"Diajeng. Kau cantik tanpa riasan di wajahmu," puji Agastya.
Ratnadewi sudah melepas semua perlengkapan putri kerajaan. Kini, di hadapan Agastya, dia adalah gadis yang siap melepas kesuciannya demi menjalankan kewajiban sebagai seorang permaisuri. Dia menunduk menyembunyikan wajahnya, malu. Hal pertama bagi seorang putri kerajaan berbagi ruang dengan orang asing. Setelah sebelumnya, dunia terkurung dalam dinding-dinding penantian. Bila boleh berkata, lelaki di hadapannya adalah orang pertama yang membawanya menyelami perasaan, gila di abun-abun, menjadi kenyataan.
Air mata terjatuh seraya keutuhan selaput daranya robek. Alam kemudian bereaksi akan mantra yang sedang bekerja membangkitkan darah leluhur. Aliran udara kemudian berembus menyampaikan kabar ini ke alam gaib.
"Ada lelembut yang sudah merapalkan mantra kebangkitan!" Raja Danawa dari Lembahiyang terperanjat dari tidurnya.
"Ada apa Yang Mulia?" Ratu Wikra ikut terbangun dari tidurnya.
"Lelembut mana yang sudah lancang merapalkan mantra ini? Kurang ajar!" Danawa kemudian keluar dari biliknya. Dia memerintahkan para penjaga untuk mengumpulkan seluruh lelembut dalam maupun luar kerajaan. Dia ingin mengetahui, siapa yang telah merapalkan mantra tersebut.
Beberapa waktu kemudian, para lelembut di dataran Lembahiyang telah berkumpul.
"Siapa di antara kalian semua yang sudah lancang merapalkan mantra kebangkitan?" Danawa berdiri di balkon istana. Dia tidak tahu kalau di belakangnya, Lunara tengah tersenyum kecil.
"Siapa pun dari kalian, akuilah! Sebelum aku benar-benar murka." Danawa memberikan sebuah ancaman. Namun, tak ada satu pun dari mereka yang mengaku. Hingga akhirnya, dia merapalkan mantra kepada Sang Hyang Widi untuk mengetahui pelakunya.
Cahaya dari langit malam gelap mulai terlihat. Seperti sebuah bintang terjatuh dari angkasa. Cahaya itu kemudian mendekati Lunara. Semua lelembut terkejut, ketika Danawa berpikir terlalu jauh, ternyata lelembut yang sudah membangkitkan mantra tersebut berasal dari dalam istana sendiri.
"Lunara?"
Lunara tersenyum dingin, lalu membuang pandangan dari ayahnya.
"Apa yang kamu lakukan?" Danawa tak habis pikir dengan tingkahnya kali ini. Dia adalah putri yang paling disayanginya. Selain karena paras cantiknya, Lunara juga terlahir dengan kepintaran tak terduga. Namun, tindakannya kali ini seakan tak mengikutsertakan kepintarannya tersebut.
Danawa beruntung bahwa dia tak mengungkapkan semuanya tadi. Kalau tidak, kegaduhan akan muncul di alam gaib. Sedang begini pun, para lelembut lain mulai saling berbisik. Karena, sebelumnya dia terlihat sangat murka. Akan tetapi, mengetahui bahwa pelakunya adalah putrinya sendiri, seolah membuat dia menyembunyikan sesuatu.
"Prajurit. Bubarkan para lelembut untuk kembali ke tempatnya masing-masing," titah Danawa setelah menelan ludah. Dia pun kembali memasuki istana Lembahiyang. Dia tidak tahu, bagaimana cara untuk mengatakan kepada putrinya tersebut.
"Yang Mulia, apa yang sebenarnya terjadi? Tolong! Beri aku jawaban."
Danawa tetap berjalan menghiraukan pertanyaan permaisurinya. Dia merasa tidak keruan. Sampai akhirnya, dia benar-benar dihentikan oleh sebuah mantra. Di alam gaib ini, ilmu sihir teramat biasa digunakan.
