***
Nadin menunduk, menyipitkan matanya mencoba membaca nama yang terukir di seragam sekolah makhluk di depannya.
"Da, U Da," ucapnya mengeja huruf yang ada di ujung nama.
"Gak jelas ih. Apa lagi ni tulisan depannya?" Nadin berusaha keras mengeja tulisan itu tapi tetap tak kelihatan karena ada bekas darah yang menghitam dan cukup pekat di d**a kirinya.
"Coba lihat nama sekolah lo."
Nadin meminta hantu itu menyamping. Lagi-lagi ia harus berusaha keras melihat tag nama di lengan seragam sekolahnya.
"Ini lebih parah. Robek begini. Lo sebenarnya kenapa sih? Kok bisa separah ini? Mana sepatu lo cuma sebelah," decaknya. Walau dalam hati Nadin prihatin melihat tampilan orang ini, pasti sangat menyakitkan karena keadaannya tragis seperti ini.
"Gue juga nggak tahu."
Nadin menghela napas. "Gimana ya caranya nyari tahu siapa lo sebenarnya?" Ia berpikir sesaat.
"Apa lo mati karena kecelakaan ya?"
Hantu itu mengangguk ragu. "Mungkin."
"Oke. Karena kata nenek, syarat supaya lo bisa sepenuhnya pergi dari dunia ini adalah dengan mencari penyesalan alias hal yang belum tuntas dari hidup lo. Jadi, gue bakal bantu."
Hantu itu tersenyum senang. "Terimakasih," ucapnya namun langsung disanggah oleh Nadin.
"Tapi. Gue nggak janji. Ingat kalau sampai nenek gue balik dan kita belum juga menemukan alasan kenapa lo masih gentayangan, terpaksa pakai cara nenek gue. Oke."
Hantu itu mengangguk lagi. Seperti kata nenek Nadin tadi, ada cara lain agar hantu bisa pergi ke alamnya tapi alangkah lebih baiknya si hantu pergi setelah penyesalannya tuntas. Jadi Nadin memutuskan kalau sampai enam bulan mereka tidak dapat petunjuk juga, ia akan meminta neneknya mengusir hantu ini.
"Dan karena gue nggak tahu nama lo. Dan cuma bisa baca ujung nama lo yang tulisannya uda itu...."
Nadin menduk lagi mencoba membaca nametagnya.
"Gue bakal manggil lo Yuda. Lo setuju?"
Hantu itu mengangguk lagi sambil tersenyum senang walau bagi Nadin senyum itu terlihat mengerikan karena wajah pria ini penuh darah sampai ke bagian dadanya.
"Tapi kita mulai darimana ya? Apa gue harus cari berita siswa yang kecelakaan?"
"Gue mati karena kecelakaan?" tanya hantu itu padahal tadi dia sendiri yang jawab mungkin. Nadin menghembuskan napas lelah.
"Bisa jadi. Kalau melihat keadaan lo."
Hantu yang sekarang bernama Yuda itu menunduk mencoba meraih nametag di d**a kirinya, sekilas Nadin merasa aneh. Kenapa dia mau membantu makhluk ini, apa karena kasihan. Tidak! Nadin membantu karena dia tidak mau terus-terusan bersama makhluk ini. Jangka enam bulan itu saja sudah terlalu lama untuknya.
"Tapi gue juga bakal cari kalau ada kasus pembunuhan."
"Pembunuhan? Bisa jadi sih. Apa gue gentayangan buat balas dendam ya?"
Nadin menggeleng. "Kata nenek kalau hantu yang punya keinginan balas dendam udah pasti jadi jahat."
"Jadi apa gue baik?" ucapnya sambil tersenyum.
Nadin bergedik. "Au ah. Terserah. Yang penting lo jangan gangguin gue. Jangan suka ngagetin, muka lo seram tahu."
"Tapi kalau gue ajak ngomong lo maukan?"
"Iya. Tapi jangan sering-sering."
Yuda mengangguk. Ia sih senang saja, secara selama ini ia cuma sendirian, bahkan hantu lain tak mau bicara dengannya. Ada sih beberapa tapi mereka sering membuat Yuda bingung.
"Kamu bicara sama siapa?"
Nadin terlonjak, mamanya sudah berada di belakangnya. Kapan mamanya masuk pikirnya.
"Ini sama hantu kemarin."
"Loh kok bisa?" kaget mama. Ia langsung melihat ke arah depan Nadin tapi ia tak melihat apapun.
"Airnya nggak mempan."
"Nenek udah bisa dihubungi?"
Nadin mengangguk. "Udah Ma. Nenek bilang ini..." tujuk Nadin ke arah Yuda yang menatap bingung.
"Hantu gentayangan. Jadi nenek bilang aku harus cari sumber penyesalan dia."
Mama terlihat tak senang, sebagai orang yang dulunya pernah diganggu juga ia tidak setuju kalau anaknya harus membantu hantu. Bagaimana tidak, biasanya makhluk seperi itu malah akan membuat diri kita sendiri celaka.
"Jadi kamu mau?"
"Yah mau gimana lagi. Jangka waktunya cuma enam bulan kok."
Mama menghela napas. "Kalau kamu dicelakain gimana? Mama nggak setuju ah. Nanti mama cari orang yang bisa bantu ngusir dia."
Nadin melirik ke arah Yuda yang masih menatap bingung, saat pandangan mereka bertemu, Yuda tersenyum yang malah membuat Nadin bergedik ngeri.
"Terserah mama deh," ucap Nadin. Yang penting dia tidak diganggu lagi.
