Bagian 8 : Terjatuhnya Sebuah Mahkota

1280 Words
Gawat! Malapetaka tengah datang ke Tanah Manbara. Kutukan yang menjelma dalam wujud bayi kecil Sang Raja. Kini, wabah mengerikan menyebar di kalangan masyarakat. Beberapa di antaranya bahkan harus berpulang ke Sang Hyang Widi karena sebuah penyakit gatal nan mematikan. Selain itu, sebagian lelembut sering kali menculik anak-anak di waktu petang. Wanci sareupna, istilah dimana para lelembut keluar. Namun, rasanya aneh sekali ketika mereka menebar teror di waktu tersebut. Dahulu sekali, padahal makhluk dua alam hidup berdampingan tanpa salah satu mengganggu. Terkecuali, ada seorang manusia yang bersekutu dengannya. Itu berarti, mungkin saja Raja Agastya atau Ratu Ratnadewi melakukan persekutuan dengan lelembut. Dan semua yang terjadi sekarang ini karena kesalahan mereka. Tega sekali mereka menjadikan rakyatnya sendiri sebagai tumbal, begitu pemikiran rakyat Manbara. ⁂ "Yang Mulia, desas-desus di tanah Manbara semakin meluas. Kita juga tidak dapat mengatasi wabah yang tengah menyerang para warga. Ditambah lagi, anak-anak yang sering menghilang tatkala petang." Kahil melaporkan situasi terkini keadaan di Tanah Manbara. Wajahnya cemas, dia tak mengutarakan semua yang ada dalam benaknya. "Lantas, apa yang harus aku lakukan, Paman?" Suara lirih Agastya memudarkan pesona kewibawaannya. Beberapa pekan ini, dia tak dapat berpaling menunggu Ratnadewi. Kekuatan tenaga dalamnya melemah, mantra yang Lunara gunakan sangat kuat. "Yang Mulia, apa tidak sebaiknya kita—" "Kau ingin aku menyerahkan putriku pada bangsa lelembut?" Agastya berpaling dengan wajah sinis. Tentu dia murka. Bukankah, beberapa waktu lalu, Kahil mengatakan jika putrinya adalah sebuah anugrah. "Kurasa … itu jalan satu-satunya." Kahil menunduk. Dia merasa canggung telah mengatakan hal tersebut. Namun, sebagai penasihat istana, dia memang harus mengatakannya. "Sampai kapan pun, aku tidak akan menyerahkan putriku pada makhluk licik itu." Pengadilan dari seorang pemimpin adalah rakyatnya sendiri. Maka bagi seorang pemimpin yang terpercaya, dia tak akan mengkhianati rakyatnya. Sekalipun mahkota yang menjadi taruhannya. Di depan gapura istana, seluruh rakyat Manbara sedang menyuarakan kemarahannya. Meminta Sang Raja segera keluar dan menyelesaikan permasalahan ini. "Ada apa ini?" Agastya memenuhi keinginan rakyat bertemu dengannya. Untuk sesaat, mereka terdiam. Lalu salah seorang berteriak, "Serahkan bayimu kepada bangsa lelembut. Dia adalah kutukan!" "Ya. Dia adalah kutukan!" Suara bersahutan mengatakan kalimat yang sama. Agastya tak punya kuasa. Perkataan mereka lebih menyakitkan daripada senjata-senjata tajam yang selama ini pernah melukainya. Maka dengan tegas dia berkata, "Aku tidak akan menyerahkan putriku!" Sekali lagi, rakyat Manbara terdiam sesaat. Mereka tak menyangka, bahwa sebagai seorang Raja, Agastya tak mampu berkorban demi rakyatnya. Dalam posisi seperti ini, entah siapa yang berprilaku egois. Apakah Agastya yang mencoba memerankan dirinya sebagai Ayah? Ataukah rakyat Manbara yang mencari keadilan, di tengah banyaknya korban jiwa dan anak-anak yang hilang entah ke mana, dibawa para