"Lepaskan mantramu, Maharani!" Danawa tak ingin melawan. Dia bisa saja melepaskan mantra tersebut dengan kemampuannya. Tapi mungkin, itu akan menyakiti si pemilik mantra.
"Tidak Yang Mulia. Sebelum engkau mengatakan kerisauanmu."
"Baiklah! Putri kita sudah merapalkan mantra kebangkitan pada seorang anak manusia. Darah Amara akan terlahir," ungkapnya.
"Lalu, apa yang membuatmu risau? Hanya sebuah mantra kebangkitan saja bukan?" Ratu Wikra sama sekali tidak mengerti apa-apa.
Danawa menghela napas. Dia berkata, "Kebangkitan seorang Amara, Maharani."
"Kudengar, Amara adalah makhluk abadi. Tapi, mengapa engkau risau? Apakah kelahirannya mengancam makhluk lelembut seperti kita?"
Danawa berkecumik merapalkan mantra. Lalu dimensi membawa mereka ke tempat antah berantah, dimana tak ada seorang pun yang bisa mendengar mereka berdua. Dia kemudian memohon sekali lagi, "Lepaskan mantramu, Maharani."
"Baiklah, Yang Mulia." Wikra lantas melepas mantra yang membelenggu Danawa sehingga dia tak dapat berkutik.
"Amara adalah makhluk yang memiliki keistimewaan. Dia bisa hidup di dua dunia, fana maupun gaib. Dia juga bisa menangguhkan kematiannya. Setelah sekian lama seorang Amara melepas kehidupannya, kini, dia bangkit kembali karena putri kita."
"Sungguh, Yang Mulia, hamba tidak mengerti. Apa yang membuatmu risau dari semua itu?" Ratu Wikra geram, pertanyaannya tak terjawab sama sekali.
Danawa kemudian menghampiri Wikra semakin dekat. Dia menempatkan telunjuk dan jari tengah di dahi sang permaisuri. Lalu, sebuah bayangan muncul dalam pandangannya. Sebuah peperangan yang menumpahkan banyak darah dan memecah kedamaian di antara kaum manusia dan lelembut.
"Tidak!" Ratu Wikra terperanjat. "Apa yang aku lihat?"
"Itu adalah pengelihatanku saat mendapat kabar dari alam, bahwa darah amara akan segera terlahir."
"Tapi … kenapa peperangan itu bisa terjadi?"
Danawa menggelengkan kepala. Lelembut memang memiliki kemampuan melihat masa lalu maupun masa depan. Akan tetapi, tetap saja, pengelihatan tersebut terbatas. Ada hal-hal yang tidak bisa terjamah dan menjadi rahasia takdir.
"Entahlah, Maharani. Aku hanya takut. Takut jikalau Putri kita ada kaitannya dengan peperangan tersebut. Firasatku mengatakan, peperangan itu dipicu oleh pemilik mantra yang merapalkan kebangkitan."
"Tidak! Tidak mungkin, Yang Mulia. Hanya karena putri kita merapalkan mantra kebangkitan tersebut, bukan berarti, dia juga terlibat untuk semua kekacauan di masa depan." Ratu Wikra menyangkal hal yang seharusnya dia setujui.
"Saat dia merapalkan mantra kebangkitan itu, dia sudah membuat kekacauan, Maharani." Danawa berkata dengan sinis. Lantas, dia mengembalikan dimensi ke tanah Lembahiyang. Dia memburu langkah menuju bilik putrinya, 'tuk mempertanyakan maksud dan tujuan sebenarnya.
Ratu Wikra mencoba merapalkan kembali mantra 'tuk menghentikan langkah junjungannya tersebut. Namun, lelaki itu telah membentengi diri dari mantra apapun. Sehingga, dia tak dapat menghentikannya kali ini.
"Yang Mulia …" Ratu Wikra tak henti memanggilnya.
"LUNARA!" Suara Danawa menggema seraya tangan mendorong pintu biliknya.
Lunara berbalik. Dia tengah berada di dekat jendela, menatap alam luas. Mereka tak henti mengabarkan tentang kebangkitan darah Amara. Makhluk seperti apa yang sebenarnya dia bangkitkan? Karena, sebelum-sebelumnya tak pernah seperti ini saat dia merapalkan mantra kebangkitan.
