang sedang asik mengunyah sarapannya harus setia mendengarkan gosip yang Midah bawa entah dari mana. Gosip yang sungguh jauh dari kenyataan sebenarnya.
"Nyaho, gak Ntan, dokter di As syifa katanya melakukan pelecehan hingga di tampar orang tua pasien." Intan spontan tersedak, dia terbatuk-batuk hingga nasi goreng yang sedang dia kunyah muncrat-muncrat.
"Jorok! Bersihin!" Midah melotot.
"Mamah sih, bawa gosip receh. Ceritanya tidak seperti itu, tahu!" Intan mendelik, dia membersihkan meja dengan lap.
"Mamah mana tahu, itu tadi mamah dapet berita dari bu Bahar. Katanya dia melihat sendiri bagaimana wajahnya dokter ketika orang tua pasien itu menamparnya."
Seret. Intan susah menelan nasi yang dia kunyah. Jika bu Bahar melihat, artinya dia tahu kalau yang sudah nampar dokter itu adalah Intan.
"Nah katamu tadi ceritanya tidak seperti itu, kamu tahu? Kenapa gak bilang-bilang sama mamah? Kan kalau mamah tahu duluan, seru Ntan. Mamah bawa gosip buat santapan tetangga." Midah antusias.
"Intan gak suka nggosip, Mah. Ghibah itu namanya, kalau salah jatohnya fitnah. Dah ah, titip Gia ya. Intan berangkat sekarang, jangan lupa itu obatnya. Assalamualaikum." Takzim, Intan mencium punggung tangan Midah.
"Waalaikumsalam, hati-hati Ntan," ucap Midah seraya mengusap rambut intan yang setengah basah.
Sebelum melaju di jalan beraspal Intan menyempatkan diri untuk berswafoto, cekrek sana cekrek sini, bibirnya yang dipoles gincu warna merah bata sesekali mengerucut. Ada yang berbeda dari matanya, dia memakai softlens warna abu-abu. Seperti kucing persia.
Hingga sebuah panggilan dari dalam rumah menghentikan aktivitas konyol ibu beranak satu itu.
"Ntan, ini, ada telepon buat kamu," Midah berlari menghampiri Intan.
"Kenapa nelponnya ke nomor Mamah?"
"Lha mamah malah bingung, kenapa kamu kasih nomor telepon mamah."
"Kapan Intan kasih nomor telepon Mamah?"
"Ini buktinya?"
Intan meraih ponsel jadul milik ibunya, suara lembut seorang perempuan menyapa Intan di seberang sana. Dia adalah kepala klinik As syifa, dengan kerendahan hati mengundang Intan untuk datang ke klinik terkait insiden penamparan dan gosip yang merebak sesudahnya.
Mati kamu Intan! Wanita itu pucat pasi, kemudian menangis kencang di pelukan Midah.
"Kunaon, Ntan. Jangan bikin Mamah bingung atuh, aya naon?" Intan tergugu, air matanya melunturkan maskara yang dia kenakan. Dia lupa dimana menyimpan maskara waterproofnya.
"Mah, nitip Gia ya, nitip kursusan juga, jangan lupa kasih uang makan sama Abay. Jangan turutin kalau Gia nangis minta es potong."
"Astagfirullah, aya naon atuh, Ntan?" Midah memeluk Intan.
"Sebenarnya, gosip yang Mamah bawa itu gak bener, gak ada pelecehan oleh dokter klinik, tapi kalau penamparan memang ada, dan pelakunya adalah Intan. Sekarang Intan di panggil pihak klinik, kalau Intan dilaporin ke polisi gimana, Mah?"
"Ya Allah, Intan ..."
"Jangan marah dulu, Mah. Intan tahu kalau Intan salah. Doakan Intan ya, Mah," potong Intan, kemudian dia menghidupkan motor maticnya.
"Ntan," panggil Midah.
"Intan pergi dulu," pamit Intan.
"Itu bersihin dulu, mata kamu cemong begitu!"
Intan nyengir, dia melihat pantulan wajahnya di kaca spion, kemudian menghapus luberan maskara dan air mata dengan tisu basah.
Dia kembali menjejakkan kaki di klinik As Syifa. Kali ini bukan untuk Gia, perasaannya mengatakan kalau dia sedang menyerahkan nyawa kepada algojo yang siap mengeksekusi mati. Memenggal kepala misalnya, atau karena mereka dokter suntik mati lebih tepat sepertinya ... Intan menggeleng mengenyahkan pikiran negatifnya.
Dia di antar oleh petugas yang kelewat ramah. Mengumbar banyak senyum dengan sopan santun yang terlihat di buat-buat. Mungkin dia sedang mengejek karena sebentar lagi Intan akan dituntut atas dasar penganiayayaan terhadap dokter mereka. Niko s****n. Umpat Intan dalam hati.
Sebuah ruangan bersih dengan aroma pinus menyambut kedatangan Intan. Ruangan ini mirip seperti ruang kerja Intan di Intan Fashion sebagai owner dan pimpinan. Bedanya di sana terdapat banyak potongan perca dan helai benang yang nyangkut di alas kaki. Intan bisa menebak, ini ruangan ibu bersuara lembut yang tadi menelponnya.
"Selamat pagi, Bu Intan. Maaf sekali kami mengganggu aktivitas Ibu."
"Pagi, Dok. Maaf saya sudah bikin kacau di sini," sesal Intan, dia menunduk sesekali mengusap keringat yang muncul di ujung hidung.
"Silakan duduk, Bu," titah Yvonne.
"Bu Intan seharusnya tidak perlu minta maaf. Dokter Niko sudah mengakui kesalahannya. Justru maksud kami memanggil Ibu karena hendak mengutarakan permohonan maaf secara terbuka. Nah itu dia Dokter Niko." Niko memasuki ruangan, dia senyum melihat Intan kemudian tanpa permisi duduk berhadapan dengan wanita yang kembali memasang tampang garang.
"Kami sudah memberikan sangsi yang setimpal untuk dokter Niko. Silakan dokter Niko sampaikan permohonan maaf anda pada Bu Intan."
"Ntan, maaf ya, kemarin aku bener-bener salah ngomong, aku minta waktu kamu untuk menyelesaikan ini. Kita ngobrol baik-baik." Niko mengusap wajah gusar, dia melirik Intan sekilas, wanita itu menghapus jejak keringat di ujung hidung. Niko tahu betul kebiasaan itu, jika gugup maka titik-titik keringat akan muncul di ujung hidung.
"Maaf Dokter Niko, sepertinya anda mengenal Bu Intan dengan baik." Yvonne menyela.
"Ehm ... Dokter, ini sebenarnya masalah pribadi, tidak ada kaitannya dengan profesi dia sebagai dokter dan saya sebagai orang tua pasien. Saya mohon maaf sekali lagi karena perbuatan saya klinik ini menjadi bahan gosip yang tidak benar. Saya bersedia mengklarifikasi secara terbuka agar reputasi klinik ini tetap terjaga dengan baik."
"Terima kasih, Bu Intan. Benar, saya khawatir dengan reputasi klinik ini terkait dengan insiden kemarin. Silakan anda selesaikan permasalahannya dengan dokter Niko. Saya hendak membuat surat peryataan yang nantinya kita tanda tangani bersama sebagai bahan klarifikasi kepada khalayak."
Intan mengerti, kini tinggallah mereka berdua Intan dan Niko yang bergeming tanpa kata.
Keduanya gugup. Intan masih sakit hati tentu saja, tapi dia tidak mau gegabah takut perbuatannya tempo hari di laporkan ke polisi. Bagaimana dengan Gia, ibunya, juga murid-muridnya jika Intan harus mendekam di penjara gara-gara menampar dokter itu.
"Kita baikan?" tanya Niko kemudian, Intan memutar bola matanya.
"Oke, dengan satu syarat."
"Apa?" Niko berbinar. Senyumnya kembali merekah. Intan berusaha untuk tidak tergoda dengan pesona yang seenaknya Niko tebar seperti benih padi dalam lumpur.
"Jangan laporkan aku ke polisi," pinta Intan, dia memelas, berharap Niko benar-benar melakukan permintaannya.
"Baik. Kita damai ya." Niko mengacungkan satu jari kelingking membuat Intan terhenyak, dia kembali mengingat masa lalu, saat Niko mengajaknya berpacaran. Tidak ada bunga, cokelat atau tempat yang romantis. Bahkan tidak ada gombalan gombalan receh yang Niko utarakan. Di bawah pohon beringin saat mereka masih lucu dengan seragam putih abu.
"Intan, Pacaran, Yuk?" Intan yang sedang menyalin pekerjaan rumah mendongakkan kepalanya.
"Oke, dengan satu syarat."
"Apa?" tanya Niko.
"Anter jemput tiap hari, ya? Aku lagi nabung mau beli novel."
"Orang pacaran kan begitu, Ntan. Anter, jemput, traktir," tukas Niko.
"Traktir juga?" Intan berbinar.
Niko mengangguk, "iya, traktir juga!"
"Yeaay!" Intan loncat-loncat. Niko tersenyum hangat.
"Jadi, kita jadian, ya?" Niko mengacungkan jari kelingkingnya, di sambut dengan kelingking Intan jari mereka bertautan.
"Ntan." suara lembut Niko membuat Intan tersadar dari lamunan. Wanita itu tersenyum, menyambut ukuran kelingking Niko, dengan debar yang sama saat Niko mengajaknya untuk pacaran.
Setelah semua urusan di klinik itu selesai Intan pamit pulang. Tetapi Niko mencegahnya, dokter itu mengajak Intan makan siang bersama sebagai penebus rasa bersalah. Sebenarnya Intan sempat tergiur dengan ajakan makan siang Niko. Intan yang sadar diri dengan keadaannya berhasil membuat penolakan dan segera pergi secepat mungkin dari hadapan Niko.
Jangan hanya karena makan siang lantas Intan luluh dan melupakan sakit hati yang sampai sekarang tidak kunjung sembuh.
Bagaimana tidak, Niko yang sudah janji tidak akan selingkuh nyatanya berani peluk-peluk perempuan lain malam itu. Pelukan mesra, pelukan seorang pria terhadap kekasihnya.
"Niko, bagaimana kabar, Sara?" tiba-tiba Intan penasaran. Niko yang memaksa antar Intan hingga tempat parkir tersenyum lembut.
"Dia lagi hamil anak ke tiga. Mama kurung dia di rumah karena Sara keguguran sebelum kehamilan yang sekarang. Kenapa tiba-tiba tanya Sara?" Intan murung. Dia kemudian tersenyum miris, entah kecewa atau sakit hati.
Kemudian dia pergi, air mata merebak tidak terkendali. Kenapa harus menangis, Intan?
Dia kembali meninggalkan Niko, tidak berminat untuk sekedar pamit kepada pria yang sedang kebingungan melihat perubahan sikap Intan.