Bendu, sebuah hutan rimbun yang mengerikan. Letaknya berada jauh dari tanah Manbara. Untuk sampai ke tempat tersebut, seseorang akan melewati sebuah sungai. Dipercayai bahwa sungai tersebut merupakan pembatas pada hal baik dan buruk. Karena Bendu sudah dianggap sebagai hutan kutukan sejak lama.
⁂
"Yang Mulia, rakitnya sudah selesai." Seorang prajurit menghampiri Agastya dan memberitahunya.
Sudah sepekan lebih, terhitung dengan perjalanan dari istana Manbara, hingga sampai di sungai pembatas. Beberapa prajurit kemudian membuat sebuah rakit untuk bisa mengantarkan Agastya ke tepian sebrang hutan Bendu. Selama itu pula, dia bahkan tak berinteraksi sama sekali dengan Babad. Bukan tidak mau, akan tetapi selama perjalanan kereta kencana yang mereka tumpangi berbeda. Saat istirahat, seringkali adiknya tersebut menghilang dengan dalih mencari makanan. Namun, kembali dengan aroma lelembut menempel di tubuhnya. Bahkan, sampai sekarang ketika para prajurit disibukkan membuat rakit. Adiknya pergi entah kemana.
"Baiklah, ayo bantu aku membawa barang-barangku." Agastya yang duduk di bawah sebatang pohon bersama Ratnadewi dan putrinya kemudian berdiri. "Tolong, bawa putriku. Aku akan menghadiahi siapa pun yang mau membantuku menggendongnya dengan seratus keping emas." Wajahnya terlihat memelas. Dia tahu, tak akan ada yang mau menggendong anaknya karena dianggap sebagai kutukan.
Seorang prajurit kemudian menghampirinya dengan grobak yang sudah diisi barang-barang miliknya.
"Yang Mulia, kami membuat grobak ini. Ukurannya cukup untuk membawa Ratu dan Putri Arunika."
"Terima kasih, kalian semua begitu tulus membantuku." Agastya kemudian meletakkan Arunika dan Ratnadewi pada gerobak yang sudah diisi barang-barang miliknya. Seperti pakaian, pusaka, perbekalan makan dan lain-lain.
"Baiklah, Ayo!" Agastya mendorong gerobak tersebut ke dekat rakit. Namun, para prajurit mempertanyakan keberadaan Babad. Mereka tidak bisa mengantarkan tanpa sepengetahuannya.
"Tidak apa-apa. Saat sudah melewati sungai pembatas, aku tidak akan segera pergi. Aku akan menunggu sampai adikanda kembali. Seperti kalian yang juga menunggunya di tepian ini." Setelah mendengar ungkapan Agastya tersebut, mereka pun bersedia mengantarnya segera ke tepian hutan Bendu.
Tak ada hal buruk yang terjadi, para prajurit berhasil mengantar Agastya menyebrangi sungai. Sebelum mereka kembali ke tepian sebrang, Agastya mengeluarkan kantung yang berisi koin emas miliknya. Masing-masing dari mereka diberi hadiah sebagai ucapan terima kasih. Hal yang tak disangka sebelumnya, dia bahkan memberikan semua kepingan emas tersebut sampai tak tersisa.
"Yang Mulia, tapi bagaimana denganmu jika kau memberikan semua emas ini kepada kami?" tanya salah seorang prajurit.
"Aku tidak membutuhkan koin emas itu di dalam hutan ini. Harta hanya diperuntukkan untuk bertukar sesuatu dengan seorang manusia. Sedangkan alam, mereka memberikannya secara percuma. Ingat! Sisa dari apa yang sudah aku berikan kepada kalian, harus kalian berikan kepada yang membutuhkan."
Mereka terharu akan kebaikan Agastya. Bahkan sampai saat terakhirnya meninggalkan Manbara, dia masih begitu peduli kepada rakyat kecil. Tapi seperti kata pepatah bilang, Karena nila setitik, rusak s**u sebelanga. Kepedulian itu tidak ada artinya selama Agastya berkeras kepala tak mau memberikan putrinya kepada bangsa lelembut.
"Baik yang mulia. Kalau begitu, kami semua mohon pamit untuk kembali."
"Silakan."
Para prajurit kembali ke tepian sebrang. Setelah sampai, mereka tak segera pergi karena Babad belum kembali. Langit jingga bahkan sudah menampakkan wajahnya, petang datang. Akhirnya, Babad kembali tanpa sedikit pun rasa bersalah membuat semua orang menunggu. Dia hanya berekspresi lega bahwa Agastya sudah berada di tepian Hutan Bendu.
"Kalian sudah melaksanakan tugas dengan baik. Mari kita kembali ke Tanah Manbara." Babad segera naik ke dalam kereta kencana. Tak ada sepatah kata terlontar menyampaikan kalimat perpisahan kepada sang kakak.
'Selamat tinggal, Rakanda. Semoga tubuhmu menjadi santapan nikmat untuk binatang-binatang buas di dalam hutan tersebut.' Babad berserta rombongan kerajaan berlalu meninggalkan Agastya.
"Baiklah! Di sini tempatku sekarang." Agastya menatap hutan rimbun di hadapannya. Waktu sudah semakin larut, tidak mungkin baginya untuk masuk ke dalam hutan dalam keadaan langit yang semakin menggelap. Sekali lagi, mereka harus bermalam dalam kedinginan tanpa gubuk yang menaunginya.
⁂
Cuitan seekor burung membangunkan Agastya, ia sedang bermain dengan Arunika. Sepertinya, bayi itu sangat senang dan tidak rewel. Padahal sejak semalam, Agastya tidak memberikannya s**u. Persediaan s**u sapi yang dia bawa dari istana sudah habis bahkan sebelum mereka menyebrangi sungai.
"Diajeng, aku mohon, sadarlah. Aku memerlukan bantuanmu." Sedari awal, Agastya memang tak memberikan air s**u ibu pada Arunika. Dia takut jika putrinya tersebut akan semakin menyerap energi dari Ratnadewi yang belum sadarkan diri.
Agastya menunduk lesu, tapi selama napas masih berembus, maka permaisurinya tersebut belumlah tiada. Dia pun bangkit, cahaya mentari rasanya sudah mulai memancarkan kehangatan. Dia mendorong gerobak yang membawa barang-barang, permaisuri, dan putrinya masuk ke dalam hutan. Dia harus mencari kayu untuk membuat sebuah gubuk tempat mereka bernaung.
Suara auman dari binatang-binatang buas terdengar. Semakin lama, terasa semakin mendekat, lalu pergerakannya seakan diawasi. Para binatang buas mengamati kedatangan Agastya di balik semak-semak atau sebatang pohon. Sepertinya, mereka sudah siap untuk menerkam. Namun, setelah beberapa waktu berlalu, Agastya sadar bahwa mereka seakan-akan membuat sebuah barisan penyambutan.
Agastya tertegun dan perlahan dia mengalihkan pandangan kepada istri dan anaknya. Arunika tersenyum, sorot mata yang dipancarkannya membawa Agstya melihat sebuah dunia. Sukmanya tertarik pada pertemuan dengan seorang perempuan. Parasnya begitu mirip dengan Arunika. Dia pun tak tahu, apakah dirinya sedang bertemu sosok Arunika di masa depan, atau justru, makhluk yang berada di hadapannya itu jelmaan dari kutukan putrinya
"Agastya Guntur, putra Danasura." Perempuan itu tersenyum, sama seperti senyum yang dilihatnya dari Arunika.
"Si—siapa engkau?" Agastya terbata-bata.
"Aku mempunyai banyak nama karena terlalu lama hidup. Jadi, aku lupa namaku sebenarnya." Jawaban yang tak sesuai dengan harapan Agastya, namun membuatnya tambah penasaran.
"Maksudku … kenapa perawakanmu mirip dengan putriku?" Agastya memberanikan diri mengungkapkan kegelisahannya. Perempuan itu tersenyum sekali lagi.
"Aku seorang Amara, putrimu juga," ungkapnya."
"Amara?" Agastya kebingungan. Dia baru mendengar istilah tersebut.
"Ya. Amara adalah darah leluhur dari Ratnadewi, permaisurimu. Kami adalah makhluk yang terlahir dengan karunia keabadian."
Agastya terkejut. Seketika, dia kehilangan kata-kata meskipun tanya semakin banyak bersarang dalam benak. Bibirnya kelu tak mampu berucap.
"Putrimu lahir karena sebuah ambisi dari keserakahan. Maka, dia juga yang akan menuntaskan hal tersebut." Perempuan itu kemudian mendekat. Dia menempelkan telunjuk di jidat Agastya. Sebuah kilas balik pun berputar dalam pandangannya.
Orang-orang dengan ciri khas seperti putrinya seringkali terlahir untuk menuntaskan sebuah perkara. Mereka hidup abadi selama perkara yang mereka hadapi belum usai. Dalam kasus kelahiran Arunika, Agastya melihat bahwa dia bangkit oleh sosok lelembut yang beberapa kali menyerangnya. Namun, betapa terkejutnya bahwa ada sebuah persekutuan di antara lelembut tersebut dengan adiknya. Pantas seringkali tercium aroma lelembut menempel pada Babad.
Kesadaran Agastya kembali bersama perempuan itu.
"Jadi, semua ini ulah Adikanda Babad?" Firasat Agastya terbukti, tapi dia masih belum bisa menerima kenyataan tersebut.
"Benar. Lelembut itu merapalkan mantra kebangkitan pada Ratnadewi. Namun, dia tidak tahu, kalau dia membangkitkan darah Amara yang memiliki kekuatan maha dahsyat," tutur perempuan di hadapan Agastya.
"Kekuatan maha dahsyat?" gumam Agastya membuang pandangan.
"Ya. Selama Arunika bersamamu, maka kau akan aman. Sekalipun kalian berada di tanah kutukan Hutan Bendu ini. Satu lagi, biarkan dia menyesap air s**u pada ibunya. Hal tersebut justru baik untuk keadaan Ratnadewi."
"Hah? Benarkah?" Agastya mengernyitkan dahi. Perempuan di hadapannya tersenyum kembali dan entah bagaimana dia pun berada lagi di Hutan Bendu, sedang menatap putrinya yang berada di atas gerobak.
"Arunika …" Agastya membawanya dalam gendongan. Lalu, burung yang tadi mengajak Arunika bermain hinggap di pundak Agastya, seolah mengisyaratkan sesuatu. Tak lama, kawanan burung datang membawa kayu yang dikumpulkan di hadapannya. Kini Agastya sudah mendapatkan apa yang diperlukannya untuk membangun sebuah gubuk.
Sesaat lalu, dia tak ingin mempercayai pertemuannya dengan perempuan yang mirip dengan perawakan anaknya tersebut. Namun, setelah melihat kejadian ini dia percaya bahwa dalam darah Arunika menetes jiwa seorang Amara.
Agastya kembali meletakkan Arunika di samping Ratnadewi. Dia mengikuti perintah untuk membiarkannya mengesap air s**u ibunya. Maka, beberapa saat kemudian wajah Ratnadewi kembali berseri meskipun kesadarannya belum kembali. Semua kekhawatiran seketika lenyap. Agastya membiarkan mereka berdua dan mulai membangun sebuah gubuk untuk bernaung.
.
.
.
Bersambung