Chapter 17 - About Leon
Leon memasuki mobil putih yang tertengger di depan gedung putih lokasi shooting Merlin. Ia terihat lesu. Mukanya di tekuk. Moodnya langsung kusut hari ini. Bahagia sih, karena bisa bertemu dengan Merlin. Tapi sayangnya Leon tidak bisa lama-lama di sana. Sudah larut malam juga.
"Jalan pak!" perintah Leon pada supirnya. Pak supir langsung menyalakan mobilnya. Kemudian menjalankan mobinya dengan kecepatan sedang.
"Gimana? Udah keobatin rasa kangennya?" tanya seorang cewek yang kebetulan ada dalam mobilnya. Dari tadi cewek itu memang menunggu Leon bersama supirnya. Sampai sempat ketiduran segala.
Leon memang senang tapi wajahnya terlihat sangat bete. "Malah nambah kangen," singkat Leon.
"Yang penting elo bisa ketemu sama Merlin kan? Waktu elo engga banyak Leon, elo harus inget itu. Gue engga mau sampe elo kenapa-napa," ucap Dewanti cemas. Dewanti adalah kakak angkatnya keluarga Leon. Semenjak ayah ibunya Leon memutuskan, untuk tinggal di Jepang. Leon tinggal bersama Dewanti. Selama dua tahun ini, Dewanti yang mengurus semua keperluan Leon. Ayah ibunya Leon memantaunya melalui Dewanti.
"Stop kak! Jangan ingetin gue itu lagi! Gue tahu ko! Gue bakalan mati. Tapi seengganya biarin gue ketemu sahabat gue!" bentak Leon. Memang Leon paling sensitif, kalau sudah di ingatkan soal waktu.
"Sahabat? Yakin cuma sahabat? Leon, lo cinta kan sama dia? Lo juga pengen ketemu Fabio? Gue rasa jangan! Gue engga mau elo kena caci maki lagi ibunya! Padaha jelas-jelas itu kecelakaan. Masih aja Mitha nyalahin lo. Penyebab Fabio jatuh," omel Dewanti dongkol. Dewanti jadi semakin tidak suka pada Fabio. Karena semenjak kejadian itu. Leon jadi terus kepikiran. Bahkan sering cari cara untuk bisa bertemu Fabio.
"Kak, udah yah. Gue lagi engga mau bahas itu," pinta Leon.
Dewanti rasanya belum puas. Dia masih sebal dengan semuanya yang telah terjadi. "Elo berhak bahagia Leon. Mau sampai kapan elo sembunyiin rasa cinta lo ke Merlin? Mau sampai kapan lo jadi cowok misterius di mata Merlin? Mau sampai kapan juga Merlin nungguin lo? Udah jelas kok. Kalo Merlin juga suka sama lo. Lo itu terlali naif buat ngakuin itu semua sama Merlin, Leon. Lo tinggal jujur aja sama Merlin. Gue yakin dia mau ko jadi pacar lo. Dari pada nantinya dia di embat sama orang lain gimana?" rempet Dewanti terus mempengaruhi Leon. Habisnya geregetan. Leon hanya bisa mencintai Merlin dalam diamnya.
"Kak STOP! " Leon mulai terengah-engah. Ia meremas dadanya. Napasnya mulai naik turun. Sepertinya ia kambuh lagi. Dewanti terlalu menekan Leon. Leon pasti stress dan kepikiran.
"Pak cepet yah! Kita harus tepat waktu sampai rumah sakit!" perintah Dewanti pada supir. Supir pun mempercepat laju mobilnya. Leon mulai merintih kesakitan. Itu artinya, ia harus segera mendapatkan perawatan dari dokter.
Sejak kecil Leon mengalami, Stenosis katup jantung, gangguan ini terjadi ketika katup jantung tidak dapat terbuka dengan baik akibat katup yang menjadi kaku, menebal, atau saling menempel. Kondisi ini membuat darah tidak dapat mengalir ke ruangan selanjutnya. Atau seluruh tubuh yang kemudian memicu, berbagai macam gejala penyakit jantung pada penderitanya. Keadaan ini dapat terjadi pada keempat katup jantung. Sehingga penyakitnya dinamakan mengikuti nama katup jantung yang terkena gangguan, seperti stenosis katup trikuspid.
Kondisinya semakin parah setelah dua tahun yang lalu. Ia memutuskan meninggalkan Merlin ke Jepang untuk pengobatan disana bersama ayah ibunya. Namun, seminggu menjalani pengobatan. Ia mendengarkan pernyataan bahwa sudah tidak ada harapan lagi baginya. Sangat kecil harapan hidupnya. Bahkan dengan transplantasi sekalipun. Leon kembali ke Indonesia, mencoba menenangkan diri di rumah Dewanti. Dan pada akhirnya, ayah ibunya sepakat untuk mengangkat Dewanti sebagai kakak angkat Leon. Sebetulnya Leon dan Dewanti sudah sangat dekat sejak kecil. Sudah seperti kakak dan adik. Mereka hidup bertetangga. Dewanti sangat menjaga Leon yang sering sakit-sakitan. Leon tidak boleh kecapaian. Tidak boleh olahraga terlalu berat. Semua hal itu Dewanti tahu. Sampai ketika ia masuk ke SMA, Leon bertemu Merlin. Rasanya ada yang aneh diantara mereka. Meskipun mereka bersahabat. Tapi, Leon selalu bercerita tentang Merlin pada Dewanti. Leon senggaja pindah sekolah supaya Merlin tidak mengetahui kondisinya sekarang. Disekolah barunya Leon bertemu Fabio, Fabio sangat asik di jadikan sahabat. Kesalahan kecil membuat Leon menyelakai Fabio. Saat sedang bercanda dengan Fabio. Ia tidak senggaja mendorong Fabio hingga terjatuh. Ia sangat meyesal atas perbuatannya itu.
Selama dua tahun ini, Leon tinggal di rumah sakit. Leon tidak bisa hidup tanpa sebuah alat yang menghubungkan mesin ke jantungnya. Alat itu yang menopang kehidupannya. Jika alat itu di lepas. Maka, Leon hanya bisa bertahan selama tiga jam sebelum kambuh lagi dan membuat kondisinya semakin parah. Hampir semua dokter menyerah atas kasus penyakit Leon. Tapi, Dewanti dan Leon tidak mau menyerah. Meskipun harapan sembuh itu sangat tipis.
********
Leon tiba di rumah sakit, Dewanti langsung meminta perawat. Untuk memanggilkan dokter yang merawat Leon. Seharusnya Dewanti tidak menyetujui idea gilanya Leon. Harusnya Dewanti tidak membiarkan Leon ke luar rumah sakit. Sudah tau Leon tidak bisa bertahan tanpa alat itu. Bisa saja, gara-gara kejadian ini. Leon terbunuh karena kecerobohan Dewanti. Jantung Leon hanya bisa bertahan tiga jam tanpa alat itu. Alat itu berfungsi untuk mengatur detak jantung Leon. Selain itu, mesin itu berfungsi untuk mencuci darah Leon.
Leon benar-benar terpenjara di rumah sakit selama dua tahun ini. Makannya tadi Leon bersi kukuh merayu Dewanti. Agar mengizinkan dia untuk bertemu dengan Merlin. Tadinya ia ingin juga bertemu dengan Fabio. Tapi gimana lagi? Waktunya juga engga cukup. Hanya tiga jam. Dan sayangnya juga, Fabio pasti masih di Amerika. Menyelesaikan film Fast Hunter 2.
