Bagian 6.
Takhta telah jatuh ke tangan Agastya. Kini, dia telah menjadi seorang Raja di Tanah Manbara. Selang beberapa pekan selepas upacara penobatan dirinya, kabar menggembirakan datang. Seorang tabib istana memberitahunya, bahwa di perut Ratnadewi telah tumbuh janin dari buah cinta mereka.
Kebahagiaan Agastya dan Ratnadewi tak ada apa-apanya, dibandingkan dengan kebahagiaan Babad. Sebab, hanya tinggal menunggu jabang bayi itu terlahir. Lalu, dia akan segera melancarkan siasat mengusir mereka dari istana. Pada akhirnya, takhta di Tanah Manbara menjadi miliknya.
⁂
Klontang ….
Ratnadewi menjatuhkan salah satu benda yang berada di atas nakas, samping tempat tidurnya. Dia terbangun tiba-tiba karena sakit di perutnya serasa tak tertahankan, seperti nyawa seolah-olah akan segera tercabut. Dia tak kuasa menahannya sampai berteriak dan membangunkan seluruh penghuni istana. Ini memang sudah saatnya dia 'tuk melahirkan jabang bayi yang dikandungnya.
"Aaaa …" teriaknya menyuarakan kesakitan hingga alam menyahutnya. Angin berembus kencang, burung-burung beterbangan seolah melarikan diri dari ketakutan. Tepat di waktu pagi buta, ketika cahaya mentari masih berusaha mengusik kegelapan agar segera sirna.
"Ratu …" Perlahan orang-orang mulai berdatangan, mulai dari para dayang dan abdi, prajurit, hingga Kahil--orang yang mendapat amanat untuk menjaga ratu. Sebab, Agastya sedang bepergian 'tuk urusan perdamaian setelah beberapa pekan terjadi kegaduhan di antara dua kerajaan budaknya.
Seorang perempuan yang dituakan sebagai dukun beranak telah siaga di istana. Dia membantu Ratnadewi dalam persalinannya tanpa Sang Raja. Di dalam bilik itu, hanya ada mereka berdua. Sedangkan para dayang dan abdi, prajurit, bahkan Kahil menunggu di luar.
Ratnadewi terus berteriak kesakitan, membuat Kahil semakin cemas. Dia pun pergi melepaskan seekor merpati terbang membawa surat yang diikatkan ke kakinya, untuk disampaikan kepada Agastya. Tak lama kemudian, suara dari bilik tempat Ratnadewi melakukan persalinan hening.
"Apa yang terjadi pada Ratu?" gumam Kahil. Firasat buruknya mulai bersarang dalam benak. Pasalnya, tak ada suara tangisan bayi menggantikan teriakan kesakitan Ratnadewi.
⁂
"Ni, apa yang terjadi? Kenapa bayiku tidak menangis?" Ratnadewi risau, suara lirih mewakilinya.
"Saya tidak tahu, apa yang harus saya katakan. Bayi ini sepertinya anugrah dari Yang Maha Agung, Ratu."
Dukun beranak itu memandang bayi dalam gendongannya penuh kekaguman. Seorang bayi perempuan cantik dengan kulit dan rambut yang berwarna putih, bola mata berwarna biru disertai bulu-bulu tipis di tubuhnya berwarna keemasan. Dia tidak menangis saat terlahir ke dunia fana ini, melainkan tersenyum manis.
Jendela kemudian terbuka oleh angin kencang. Sosok Lunara masuk ke dalam bilik tersebut. Dia tersenyum dan berkata, "Selamat atas kelahiran putri pertamamu, Ratu."
"Si—siapa kau?" ungkap Ratnadewi panik.
Sementara itu, sang dukun beranak nampak ketakutan. Dia gemetar, tetapi erat menggenggam bayi dalam pangkuannya.
"Berikan bayi itu, nenek tua." Lunara menatap tajam sambil terus mendekat. Namun, dukun beranak itu tak mau memberikannya. Dia berjalan mudur secara perlahan dengan kepala yang terus menggeleng. Kesabaran Lunara pun habis, dia membuat dukun beranak tersebut jatuh tak sadarkan diri dan merebut bayi Ratnadewi.
"TIDAK! KAKANG AGASTYA." Teriaknya seketika membuat Lunara merapalkan mantra dengan cepat. Sebuah kekuatan menyerang Ratnadewi hingga tak sadarkan diri.
Brukkk … Kahil mendobrak pintu dan dia mendapati sosok lelembut tengah menggendong bayi dari keponakannya.
"Siapa kau?"
Lunara segera pergi tanpa menjawab pertanyaan dari Kahil. Dia terbang melintasi udara dengan nuansa langit yang mulai terlihat cerah. Sebenarnya, dia bisa saja menghilang dan menembus dimensi lain. Akan tetapi, itu bukan bagian dari rencananya. Dia akan menunjukkan bayi tersebut ke pemukiman warga.
Sementara itu, Kahil memerintahkan para prajurit ikut bersamanya mengejar sosok lelembut yang sudah menculik bayi dari Agastya dan Ratnadewi. Saat dia sudah bersiap, Babad muncul tiba-tiba dengan kuda yang biasa ditungganginya.
"Aku ikut, Paman. Bagaimanapun, bayi itu adalah keponakanku." Sandiwara yang cukup bagus, agar terhindar dari kecurigaan.
Kahil menatapnya ragu, tapi dia tak ingin membuang waktu. "Baiklah, Ayo!" Mereka segera mengejar Lunara.
Suara derap kaki kuda yang disertai lengkingan membangunkan sebagian warga yang belum memulai aktivitas. Mereka terburu-buru keluar dari gubuknya melihat keadaan. Sosok lelembut terlihat terbang dan dikejar oleh rombongan kerajaan.