lelembut. "KALAU BEGITU, LEPASKAN MAHKOTAMU!" Rakyat Manbara murka. Mereka bahkan melupakan caranya bersikap kepada Sang Raja. Agastya menghela napas. Dengan enteng dia kemudian melepaskan mahkota dari kepalanya. Rakyat Manbara kembali terdiam, mereka pikir Sang Raja akan melakukan pembelaan. Namun, dia justru memberikan mahkota tersebut kepada Kahil. "Paman, sedari awal takhta ini memang tak pantas untukku." Bibirnya tersenyum tulus, seolah lega karena sedari awal dia merasa keberatan menerima tanggung jawab sebagai seorang raja. "Tapi … Yang Mulia, siapa yang akan menggantikanmu?" Kahil cemas. Sebagai kerajaan besar pemimpin di antara kerajaan-kerajaan kecil, istana Manbara butuh dirinya sebagai pemimpin. Hanya dia yang mewarisi semua sifat dari Raja Danasura. "Kau yang akan menggantikannya, Pangeran Kahil." Rakyat Manbara menentukan pilihan. Ya, semua saling menyahut membenarkan. Sementara itu, Babad yang bersembunyi di dalam istana memantau mereka dari kejauhan. Kebahagiaannya sirna sesaat setelah mendengar rakyat Manbara menjatuhkan takhta kepada Kahil. Kemudian terlintas dalam benaknya, mungkin pamannya tersebut juga menginginkan takhta ini sejak lama. Sandiwaranya cukup bagus dengan berpura-pura sebagai pengabdi sejati. "Sial! Aku tidak bisa tinggal diam!" Babad kesal, mengepal tangan sekuat tenaga. Lalu, tiba-tiba tanpa disadarinya, Lunara berada di sampingnya. "Bagus kalau kau punya pemikiran seperti demikian. Pergilah ke sana dan cari perhatian mereka," titah Lunara. Tak ada keraguan dalam hati Babad. Meskipun selama ini berbagai siasat yang dilakukan terkadang membuatnya tersiksa, tapi semua itu selalu berhasil. Jadi, kali ini dia pun menuruti dan menyambangi warga yang sedang berkerumun bersama Agastya dan Kahil. "Rakanda …" Babad datang memasang wajah kecemasan, palsu. "Ada apa ini?" tanyanya bergantian memandang kerumunan rakyat Manbara, kakak, serta pamannya. 'Apa yang kucium ini? Kenapa Aroma lelembut tak menghilang juga dari tubuh Adikanda?' Agastya mengernyitkan dahi memandang adiknya. "Rakanda, mengapa engkau melepas mahkotamu?" Babad bertanya lagi setelah melihat mahkota berada di tangan Kahil. "Dia harus melepas takhtanya! Sebab sebagai seorang raja, dia tak berani bertaruh untuk keselamatan rakyatnya sendiri!" Seorang warga berteriak kembali. Dibenarkan dengan sahutan yang lainnya bergantian. "Tunggu! Apa yang kalian maksud?" Babad semakin mencari simpati dari rakyat Manbara dengan bersandiwara peduli atas semua yang sedang terjadi. "Adikanda …" tangan kanan Agastya menepuk pundak adiknya. "Sudah. Aku tidak masalah jika harus melepas takhta ini." "Tapi, Rakanda. Bukankah hanya melepas takhtamu saja sia-sia," ungkap Babad membuat Agastya memicingkan mata. Mengingat jika dia begitu menginginkan takhta ini. Mungkin saja, dia memang ada kaitannya. Apalagi aroma lelembut yang menempel di tubuhnya tak kunjung hilang. "Apa yang engkau maksud, Adikanda." Mimik wajah Agastya mulai berubah, perasaannya tak enak. "Aku sudah melihat bahwa para lelembut itu memang mengincar bayimu. Jika kau tak mau memberikan bayimu kepada mereka dan rela melepas takhtamu, tapi kau masih diam di Tanah Manbara, maka