Leon senang saat tau Fabio dan Merlin dalam satu film. Dua sahabatnya yang Leon sayangi ada dalam satu film. Saat itu Leon ingin sekali pergi menemui mereka. Sayangnya saat itu, Leon baru saja menjalani operasi penggantian katu platina di jantungnya. Leon tidak mau mengambil resiko. Kalau dia membandal. Pasti Leon akan membahayakan diri sendiri dan akan lebih parah. Bahkan mungkin Leon akan koma lagi. Jangan sampai itu terjadi lagi.
Leon ingin sekali sembuh dari penyakitnya. Agar ia bisa menyatukan cintanya pada Merlin pujaan hatinya selama ini. Namun sang waktu dan kesempatan belum memihaknya. Leon harus lebih bersabar. Karena menunggu antrian donor jantung juga tidak semudah itu. Banyak orang yang mengantri, untuk mendapatkan organ vital itu. Bahkan mungkin kondisinya lebih parah dari Leon.
Dewanti harap-harap cemas menunggu kabar dari dokter. Leon baru saja masuk ke ruangan ICCU. Ia sedang di tangani oleh dokter. Tangan Dewanti sangat dingin. Ia benar-benar cemas. Dewanti takut terjadi sesuatu pada Leon. Kalau sampai Leon kenapa-napa. Ia tidak akan memaafkan dirinya sendiri.
Dari luar Dewanti melihat dokter Hilman sedang berusaha menyelamatkan adik angkat. Dewanti melihat beberapa kali tubuh Leon terlontar oleh sebuah alat. Itu pasti alat kejut jantung. Yang artinya jantung Leon sempat berhenti. Dewanti mulai menangis. Dewanti begitu menyayangi Leon sebagai adiknya. Hanya Leon saat ini yang ia punya. Ia hanya hidup sebatang kara.
Dulu Dewanti dan Leon memang tetanggaan. Dewanti tinggal di rumah kakek neneknya. Semenjak ayah ibunya meninggal tidak wajar. Dewanti di ambil oleh kakek neneknya. Ternyata setelah Dewanti beranjak dewasa. Ia baru tau, kalau ternyata ayah ibunya meninggal karena di bunuh. Berhubung Dewanti penasaran, jadi ia tanyakan hal ini pada nenek dan kakeknya.
Nenek dan kakeknya awalnya menolak untuk bercerita. Tapi mereka sadar. Kalau Dewanti berhak tau, tentang apa yang sebenarnya terjadi. Pada kedua orang tuanya saat itu.
Ayah dan ibunya ternyata ikutan menanam saham. Dan berhasil mendapatkan penghasilan yang cukup besar. Sedangkan temannya malah bangkrut. Ia menyalahkan semua ini pada ayahnya Dewanti. Dendam mulai menguasai dirinya. Jadi ia memutuskan untuk menghabisi semua keluarga Dewanti. Dia berhasil membunuh ayah dan ibunya Dewanti.
Saat Dewanti kecil pulang dari sekolah. Dewanti terkejut dengan keadaan rumahnya yang sudah berantakan. Selain itu, Dewanti juga melihat ayah ibunya yang sudah berlumuran darah. Dewanti mengguncang-guncangkan tubuh ayah dan ibunya. Namun tak ada respon dari mereka. Mereka benar-benar telah kehilangan nyawanya. Dewanti berteriak dan menangis sejadi-jadinya.
Hal itu menggundang si pembunuh, yang sedang membobol brankas milik ayah dan ibunya Dewanti. Si pemubuh itu berlari ke arah tangisan anak kecil itu. Ia masih membawa pisau yang dia pakai untuk menghabisi ayah dan ibunya.
Dewanti kecil terkejut melihat sosok yang tidak ia kenal. Dewanti kecil berlari kencang. Si pembunuh itu mengejar Dewanti. Sialnya dia bertemu polisi di luar. Dia langsung di tangkap oleh polisi. Semenjak kejadian itu Dewanti trauma. Di tambah. Tak lama setelah nenek kakeknya bercerita tentang ayah ibunya. Neneknya meninggal, setahun kemudian kakeknya yang meninggal. Dewanti jadi sebatang kara.
