DOCTOR

*****
"Dok, kapan aku pulang?!"
Rafael menatap seorang pasien wanita itu dengan bosan. "Tentu saja setelah kamu sembuh,"
"Aku sudah sembuh! Aku sudah bisa berjalan! Lagian aku hanya pingsan karena kelaparan, setelah aku kenyang aku pasti kembali sehat," Moli menggembungkan pipinya kesal.
"Hei, kamu pikir kelaparan hanya sebatas itu? Bisa jadi gara-gara kelaparan organ tubuhmu yang lain jadi bermasalah, maka dari itu harus diperiksa lebih lanjut!"
"Ya, ya, ya, apakah perlu satu bulan lebih untuk memastikannya? Ini sudah cukup lama dokter! Aku bosan!" Moli menghentak-hentakkan kakinya. "Lagipula aku tak punya uang untuk berlama-lama disini, membeli makanan saja aku tidak bisa, apalagi menginap berbulan-bulan dirumah sakit, rumah sakit tidak gratis dokter!"
Rafael mengacak-acak rambut panjang Moli. "Jangan pikirkan masalah uang, sembuh saja dulu, kamu tenang saja, cukup tenang disini, kamu tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun,"
Moli mengerjapkan matanya. "Memangnya ada yang seperti itu, ya?"
"Yah, kamu pikir saja sendiri."
****
Siang ini matahari begitu cerah, membuat beberapa pasien keluar dari kamar untuk menghirup segar. Moli, gadis berpakaian pasien itu berlari riang di taman rumah sakit.
Moli, gadis delapan belas tahun yang ditemukan sebulan lalu pingsan ditepi jalan karena kelaparan. Moli memang terbiasa tidak makan dalam beberapa hari kalau tidak punya uang, namun entah kenapa hari itu tubuhnya benar-benar lemah. Moli tidak punya keluarga.
Ia sejak kecil tinggal di tempat penampungan anak, disana anak-anak diperlukan tidak baik, mereka di suruh menjadi pengemis dijalanan dan gadis berusia enam belas tahun akan dijual sebagai p*****r. Diumur Moli yang ke lima belas, dia berhasil kabur dari tempat penampungan anak.
Bebas darisana, hidup Moli belum sepenuhnya bahagia. Dia tinggal di rumah kardus dan melakukan berbagai pekerjaan yang ia bisa. Jika uangnya tak cukup membeli makanan, Moli tidak akan makan.
"Maaf! Maafkan aku!" Moli terkejut saat dirinya hampir menabrak nenek yang berjalan bersama tongkatnya.
"Ah, tidak apa-apa," nenek itu tersenyum. "Kamu sangat bersemangat, mengingatkanku pada masa mudaku dulu," kekeh nenek itu.
Moli tersenyum lebar, menatap arah belakang nenek itu. "Nenek dengan siapa disini? Kalau Moli temani nenek mau?"
"Aku tadi bersama cucuku, dia mau membeli sesuatu sebentar, tentu saja kamu boleh menemaniku disini,"
"Nek, ayo kita duduk disana sambil berbincang,"tunjuk Moli pada salah satu bangku taman.
"Nenek!" seorang pria berjas datang mendekat, ia menatap Moli dengan heran saat melihat ada orang asing bersama sang nenek. "Ini... Siapa nek?"
"Dia—,"
"Ah, aku Moli, aku pasien disini, hehehe," kata Moli ramah.
Pria itu, menatap Moli beberapa saat sebelum berbisik pada neneknya. "Dia bukan pasien sakit jiwa 'kan nek?"
"Hei! Jangan bicara sembarangan!" pipi Moli menggembung karena kesal.
"Robin, jangan bicara seenaknya, dia Moli gadis aktif yang baru aku temui tadi,"
Robin menggaruk tengkuknya. "Maafkan aku Moli, sebelumnya kenalkan, aku Robin."
Moli masih cemberut. "Hmmm, aku Moli. Baiklah Robin hood, jangan membuatku kesal lagi,"
Gantian Robin menatap Moli kesal. "Hei, aku bukan Robin hood! Moli, namamu seperti anak anjing kecil,"
"Hei!"
"Sudah-sudah, kenapa kalian bertengkar?" nenek tersenyum.
Moli mencibir kearah Robin, membuat pria itu langsung mencubiti pipinya. "Wah kamu lucu juga," kekehnya melihat wajah Moli yang melebar.
"MOLI!!!"
Teriakkan itu mengagetkan Moli. Dia menoleh, melihat wajah garang Dokter Rafael tengah mendekat. "Ini waktunya pemeriksaan!" begitu sudah dekat, Rafael menarik Moli agar lebih dekat dengannya. Membuat Robin mengernyit bingung. Namum nenek hanya tersenyum.
Tangan Rafael menarik Moli hingga perempuan itu terhempas di dadanya. "Ayo, pergi, saatnya pemeriksaan." ucap Rafael, tangannya meliliti pinggang kecil Moli.
Melihat interaksi Moli dan dokter itu yang terlalu intim membuat Robin terheran.
"Ayo cepat," paksa Rafael.
Moli mengerucutkan bibirnya kesal. Ia lalu berpamitan pada nenek, terakhir pada Robin yang masih diam. "Aku pergi dulu, sampai jumpa nenek, Robin,"
Lalu dua orang itu telah berjalan memasuki rumah sakit. Begitu sampai di ruang rawat Moli, gadis itu terkejut melihat dokter Rafael yang mengunci pintunya. Kamarnya memang lumayan mewah menurutnya dan lebih privasi karena terletak dilantai paling atas.
"Dokter kenapa dikunci?"
Rafael meletakkan alat-alatnya di meja kecil, disamping ranjang. "Aku akan melakukan pemeriksaan,"
"Iya, aku tau, tapi biasanya pintunya tidak dikunci."
Rafael mendelik. "Hari ini pemeriksaannya sedikit berbeda. Sekarang, kamu buka bajumu,"
Moli awalnya mengangguk, sebelum matanya melotot. "Hah? Apa? Kenapa?"
"Jangan banyak tanya, lakukan saja!"
Moli sempat ragu, namun otaknya mencoba berfikir logis. Rafael adalah Dokter, man berani macam-macam. Ia pun membuka pakaiannya hingga menyisakan bra dan celana dalam putih.
Rafael tampak mematung disana. Namun buru-buru pria itu berdeham. "Berbaring lah," bisiknya.
Moli berbaring dikasur dengan gerakkan malu, ia menutupi beberapa bagian tubuhnya saat stetoskop Rafael menyentuh tubuhnya. Moli meringis merasakan dinginnya benda itu.
"Moli, bagaimana aku memeriksamu kalau kau menutupi tubuhmu?" suara Rafael terdengar serak.
"Hah? Ah-y-yaa," gugup Moli membuka tangannya perlahan, kedua tangannya terkepal menahan malu. Biasanya Rafael tidak pernah memeriksaku dengan keadaan seperti ini!
"Diam saja, mengerti?" bisik Rafael. Tangan pria itu menurunkan stetoskopnya kearah d**a sebelah kiri Moli. Gadis itu menahan nafas ketika stetoskop dingin itu begerak ringan di dadanya.
"Do-dokter, ah!" Moli mengigit bibir bawahnya saat dengan tiba-tiba tangan Rafael yang satu lagi menyibak bra yang dia kenakkan lalu stetoskop dingin itu tiba di putingnya.
Rafael hanya diam, tangannya bergerak-gerak disana. Moli tidak melawan, belum mengetahui apa maksud pria itu. "Ah!" pekiknya ketika jari pria itu mencubit putingnya.
Moli mulai sadar. Pria ini pasti berniat m***m!
"Dokter! Hentikan! Aku nggak suka!" Moli mendorong tangan Rafael dari dadanya.
Mata Rafael menajam. "Kenapa? Kamu nggak suka aku sentuh? Kamu lebih menyukai sentuhan laki-laki ditaman tadi?"
Moli mengerutkan keningnya. "Apa maksud dokter?"
Rafael hanya diam, lalu mengambil sesuatu di dalam jas dokternya. "Ini adalah pemeriksaan akhirmu kalau ingin keluar dari rumah sakit,"
"Pemeriksaan apa lagi?"
"Kalau kamu ingin keluar ikutin saja perintahku, kalau tidak kamu di sini saja selamanya," ucap suara Rafael memberat.
Moli berfikir beberapa saat. "Oke, aku mau, setelah aku keluar dari rumah sakit aku berenca memulai hidup baru, lagi pula aku bosan disini,"
"Ya, mungkin setelah kamu keluar dari rumah sakit ini kamu akan memulai hidup baru," bisik Rafael. "Ayo berbaring lagi,"
"A-apa?"
"Kamu harus diam, ingat, ini pemeriksaan penting, syarat untuk kamu keluar dari rumah sakit," Rafael mengambil sebuah botol mineral dibalik tubuhnya. "Sebelumnya kamu minum ini dulu," tanpa pikir panjang, Moli meneguk minuman itu.
"Baiklah, mari kita mulai pemeriksaannya," begitu Moli sudah berbaring. "Sebelumnya aku harus membuka bra milikmu dulu,"
Moli diam, meski wajahnya memerah malu.
"Hmmp!" Moli menahan erangan suaranya ketika Dokter Rafael mendekatkan mulutkan kepuncak payudaranya.
"Saya harus memeriksa ini," lalu lidah pria itu terjulur menjilat daging kecil disana. Slurrp.... Suara itu keluar saat Dokter Rafael menghisapnya dengan kuat.
"Hmmmp ah! Hhhhh," Moli menutup mulutnya sekuat mungkin. Mendadak tubuhnya panas dan bagian bawahnya mendadak terasa gatal.
"Moli, aku ingin mendengar desahanmu," kini p******a bagian lain yang dijilati oleh Rafael. Tanagn Rafael yang satu lagi merambat lambat ke bagian bawah tubuh Moli.
"Ahhhh! Ahhhhhh, dokter! Ahh!" Moli tak dapat lagi menahan erangannya ketika jari Dokter Rafael menggesek-gesek jarinya dibelahan vaginanya. "Ahhh, oh, sa-sakit dok." jari telunjuk Rafael menekan masuk kesana.
"Sakit, ya?" bisik Rafael. "Biar kuberi obatnya, ya," lalu secara mendadak kakinya ditarik mengangkang oleh Dokter itu.
"Apa yang- ahhhhh! Ahhhhhh! Dok-dokter!!!!" antara terkejut dan kenikmatan yang ia rasakan, Moli terpekik saar benda basah berlendir sudah singgah di k*********a. Lidah Dokter Rafael menjilati bagian bawahnya.
"Milik kamu sempit sekali," ucap serak Dokter Rafael ketika lidahnya dengan liar memasuki lubang kemaluan Moli.
"Dokter! Dokter!" pekik Moli menggeleng tak kuat. Rasanya... Nikmat!
"Apa Moli?" Dokter Rafael menjauhkan wajahnya dari kemaluan Moli, kini laki-laki itu menatap wajah Moli, lalu melumat bibir gadis itu. Pria itu mengigit dan melumat bibir Moli.
"Bolehkan Moli? Bolehkah aku memilikimu?" Rafael menyatukan kening mereka.
Wajah Moli memerah, kenapa tubuhnya terasa panas? Kenapa dia suka saat Rafael menyentuh tubuhnya?
"Bo-boleh," jawab Moli malu.
Rafael tersenyum senang lalu ia membuka setiap kain yang ada di tubuhnya. "Kamu selalu berhasil membuatku merasakan sesuatu yang berbeda," kini Rafael sepenuhnya telanjang.