Tak lama bel rumahnya berbunyi. Mama berbalik, berjalan ke pintu depan. Nadin duduk di kursi meja makan sambil menghela napas sembari berpikir. Apa keputusannya ini sudah tepat? Jauh dalam lubuk hatinya ia merasa iba melihat keadaan Yuda, terlebih Yuda tak terlihat berbahaya.
"Lo jangan sampai jahatin gue ya. Awas lo kalau sampai lo nyelakain gue."
"Nggak akan. Gue janji, Lo mau bantu gue aja gue udah senang banget. Gue jadi penasaran kenapa gue bisa jadi kayak gini."
Mata Yuda terlihat sedih. Nadin juga sama penasarannya. Kalau memang Yuda korban pembunuhan, siapa yang tega melakukan hal itu, sampai tampilan Yuda terlihat semengerikan ini.
Mama berjalan ke dapur bersama dengan seorang pria. Nadin langsung bangkit dan berlari ke arah orang itu, kemudian memeluknya.
"Om Aryo, Nadin kangen," ucapnya. Ia benar-benar merindukan saudara kembar ibunya ini.
"Iya Om juga kangen. Kamu makin tinggi aja."
Nadin melepas pelukannya sembari tersenyum lebar. Om Aryo ini sudah layaknya ayah baginya, semenjak ayahnya meninggal, Om Aryolah yang menjaga mereka.
"Om tumben ke sini?" tanya Nadin karena omnya yang berprofesi sebagai polisi ini biasanya selalu sibuk bekerja.
"Kamu nggak tahu. Di dekat sini ada kasus bunuh diri," ucap mama.
"Om lagi nyelidikin kasusnya?"
Om Aryo mengangguk. Kenapa Nadin tak terpikir kalau Omnya ini yang akan menangani kasus barusan. Nadin melirik ke arah Yuda yang masih anteng berdiri tak jauh memperhatikan mereka, saat Nadin melihatnya ia tersenyum lagi. Sepertinya Nadin harus mulai membiasakan diri dengan senyum mengerikan itu.
"Jadi itu kasus bunuh diri?" tanya Nadin hati-hati. Om Aryo menghela napas.
"Saat ini masih disimpulkan begitu. Tapi ada kemungkinan ini kasus pembunuhan."
Nadin ragu-ragu, apa ia harus memberitahu apa yang Yuda ceritakan tadi pagi atau tidak.
"Kenapa?"
Mama melihat wajah Nadin yang nampak gusar.
"Itu... Kayaknya kasus pembunuhan deh. Yuda bilang semalam suaminya yang membunuh korban."
Raut wajah mama dan Om Aryo nampak kebingungan dan tak mengerti.
"Yuda siapa?"
"Hantu," jawab Nadin hati-hati. Om Aryo dan mama saling pandang.
"Bukannya kamu sudah nggak bisa lihat ya?"
Nadin manyun, benar. Setahu omnya Nadin sudah sepenuhnya menutup mata batinnya, tapi siapa yang mengira kalau ia bisa melihat hantu gentayangan modelan Yuda ini.
"Seharusnya gitu sih Om. Tapi yang ini pengecualian."
"Kamu nggak diapa-apainkan? Nenek udah dikasih tahu."
Nadin mengangguk.
"Terus maksud ucapan kamu tadi soal kasus ini?"
Nadin menceritakan apa yang Yuda katakan padanya secara detail. Sesekali ia menyampaikan apa yang Yuda ucapkan. Mungkin kalau dengan orang lain Nadin akan dikatakan gila karena bicara sendiri tapi bagi keluarganya sendiri hal ini sudah lumrah.
"Astaga. Kalau benar begitu berarti suaminya..." Mama menutup mulutnya, tak percaya.
"Om pamit dulu ya. Mau cek apa benar ada buktinya di sana," ucap Om Aryo, tadi Yuda bilang ada sesuatu yang dibuang sang suami di selokan rumah tempat korban ditemukan.
Nadin membaringkan dirinya di atas tempat tidur, menatap langit-langit sembari melamun.
"Lagi ngapain?" ucap Yuda tiba-tiba muncul tepat di depan wajah Nadin membuat gadis itu menjerit.
"Lo gila ya?" sergahnya kemudian bangun dan menjauh.
"Emang gila itu gimana?"
"Kayak lo!" Yuda menatap polos seperti benar-benar tak tahu apa itu gila.
"Oh berarti selain hantu gue juga gila ya? Apa mungkin gila bisa bikin gue mati?"
Nadin hendak membuka mulut namun urung ia lakukan, bisa-bisanya ia bertemu hantu gentayangan yang hilang ingatan begini. Aneh sekali.
"Lo udah coba ngingat sesuatu gitu?"
Yuda menggeleng. "Gue nggak tahu."
"Beneran lo nggak ingat kapan persisnya lo ada."
Yuda menggeleng lagi. "Nggak ingat. Tapi anak yang dulu sering gue lihat sudah lulus kuliah sekarang."
"Anak?"
Kali ini Yuda mengangguk. "Iya. Dia sekolah di sekolah lo. Tapi kemarin dia baru wisuda."
Nadin berpikir sesaat. "Kok bisa lo merhatiin dia?"
"Dia nggak bisa lihat gue. Tapi dia bisa ngerasain kehadiran gue. Kadang dia ngajak ngobrol walau dia nggak dengar gue ngomong apa. Karena itu gue kadang ke rumahnya."
Nadin berpikir lagi. Apa mungkin orang itu ada hubungannya dengan Yuda yang gentayangan?
***