Jadi keluarga Avtiano mengangkat Dewanti sebagai anak angkatnya. Dewanti mau saja. Karena Dewanti saat itu memang sebatang kara. Dengan menjadi bagian dari keluarga Avtiano. Ia tidak begitu kesepian lagi. Ada Leon yang selalu menjadi teman curhatnya.
"Leon. Bertahanlah! Jangan biarin kakak sendirian lagi. Kakak engga mau kehilangan kamu. Kakak sudah cukup merasakan kehilangan. Kakak engga mau sampai harus kehilangan lagi. Bertahan lah Leon," gumam Dewanti sangat pelan. Sudah pasti suara Dewanti tidak akan terdengar oleh Leon. Tapi setidaknya. Ucapan itu akan menjadi do'a, untuk Leon yang masih berjuang.
Dokter Hilman keluar dari ruang ICCU. Wajahnya terlihat sangat lelah. Pasti tadi di dalam dia sangat berusaha untuk menolong Leon. Membuat detak jantung Leon terus berdetak.
"Dokter gimana adik saya?" tanya Dewanti.
Dokter Hilman menghela nafasnya. "Saya sedikit kecewa. Karena anda malah membiarkan Leon pergi dari rumah sakit. Leon sekarang ini tidak akan mungkin bertahan lama tanpa mesin atau alat itu. Meskipun saya bilang, Leon hanya bertahan tiga jam tanpa alat itu. Tapi semua itu hanya perkiraan saja. Bagaimana kalau saat di luar rumah sakit. Tanpa alat itu, kondisi Leon malah semakin memburuk. Tadi saja detak jantungnya sempat berhenti. Tapi syukurnya ia masih bisa kembali. Saya mohon pada anda. Untuk lebih memperhatikan lagi Leon," jelas dokter Hilman.
Dewanti tidak membantahnya, karena memang dia juga ikut salah. Saking sayangnya sama Leon. Jadi Dewanti tidak mau Leon sedih terus karena kesepian. Jadi ia izinkan Leon untuk keluar sebentar. Untuk melepaskan rindu pada sahabat-sahabatnya. Soalnya dari kemarin Leon terus merengek. Ingin bertemu Merlin dan Fabio sahabatnya. Tapi malah kejadiannya seperti. Dewanti sangat menyesal.
"Kalo begini terus. Akan berakibat fatal dan juga akan membahayakan nyawa Leon. Bagaimana kalau tadi kalian salah cabut kabel. Yang menghubungkan antara mesin dan jantung Leon. Bisa-bisa pendarahan hebat terjadi di jantung Leon. Sudah pasti hal itu tidak akan bisa menyelamatkan Leon," omel dokter Hilman. Dewanti memang pantas mendapatkan amarah dokter Hilman. Dia begitu cerobohnya ikut dalam permintaan Leon.
"Maaf.." hanya itu yang mampu Dewanti ucapkan saat ini. Ia tidak bisa membatah apapun. Dewanti tidak akan menuruti permintaan Leon yang aneh-aneh lagi. Apalagi sampai membahayakan nyawanya seperti ini.
"Baiklah kalau begitu. Saya mau periksa pasien lain kalau ada apa-apa pencet saja tombol daruratnya. Saya akan datang bersama perawat," pamit dokter Hilman.
"Iya, dok. Terimakasih banyak," ucap Dewanti. Setelah itu dokter Hilman pergi. Sementara Dewanti masuk ke ruangan ICCU. Dimana Leon tergeletak lemah di ranjang rumah sakit. Rasanya hancur melihat Leon seperti ini. Dewanti merasa bodoh seperti keledai. Dengan mudahnya ia bisa di bodohi Leon. Tidak ada rasa cinta sedikitpun antara Leon dan Dewanti. Dewanti tulus menyayangi Leon sebagai adiknya. Leon pun sayang pada Dewanti sebagai kakaknya. Mereka sama-sama anak tunggal. Kehadiran diantara mereka. Membuat mereka saling melengkapi.
Dewanti memegang tangan Leon yang dingin. Di punggung tangannya sudah tertacap sebuah infusan. Jarum itu menebus kulit Leon. Belum lagi alat dan mesin itu yang langsung terhubung denga jantung Leon. Melihatnya saja sudah meringis. Apa lagi mengalaminya. Leon pasti sangat kesakitan. Tapi semua itu demi menopang kehidupannya. Dewanti hanya ingin yang terbaik untuk adik kesayangannya.
"Leon, elo harus bertahan sayang. Demi kakak dan ayah ibu lo. Demi Merlin dan Fabio sahabat lo. Elo engga boleh berhenti berjuang. Mereka semua masih nunggu lo. Kembali ke sisi mereka," ucap Dewanti memberikan semangat pada Leon adiknya.
Tak lama setelah ucapan Dewanti. Leon mulai menggerak gerakan tangannya. Mungkin ia merespon ucapan Dewanti. Perlahan ia membuka matanya. Dewanti langsung senang di buatnya. Dewanti langsung memencet tombol darudrat yang ada di samping bankar Leon. Untuk meminta dokter dan perawat memeriksa Leon. Syukurlah Leon sadar dengan cepat. Semoga Leon akan selalu baik-baik saja.
********
Keesokan harinya.
Embun pagi mulai menetes pada daun yang lemah. Tak hanya itu, ada juga kupu-kupu yang hinggap di daun itu. Melangkah menuju bunga. Kupu-kupu itu sangat indah. Coraknya sangat indah. Berwarna biru dan hitam. Membuat sayapnya indah. Bagaikan ukiran yang sengaja di buat. Ya memang sengaja Tuhan mengukirnya. Agar mengagumi keindahan kupu-kupu itu. Asalnya dari ulat yang di benci manusia. Namun setelah menjadi kupu-kupu malah di senangi, karena keindahan sayapnya yang mempesona.
Leon sudah di pindahkan ke ruangan rawat biasa. Kelihatannya kondisi Leon sudah sedikit membaik. Semalam memang kondisinya berangsur membaik. Jadi dokter Hilman memutuskan, untuk memindahkan Leon keruangan rawat biasa, pagi ini.
"Kakak," bisik Leon yang baru saja terbangun dari tidurnya.
"Iya sayang ada apa?" sahut Dewanti. Dia memang kadang suka memanggil Leon dengan sebutan sayang. Itu karena memang Dewanti sayang pada Leon sebagai adiknya tidak lebih dari itu.
"Gue harus kak," bisiknya lagi. Suaranya memang belum pulih benar. Wajar saja karena baru bangun tidur.
Dewanti mengambil air putih yang tertengger di meja. Meja samping bankar Leon. Segera ia membantu Leon agar sedikit terduduk. Dari posisinya yang tadinya tiduran.
"Ini.." Dewanti membantu Leon meminumkan air itu. Setelah selesai. Kembali Dewanti membaringkan Leon di bankarnya.
"Ayah sama ibu engga tau soal ini kan kak?" tanya Leon sedikt aga keras volume suaranya, di bandingkan tadi.
"Mereka tau Leon. Mereka sangat mengkhawatirkan lo. Bahkan hari ini rencananya. Ayah sama ibu mau ke Indonesia," jawab Dewanti.
Leon menepok jidatnya yang tidak bersalah. Harusnya Dewanti tidak memberitahu, soal kondisinya. Kepada kedua orang tuanya. Jadi cemaskan mereka. Sampai bela-belain mau ke Indonesia segala.
"Yah kakak, kenapa ngasih tau ayah sama ibu?" Leon cemberut di buatnya. Leon tidak mau membuat ayah dan ibunya khawatir. Apa lagi ini semua gara-gara kesalahan Leon. Kesalahan Leon yang bersi kukuh ingin keluar rumah sakit. Untuk menemui Merlin.