Rafael ikut menaikki ranjang, kini mengangkangi tubuh Moli. Dengan pelan, ia menggesekkan kejantanannya pada kemaluan Moli. "Ahhhhh,"
"Ahhhh... Dokter," entah kenapa tubuh Molu bereaksi ikut memajukan-mundurkan tubuhnya.
"Sekarang aku masukkan, ini pasti akan terasa sakit, maafkan aku," lalu b***************n Rafael mulai menerobos selaput darah milik Moli.
"Sakitt! Hiks, hentikan dokter!" kemaluan Moli terasa sakit ketika Rafael menusuk miliknya. "Ahhhh," namun pada akhirnya ia mendesah ketika kejantanan Rafael sudah masuk sepenuhnya.
"Ohh, ahhhh sempit sekali," ringis Rafael kenikmatan. Ia perlahan menggerakkan tubuhnya maju-mundur. "Ohhhhhh Moli."
"Hahhhhhh, ahhhh!" tempo Rafael mulai cepat.
Rafael merasakan klimaksnya hampir dekat hingga ia makin mempercepat tempo gerakannya. "Moli! Moli! Ahhhhh!"
"Ahhhhhh, dokter!!!!"
Cairan Dokter Rafael tumpah. Laki-laki itu memperdalam kejantanannya kedalam v****a Moli, tangannya mengambil bantal disana dan meletakkannya dipanggil Moli.
Moli yang lemas hanya pasrah tanpa tau maksud pria itu. Rafael Mengecup lembut perut Moli sebelum ikut tidur disamping wanita itu.
***
Sudah dua minggu berlalu sejak hari itu. Hari dimana Moli dan Rafael bersetubuh dengan panas.
Moli menatap pakaian kaus yang saat ini dia pakai. Kemarin tiba-tiba seorang suster memberitahunya diperbolehkan untuk pulang. Sangat mendadak padahal sebelumnya Moli seolah ditahan tinggal di rumah sakit.
Dua minggu pula Moli tidak pernah lagi bertemu Dokter Rafael. Moli sebenaranya sedih namun berusaha tetap tersenyum.
Kemana ya dia akan pergi? Dia tidak punya rumah.
Tanpa membawa apa-apa, Moli berjalan keluar dari rumah sakit. Ia termenung duduk di halte bus. kemana dia akan pergi selanjutnya?
"Hei, kamu si anjing kecil waktu itu 'kan sudah keluar dari rumah sakit? Kenapa tidak dijemput keluarga?"
Pria bernama Robin itu menatap Moli.
Moli mengerucutkan bibirnya. "Siapa yang kamu panggil anjing kecil Robin hood? Aku Moli!" gerutunya. " Ya, aku pulang hari ini dan masalah keluarga aku sudah tidak punya," Moli berusaha tersenyum.
"Hah? Ahh... Maafkan aku," Robin mengusap tekuknya, tak enak. "Terus kamu akan kemana?"
"Aku belum tau,"
"Ehmm bagaimana kalau kamu menjadi pengasuh nenekku? Aku lihat nenekku menyukaimu dan aku jarang dirumah hingga nenek kesepian, kamu bisa tinggal dirumahku,"
Mata Moli berbinar. "Benarkah? Aku—,"
"Tidak bisa!"
Tiba-tiba seseorang menarik Moli. Rafael datang dengan wajah marah. "Berani sekali anda menawari calon istri saya tinggal dirumah anda!" berang Rafael.
Moli melongo menatap Dokter Rafael dengan bingung. Menghilang dua minggu, tiba-tiba datang dan mengejutkannya.
"Dokter—,"
"Kamu!" jari Rafael menunjukkan Moli. "Ikut saya, kita ada acara pernikahan hari ini."
"Pernikahan... APA?!"
Dokter Rafael membawa Moli kedalam mobil, meninggalkan Robin yang tercengang.