"Apa yang kau lakukan, Putriku?" Danawa mendekat. Dia megatakannya penuh kekecewaan. Akan tetapi, kekecewaan yang bersarang di hati Lunara lebih besar.
"Aku hanya sedang mencari kemujuran untuk kebahagiaanku. Apa itu salah?"ungkap Lunara dengan angkuh. Dia melipat kedua tangannya.
"Kemujuran apa yang kau cari? Kau seorang putri di kerajaan terbesar lelembut. Kau juga telah mendapatkan banyak ilmu yang telah kuwariskan—"
"ITU SAJA TAK CUKUP, RAMA!" Lunara meninggikan suaranya. "Tak cukup. Karena engkau tak akan memberikan Lembahiyang kepadaku."
"Apa?" Danawa kebingungan. Di kepalanya sama sekali belum terpikirkan kepada siapa kekuasaan Lembahiyang diberikan.
"Aku sudah melihatnya. Kau tidak akan memberikan Lembahiyang kepadaku hanya karena aku seorang perempuan," ungkap Lunara penuh kekecewaaan.
"Aku akan memberikannya kepadamu. Katakan, kepada siapa kau merapalkan mantra kebangkitan tersebut?"
Lunara tak sebodoh ketika dia merapalkan mantra kebangkitan. Dia tahu jika ayahnya hanya melontarkan kata-kata penenang. Jelas, dia tidak akan mempercayai dengan mudah tanpa sebuah bukti. Maka, dia meminta suatu hal kepada ayahnya.
"Katakan kepada rakyat Lembahiyang. Jika aku yang akan menggantikkanmu, ketika engkau sudah tiada."
"Kau memang pintar, Putriku. Tapi, kau harus ingat. Semua ilmu yang kau punya berasal dari siapa. Tanpa kau beritahu kepada siapa mantramu dirapalkan, aku bisa mengetahuinya sendiri."
Danawa berubah pikiran. Dia telah melihat sisi keserakahan dari putrinya. Jika kekuasaan tertinggi jatuh kepadanya, maka bukan hanya rakyat Lembahiyang yang akan menderita. Melainkan, seluruh dataran kehidupan bangsa lelembut. Maka, dia pun berbalik meninggalkan sang putri tanpa sepatah kata.
"Jadi, Rama memang tidak akan memberikan takhtamu kepadaku, bukan?" Lunara berasa naik darah, tak dapat menahan kekesalannya.
"Tidak pada awalnya, tapi aku berubah pikiran setelah melihatmu sekarang. Ya, aku tidak akan memberikan takhtaku kepadamu." Danawa kembali berjalan.
"Ya—Yang Mulia, tunggu!" Ratu Wikra tidak dapat melihat perselisihan di antara ayah dan putrinya tersebut. Dia pun merendahkan dirinya sebagai seorang ibu yang hendak membela putrinya. "Hamba mohon. Kita bisa membicarakan ini baik-baik. Lunara pun—"
"Tidak, Maharani! Dia sudah meragukanku. Sekalipun dia tak menjadi pemimpin di dataran Lembahiyang, aku pasti akan mencarikannya raja yang pantas untuknya. Tapi, lihatlah! Apa yang dia lakukan."
Danawa kembali melangkahkan kaki, disusul oleh Ratu Wikra yang tetap memohon.
Lunara kemudian menutup pintu biliknya. Dia harus menjaga agar mantranya tidak digagalkan oleh Sang Ayah.
'Tidak, Rama. Aku ingin menjadi ratu yang memimpin. Jika aku menjadi seorang ratu dari raja yang telah kau pilihkan, maka aku tidak dapat membuatnya berada dalam kendaliku. Aku akan tetap membuat mantraku bekerja, agar Babad menjadi raja di bawah perintahku sebagai ratunya yang telah membantunya mendapatkan takhta di Tanah Manbara. Bayi itu akan terlahir, Rama.'
.
.
.
Bersambung
•> Pojok kata :
- Gila di abun-abun : mengharapkan sesuatu yang mustahil.