"Ya salah sendiri. Pake acara maksa-maksa gue buat izinin lo keluar. Gue kena semprotan dokter Hilman tau. Ya, udah biar lo engga bandel. Gue aduin aja sama ayah dan ibu," omel Dewanti. Omelannya sukses membuat Leon jadi manyun. Wajahnya di buat cemberut.
"Lain kali. Gue engga bakalan ngizinin lo keluar rumah sakit lagi. Cukup kali ini aja. Gue engga mau lo sampe kaya gini lagi. Rayuan apapun engga akan ampuh!" tegas Dewanti. Sengaja agar Leon tidak nekat lagi untuk keluar rumah sakit.
Ponsel Dewanti berbunyi. Ternyata ada video call dari ayahnya Leon. Dewanti langsung menjawabnya.
"Dewan, bagaimana kondisi adikmu?" tanya ayahnya Leon. Nama ayahnya Leon itu, Tachibana Himoto. Tapi semua orang memanggilnya dengan nama belakangnya, Himoto. Sementara nama ibunya adalah Elizhabeth Maufe Avtiano. Nama Leonardo Avtiano itu di berikan oleh kakeknya Leon. Ayah dari Elizhabeth, ibunya Leon. Nama belakang Avtiano adalah memang nama kebuarga besar Elizhabeth. Himoto tidak masalah, kalau yang di ambil itu nama keluarga Avtiano. Bukannya Tachibana. Nama keluarganya. Himoto tidak mau ambil pusing. Sama saja, yang jelas itu adalah anak mereka. Jangan sampai gara-gara nama. Menjadi perdebatan antara kedua belah keluarga.
"Iya bagaimana Leon, Dewan?" sekarang gantian Elizhabeth yang mengkhawatirkan Leon.
"Udah baik-baik aja kok. Ayah, ibu jangan terlalu khawatir. Tuh orangnya," Dewanti sengaja mengarahkan layar ponselnya ke arah Leon berada.
"Hai. Ayah, ibu. Kalian sehat?" tanya Leon sambil membereskan rambutnya yang sedikit kacau. Di layar ponsel Dewanti terlihat ayah dan ibunya memandang Leon khawatir.
"Kami sehat di sini Leon. Lebih baik kamu sama Dewanti kembali lagi saja ke Jepang. Agar kami bisa terus memantau kesehatan kamu," saran Himoto.
Leon menggeleng keras. "Aku engga apa-apa kok. Aku akan baik-baik aja di sini,"
"Kamu bandal sih. Kenapa nekat keluar rumah sakit? Ibu akan paksa kamu kemali ke Jepang. Kalau hal itu terjadi lagi," ancam Elizhabeth. Sebetulnya tidak benar-benar mengancam. Semua itu ia ucapkan. Agar Leon lebih nurut dan memperhatikan kondisi tubuhnya.
"Iya, iya. Engga akan terjadi lagi. Aku janji," Leon langsung melotot pada Dewanti. Dewanti malah tertawa. Dasar tukang adu. Dewanti memang selalu mengabarkan hal apapun yang terjadi pada Leon kepada kedua orang tuanya. Biarpun mereka saling jauh. Tapi dengan Dewanti selalu laporan pada mereka. Himoto dan Elizhabeth masih bisa memantaunya.
"Ibu sama ayah hari ini mau ke Indonesia. Awas kamu jangan kemana-mana!" ucap Elizhabeth.
"Ja.. Jangan bu.. Leon baik-baik aja," cegah Leon.
"Engga apa-apa. Sudah setahun yang lalu kami kesana. Sudah saatnya lagi kami kesana lagi. Masa iya kami tega meninggalkan kamu dengan kondisi seperti itu. Tanpa kami kesana, untuk melihat konsisimu. Mungkin besok pagi. Kami akan sampai di Indonesia," jelas Himoto. Kalau sudah seperti itu, Leon tidak bisa beralibi atau mencegah. Kalau ayah dan ibunya mau ke Indonesia.