"Pakai baju ini di belakang dan tolong rias dia," ucap Rafael pada sosok wanita dibelakang mobil.
"Dasar kakak gila! Mobil kan sedang jalan, bagaimana bisa aku mendandaninya, aku tau kau ingin cepat-cepat menikag tapi tidak begini juga!"
Moli hanya melongo tidak mengerti.
***
Benar-benar gila, Moli sudah mengenakkan gaun pengantin dengan riasan. Gadis itu tidak mengerti apa yang terjadi saat ini. Rafael menurunkannya di gereja.
"Ayo kita masuk dulu, ya," wanita yang baru Moli ketahui bernama Liana, adiknya Rafael menariknya masuk gereja.
"Sepertinya calon mempelai telah hadir, acara pernikahan dimulai,"
Seorang pria berumur mendadak mendekati Moli. "Gandenglah tanganku, nak," ucapnya. "Aku benar-benar tidak menyangka anakku akhirnya menikah,"
Banyak pertanyaan yang berkumpul dikepalanya, namun semuanya terputus ketika MC acara mengatakan pernikahan segera di mulai. Tamu-tamu di sana tidak cukup banyak namun berhasil membuat Moli malu saat dipandang begitu intens.
Rafael menunggu di dekat pendeta.
***
Semua terjadi begitu cepat kini Moli termenung diatas ranjang besar pakaiannya sudah berganti pakaian tidur biasa. "Apa... Barusan aku menikah?" ucapnya bingung.
"Iya, sayang, kita sudah menikah," tiba-tiba Rafael muncul dari kamar mandi. Memeluk Moli erat.
"Ta-tapi... Kenapa?"
"Karena aku mencintaimu,"
"Tapi kita— ,"
"Sebelumnya, aku mau minta maaf padamu,"
"Apa?—,"
"Pertama aku berbohong tentang alasan kamu tinggal selama itu dirumah sakit, aku hanya ingin kamu masih didekatku dengan jarak yang dapat aku jangkau, karena keluargaku pemilik rumah sakit itu, aku dapat dengan mudah memanipulasi," ringisnya.
"Kedua maaf aku menghilang setelah kita melakukan 'hal' itu, bukannya aku tidak ingin bertanggung jawab tapi aku harus secepatnya mengurus surat dan beberapa undangan untuk pesta pernikahan kita hari ini,"
"Ketiga, maafkan aku melakukan hal 'itu' tanpa persetujuan darimu apalagi aku telah memakaikan obat perangsang untukmu," Rafael menyentuh ujung bibir Moli. "Jujur... Aku tak pernah setertarik ini pada seorang wanita sampai menginkan seorang pendampingku adalah dirimu, aku... Sungguh jatuh Cinta padamu, Moli, aku cemburu melihat kamu dekat dengan pria lain, tanpa pikir panjang aku melakukannnya agar kamu terikat selamanya bersamaku."
Moli terdiam beberapa saat, sebelum tangisannya pecah. "HUAA!!! aku tidak tau sejak kapan, tapi sejak bertemu dokter jantungku selalu berdetak kencang, d-dan aku pikir kamu akan minta maaf karena menyesal menikahiku!!!"
Rafael tertawa, memeluk Moli erat. "Aduh lucunya gadisku, aku jadi ingin menciummu," Rafael melumat bibir Moli lembut. Namun perlahan berubah menjadi menggebu akan gairah.
"Ki-kita akan melakukan hal kemarin?" Moli gugup saat Rafael membuka pakaiannya.
"Iya, kamu suka 'kan?" Rafael tersenyum menggoda.
Dengan wajah merah Moli mengangguk. "Y-yah..,"
Dan selanjutnya Rafael mendorong tubuh Moli kekasur "Dokter hari ini akan memberikan pemeriksaan padamu jadi bersiaplah," tangan Rafael mulai menyerang tubuh gadis itu.
"Ahhhhh, Dokter!" pekik Moli saar Rafael menunduk menghisap putingnya.
End