"Berhenti makhluk durjana!" Kahil mengeluarkan pedangnya dan melompat dari kuda. Seketika Lunara pun berhenti.
"Sembah hamba, makhluk mulia." Lunara menunduk. Dia berlagak seolah takut karena pedang yang ditodongkan kepadanya.
"Berikan bayi itu." Kahil berkata tegas.
Lunara tersenyum kecil dengan wajahnya yang masih menunduk. Dia pun menghempas pedang yang tengah ditodongkan kepadanya. Kahil terkejut, senjatanya bahkan sampai patah. Mereka kemudian bertarung dengan tangan kosong.
Para prajurit mulai bergerak membantu Kahil, tapi jelas bahwa mereka bukan tandingan setara bagi Lunara. Mereka hanya memperlambat Kahil jatuh telak dalam kekalahan. Darah sudah bertumpah di mana-mana, Kahil pun bertumpu dengan lutut yang menopang tubuh lemasnya. Dia sudah tak kuasa untuk berdiri karena tenaga dalamnya diserang habis-habisan.
"Lemah!" gumam Lunara. Dia masih menggendong bayi Agastya dan Ratnadewi. Lalu, dia berjalan mengambil salah satu senjata seorang prajurit yang telah gugur.
"Tidak!" Kahil mencoba bangkit, tapi dia malah terjatuh.
Lunara tersenyum kecil lagi. Dia berjalan perlahan menghampiri Kahil sambil menyeret sebuah tombak. Namun, tiba-tiba dia berbalik arah secepat kilat, menjatuhkan Babad yang masih berada di atas kuda. Lelaki bodoh itu hanya menjadi penonton seperti para warga yang tak memiliki kekuatan.
"Apa yang kau lakukan?" tanyanya panik setelah terjatuh dan ditodong dengan ujung tombak tajam di lehernya.
"Tak berguna!" ungkap Lunara. Dia menarik tombak tersebut dan bersiap menancapkannya. Namun, sebelum tombak tersebut merenggut nyawa Babad, sebuah anak panah melesat mematahkannya.
Agastya datang menunggangi kuda. Dia tak segera melakukan serangan kepada Lunara. Dengan sikapnya yang tenang, dia turun dan mengajak berbicara sosok lelembut di hadapannya baik-baik.
"Aku terburu-buru saat mendapat sebuah kabar kalau kau ingin bermain dengan buah hatiku. Namun …,"
"Cukup. Aku tidak suka berbasa-basi."
"Baiklah, kembalikan bayiku, Nyimas." Agastya mulai berbicara tegas.
"Dia bukan bayimu." Lunara hendak menghindarinya. Namun, Agastya sigap menahan kepergiannya. Sehingga pertarungan pun tak dapat terelakkan.
Agastya menyerang lengan kiri yang begitu erat menggenggam bayinya. Kemudian, bayi itu terempas mengapung di udara. Keduanya sama-sama berlomba untuk menangkap bayi tersebut. Akan tetapi, Agastya lebih dahulu mendapatkannya dan melepaskan pukulan yang membuat Lunara terjatuh.
"Kurang ajar. Ini belum berakhir, karena bayi itu tak seharusnya ada di sini," ungkap Lunara menahan sakit. Seketika dia merapalkan mantra 'tuk berpindah dimensi.
Seusai pertarungan, para warga mulai bergunjing. Apa gerangan yang terjadi? Sampai-sampai, sosok lelembut tersebut mengatakan hal demikian. Sepasang bola mata mereka mulai tertuju pada bayi yang berada dalam gendongan Agastya.
"Kau tidak apa-apa?" ungkap Agastya kepada Babad. Dia menghiraukan orang-orang yang tengah menatapnya dengan penghakiman.
"Tidak, Rakanda." Babad terbangun. Tak ada sedikit pun luka atau memar di tubuhnya.
Agastya pun berpaling dan menghampiri Kahil. Dia menekuk sebelah lututnya bertumpu di tanah. Bertanya penuh kecemasan, "Paman tidak apa-apa?"
"Tidak, Yang Mulia. Bagaimana bayimu?" Kahil menepikan semua rasa sakitnya, meskipun darah dan luka lebam terukir di wajahnya. Dia begitu khawatir pada sesuatu yang seharusnya dia jaga, yakni Ratu Ratnadewi dan bayi tersebut.
"Ah …" Agastya memalingkan pandangan pada bayi yang tengah di gendongnya. Sedikit rasa heran hinggap dalam benak. Pasalnya, bayi ini tak sedikit pun menangis meskipun sosok lelembut menyeretnya dalam pertarungan. Perlahan, dia mulai membuka kain yang membungkus bayi tersebut.
"Ya, Gusti!" ungkapnya terkejut, bayi itu tersenyum. Bukan hanya Agastya, melainkan semua orang yang menyaksikannya.
Kahil menelan ludah. Dia mengingat kata-kata terakhir dari sosok lelembut tadi sebelum menghilang.
Karena bayi itu tak seharusnya ada di sini.
"Yang Mulia, putrimu adalah sebuah anugrah," celetuk Kahil agar para warga tak sembarangan menuduh keponakannya.
"Benar, Paman. Dia cantik." Kemudian mentari mulai terbit menyinari mereka. Agastya semakin yakin kalau bayi dalam gendongannya adalah sebuah anugrah, meskipun ciri fisiknya berbeda dari keturunan Manbara atau Sankara.
Agastya kemudian mengangkat bayinya terpancar sinar mentari. Suara lantangnya menyuarakan sebuah kabar, "Kuberi nama bayi ini, Arunika."
.
.
.
Bersambung.