Memang sudah satu tahun mereka tidak saling bertemu. Mereka hanya bertemu Leon lewat video call. Tahun lalu memang Elizhabeth dan Himoto pulang ke Indonsia. Di karenakan kondisi Leon yang semakin parah. Yang mengharuskan Leon di pasang alat dan mesin itu. Keputusan memasang alat dan mesin itu memang harus mendapatkan persetujuan orang tua Leon. Katanya alat dan mesin itu akan membantu Leon. Akan mebuat Leon lebih baik. Tapi nyatanya. Sampai sekarang Leon tidak bisa lepas daro semua itu. Alat dan mesin itu membuat Leon bergantung sampai sekarang.
Setelah dua bulan Leon menjalani perawatan itu. Memang sedikit membaik. Tapi Leon juga belum bisa lepas dari itu. Dengan terpaksa Himoto dan Elizhabeth harus segera ke Jepang, karena pekerjaanya yang sudah selama dua bulan mereka tinggalkan. Ternyata Leon malah harus bergantung terus pada alat dan mesin itu, hingga sekarang. Kurang lebih dua setengah tahun.
Pernah di coba di lepas. Tiga jam setelah itu. Leon malah mengalami takikardia. Atau yang biasa di sebut detaj jantungnya berdetak lebih kencang. Dari detak jantung normal biasanya. Jadi dokter memutuskan untuk memasangnya kembali. Demi keberlangsungan hidup Leon.
"Oke," jawab Leon pasrah.
"Semangat dong. Ayah sama ibu kan mau ke Indonesia!" ujar Dewanti.
"Elo sih ngadu. Jadi ayah dan ibu harus sampe repot-repot ke Indonesia," umpat Leon pada Dewanti.
"Eh jangan salakan kakakmu Leon. Ibu dan ayah memang sudah berniat akan kesana tahun ini. Dan hari inilah saatnya," lerai Elizhabeth.
"Iya bu. Iya," sahut Leon malas.
"Ya sudah. Ibu dan ayah bersiap-siap. Untuk ke bandara dulu," ujar Elizhabeth.
"Iya, ibu. Hati-hati yah nanti kalian dalam perjalanan. Biar Dewan sama pak supir yang jemput kalian. Kabari saja kalau sudah sampai," usul Dewanti.
"Oke," setelah itu video call berakhir.
Leon mencubit Dewanti cukup keras. "Aaaaawwww! Sakit tau!" teriak Dewanti sambil meringis. "Lagi sakit juga ternyata masih bisa nyubit sesakit ini," terus Dewanti agak lebay.
"Abis elo pake acara ngadu ke bokap nyokap. Rese lo!" tukas Leon. Padahal bukan sekali dua kali Dewanti ngadu pada ayah dan ibunya. Tapi engga tau kenapa. Suka jengkel saja.
Dewanti malah menjulurkan lidahnya, meledek Leon. "Biarin ueeee, biar lo kapok. Dan engga macem-macem lagi. Udah ah. Gue mandi dulu," ujar Dewanti. Setelah itu Dewanti langsung lari ke kamar mandi. Sebelum Dewanti mendapakan cubitan kedua Leon. Biasanya cubitan kedua itu lebih sakit, dari yang pertama.
Leon kembali memejamkan matanya. Ia membayangkan kejadian kemarin. Betapa gugupnya saat bertemu dengan Merlin. Ternyata Merlin sudah berubah. Dan semakin cantik. Ingin sekali Leon menyatakan perasaannya pada Merlin. Sayangnya di kondisi Leon saat ini. Itu semua tidak mungkin. Leon tidak mau Merlin sedih karena melihat kondisinya yang sekarang. Sangat menyedihkan.