malapetaka akan tetap meneror kami." Kegaduhan kembali terjadi di antara rakyat Manbara. Apa yang dikatakan Babad ada benarnya. "Apa yang kau katakan, Pangeran Babad? Kenapa kau memperkeruh situasi di sini?" Kahil geram dengan pernyataan keponakan keduanya tersebut. "Aku mengatakan hal yang sebenarnya paman. Karena aku melihat semuanya." "Benar! Saat itu Pangeran Babad ada di sana dan menyaksikannya. Bahkan, pangeran Babad hampir dibunuh oleh lelembut itu." Seorang pencari kayu yang mengintip mereka bersuara. Rakyat Manbara pun kini menaruh kepercayaan kepadanya hingga bertanya, "Lantas, bagaimana baiknya sekarang, Pangeran?" Babad tertawa dalam hatinya, dia menang. "Hutan Bendu!" ungkapnya dengan tegas. Dia kemudian mengalihlan pandangan kepada Agastya, "Rakanda harus mengasingkan diri ke hutan tersebut membawa kutukannya." "Benar!" Rakyat Manbara bersahutan. Mereka bahkan kembali melontarkan kalimat menyakitkan, "Raja Agastya harus pergi dari istana dan Tanah Manbara!" Keterlibatan Babad dengan semua ini memang semakin jelas. Agastya pun menghela napas dan mengabulkan keinginan rakyatnya, "Baiklah, aku akan pergi ke hutan Bendu sekarang juga." Tubuhnya berbalik untuk bersiap mengangkat kaki dari istana membawa putri dan permaisurinya. "Tu—tunggu, Yang Mulia." Kahil mencoba menahan langkah kakinya. Namun, dia tetap berjalan tak acuh. Apalagi ketika hati rakyatnya sudah berlabuh pada sosok Babad. Teriakan mereka membanggakan ketegasan adiknya. "Hidup Pangeran Babad … hidup Pangeran Babad … hidup Pangeran Babad." Agastya menghampiri para dayang. Untuk terakhir kalinya dia meminta tolong, "Aku sekarang bukan rajamu, tapi aku ingin kalian membantuku membereskan semua barang milikku dengan ratu." Usai meminta pertolongan kepada para dayang, dia menemui beberapa kusir kerajaan dan berkata, "Untuk terakhir kalinya, aku meminta kalian mengantarku." Para pelayan istana lebih tahu bagaimana sikap para tuannya. Mereka pun merasa sedih bahwa Agastya harus meninggalkan istana. Namun, tidak ada yang bisa mereka lakukan. Mengabulkan pinta terakhir dari Agastya adalah sebuah kehormatan. Setelah beberapa saat, Agastya pun siap untuk meninggalkan istana Manbara beserta putri dan permaisurinya yang belum sadarkan diri. Di depan istana, rakyat Manbara masih berkumpul untuk memastikan bahwa Agastya meninggalkan kerajaan. "Rakanda, aku akan mengawal dan memastikan kalau kau benar-benar pergi ke hutan Bendu melewati sungai pembatas antara hal baik dan buruk." Ungkapannya kembali menarik hati para rakyat. Mereka terkagum atas kepedulian Babad memastikan jika kutukan benar-benar meninggalkan Tanah Manbara. Penyesalan pun tiba-tiba hinggap di benak mereka, mengapa terburu-buru mengatakan Kahil sebagai pengganti Raja Agastya? "Baiklah!" Agastya menyetujuinya. Saat Babad menaiki salah satu kereta kencana, salah seorang rakyat memberanikan diri berkata, "Kembalilah dengan selamat, Pangeran Babad. Rakyat Manbara membutuhkan seorang pemimpin tegas sepertimu." Babad tersenyum, rencananya berhasil. Kereta kencana pun mulai melaju mengantarkan mereka menuju hutan Bendu. . . . Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD