Chapter 4

2900 Words
"Apa kau serius?" tanya Akira. "Ya. Mereka menyerangku saat pulang bersama Shirayuki," jawab Tomoe. "Apa? Kenapa kau bisa bersama dengan Hime? Apa yang terjadi? Hime kan hanya manusia biasa? Aku tidak peduli denganmu. Tapi, apa Hime baik-baik saja?" tanya Akira sambil mengguncang-guncang tubuh Tomoe. "Oy! Kau mau mati sekarang?" tanya Tomoe kesal. "Ah, maafkan saya tuan muda Tomoe," ucap Akira dan langsung mengangkat kedua tangannya lalu menjauh dari Tomoe dengan takut. "Hah ... aku baik-baik saja. Aku juga sudah menghapus ingatan Shirayuki. Jadi, dia tidak akan mengingat kejadian hari ini. Jika kau tanya kenapa aku bisa bersama dengan Shirayuki, kau kan tahu bagaimana peraturan keluargaku mengenai perwaris keluarga," ucap Tomoe. "Hah! Jadi, Hime yang menjadi calonmu?" tanya Akira. "Ya, tapi dia masih di berikan waktu untuk memikirkan hal ini," jawab Tomoe. "Tapi, bukankah kalau Hime sudah terpilih. Kakekmu tidak menerima penolakan?" tanya Akira. "Ayah dan Ibuku yang akan mengurus hal itu," jawab Tomoe. "Bukanya aku meremehkan kemampuan paman dan bibi, Tomoe. Tapi, kau kan tahu sendiri bagaimana sifat kakekmu?" tanya Akira. "Hah ... jika mereka tidak berhasil. Aku akan mengurusnya sendiri," jawab Tomoe. "Baiklah kalau kau bilang begitu. Kalau kau butuh bantuan bilang saja," ucap Akira. "Oh ya, tadi 'dia' meneleponku," ucap Tomoe. "Hah! Dia masih berani meneleponmu? Jadi benar memang dia yang mengorbankan bawahannya untuk dibunuh," ucap Akira. "Kau ini memang ingin di bunuh ya?" tanya Tomoe. "Memang aku salah?" tanya Akira dengan ekspresi yang polos. "Hah ... sudahlah terserah saja. Kerjakan saja tugasmu. Aku akan mengerjakan tugas ayahku. Aku pinjam komputer atau laptopmu," ucap Tomoe. "Baiklah, laptop ada di mejaku ambil saja. Kalau begitu aku mau mengerjakan tugas dulu biar bisa segera main game," ucap Akira. "Inilah kenapa kau masih saja di peringkat ketiga," ucap Tomoe. Namun, Akira mengabaikannya dan tetap mengerjakan tugasnya. *** Akira dan Tomoe baru saja turun dari mobil tepat di depan gerbang sekolah. Seperti biasa mereka menjadi pusat perhatian. Tomoe berjalan dengan santai sedangkan Akira terlihat kesal. "Sialan kau, Tomoe. Kenapa kau harus mengatakan tugas sekolah tepat di depan Ibuku?" tanya Akira kesal. "Mau bagaimana lagi, kita tidak bisa memberitahukan masalah yang sedang kita selidiki ini kepada Bibi kan?" jelas Tomoe datar. "Sialan, apa kau tidak bisa mencari alasan lain?" tanya Akira semakin kesal. "Tidak. Mungkin itu adalah pilihan bagus, agar Bibi tidak curiga dan agar kau mengerjakan tugasmu sendiri," jawab Tomoe datar. "Sialan ... Hah ... Sudahlah, aku baru ingat jika kau memang PEMBAWA SIAL," sindir Akira kesal dengan menekankan kalimat 'Pembawa Sial'. Namun, seperti biasa Tomoe tidak mempedulikan sahabatnya itu. "Ingat Akira, jangan sampai kau mengatakan apapun soal yang kita bicarakan kepada siapapun. Terutama Hime, jangan sampai membahas BIIJ di depannya," ucap Tomoe. "Tenanglah, aku tidak sebodoh itu juga," ucap Akira. "Selamat pagi, Akira, Suzukawa," sapa Hime ceria dari arah belakang Akira dan Tomoe. Membuat kedua pemuda itu membalikkan badannya dan menemukan Hime yang tersenyum ceria menatap mereka. "Pagi," jawab Tomoe datar. "Selamat pagi, Hime. Aku dengar kemarin kau pingsan?" tanya Akira langsung. Mengejutkan Hime. Membuat Hime langsung menatap Tomoe yang menatap ke arah lain dengan tidak peduli dan mendengarkan lagu dari earphonenya. "Iya, tapi sekarang aku baik-baik saja. Tidak perlu khawatir," jawab Hime sambil tertawa kaku. "Ayo ke kelas, sebelum bel berbunyi," ajak Tomoe menghentikan percakapan kedua orang itu. Mereka langsung berjalan mengikuti Tomoe menuju kelas mereka. *** Selama mereka berada di koridor sekolah. Seperti biasa mereka menjadi bahan pembicaraan. Hime dan Akira berbicara dengan santai di belakang Tomoe. Tanpa mereka sadari terdapat tiga orang murid perempuan yang kemarin membully Hime tengah menatap Hime dengan sinis. "Lihat lah sang putri. Ternyata dia benar-benar tidak tahu malu. Lihat saja nanti," ucap gadis berambut hitam pendek itu sinis. Setelah itu ketiga murid perempuan itu berbalik dan berjalan menuju kelas mereka. "Aku mau ke toilet sebentar, kalian duluan saja," ucap Hime. "Baiklah, sampai ketemu di kelas," ucap Akira ceria lalu berjalan meninggalkan Hime bersama Tomoe. Hime berjalan menuju toilet dengan santai. Tiba-tiba tiga murid perempuan itu menghalangi jalannya. "Mau kemana tuan putri?" tanya gadis berambut hitam pendek itu. Membuat Hime gemetar ketakutan. Mereka adalah kakak kelas yang kemarin menamparnya dengan keras, hingga membuat punggungnya membentur rak buku dengan keras. "Sa-saya ingin ke toilet, Senpai," ucap Hime gemetar. "Tidak bisa. Kau ikut dengan kami sekarang," ucap gadis itu. Setelah itu, mereka menarik Hime menuju belakang sekolah. Hime berusaha melepaskan genggaman gadis berambut hitam pendek itu agar bisa lepas dari kakak kelasnya. Murid yang melihat Hime di tarik oleh ketiga kakak kelasnya hanya bisa diam dan saling berbisik. *** "Haaah ... Aku sangat mengantuk," ucap Akira sambil meletakkan kepalanya di atas kedua tangannya. "Salah sendiri kau--" "Apa kau lihat tadi, sepertinya Shirayuki di tarik ke belakang sekolah." "Benar, sepertinya mereka membully Shirayuki, dan sepertinya murid lain hanya bisa diam saja." Mendengar percakapan murid yang tidak sengaja melintas di koridor depan kelasnya. Membuat Tomoe menghentikan kalimatnya dan Akira langsung menegakkan tubuhnya. Tomoe dan Akira langsung berdiri dan saling bertatapan sebentar lalu menganggukkan kepala sebelum berjalan meninggalkan kelas. *** "Kau memang wanita yang tidak tahu malu ya?" tanya murid berambut pendek sambil menarik rambut Hime. Membuat Hime merasakan sakit dan mengeluarkan air mata. gadis berambut hitam lurus yang di gerai itu menarik seragam Hime hingga berantakan bersama dengan gadis berambut pirang. Pipi Hime menjadi merah akibat tanparan yang di berikan oleh kakak kelasnya berkali-kali. Murid-murid yang ada di sana hanya bisa menyaksikan Hime tanpa melakukan sesuatu. Karena ketiga murid itu memiliki pengaruh besar di sekolah. Mereka adalah anak dari orang-orang kaya di Jepang. Membuat mereka takut kepada mereka bertiga, meskipun Hime sendiri juga salah satu dari anak keluarga terkayak di Jepang. "Hentikan!" terdengar suara yang tegas, dingin, dan tajam. Membuat ketiga gadis itu melepaskan Hime dan langsung menatap terkejut kepada Tomoe yang menatap mereka dingin. "Tuan Suzukawa dan Tuan Yamamoto!" teriak mereka terkejut. Tomoe menatap mereka tajam dengan aura membunuh yang kuat. Namun, Akira langsung menepuk pundak Tomoe. "Tenanglah, disini banyak manusia tidak bersalah," bisik Akira. "Hah..." Tomoe berjalan dengan santai dengan diikuti Akira. Ia berlutut di hadapan Hime, lalu menutupi tubuh Hime dengan jas sekolahnya. Tomoe membantu Hime berdiri, lalu menyentuh pundak Hime. Ia dekatkan tubuh Hime yang bergetar ke dirinya untuk menenangkannya. "Kalian ini sungguh keterlaluan ya, SENPAI?" tanya Akira yang awalnya sambil tersenyum. Namun, tiba-tiba ekspresinya menjadi sangat dingin saat menekankan kata 'senpai'. Membuat ketiga gadis itu gemetar. "Me-memang apa salah kami? Dia hanyalah gadis yang tidak tahu malu dengan mendekati kalian. Hanya karena dia dari keluarga yang kayak, dia bisa seenaknya dekat dengan kalian. Tapi kalian kenapa tidak ingin dekat dengan kami?" tanya gadis berambut hitam pendek. Tomoe yang mendengar itu langsung menatap tajam gadis di hadapnya dengan perasaan ingin membunuhnya. "Untuk apa kami dekat dengan orang yang hanya bisa mengandalkan kekayaan keluarganya untuk membully orang lain? Oh, dan lagi. Kami bukan tidak ingin dekat dengan kalian. Tapi, kalian tidak pantas untuk dekat dengan kami. Memikirkan diriku yang dekat dengan kalian saja sudah membuatku mual," jawab Akira tajam. "Kalian yang telah bersikap seperti ini kepada temanku. Apa kalian lupa dimana ayah kalian bekerja? Jika kalian ingin menggunakan kekayaan kalian untuk membully seseorang. Kalian pikir kami tidak bisa melakukan hal yang sama? Bersiaplah dengan apa yang akan terjadi kepada orang tua kalian," ucap Tomoe tajam lalu membawa Hime pergi dengan diikuti Akira. Membuat ketiga gadis itu langsung terkejut mendengar perkataan Tomoe. Tomoe berhenti lalu mengeluarkan phonselnya. Ia menekan beberapa nomer lalu meletakkannya ketelinganya. "Yuu, cepat datang ke sekolah." "Apa kau akan mengantar Hime ke rumah sakit?" tanya Akira setelah Tomoe memasukkan kembali phonselnya. "Ya," jawab Tomoe. "Baiklah, kalau begitu masalah kelas kau tenang saja. Aku akan mengatakan kepada wali kelas kita mengenai masalah ini," ucap Akira. Tomoe hanya menganggukkan kepala sebagai respon. "A-aku baik-baik saja, Suzukawa, Akira. Kalian tidak perlu khawatir," ucap Hime sambil menundukkan kepalanya. "Tidak mungkin kau baik-baik saja dalam keadaan seperti ini," ucap Tomoe. "Benar, Hime. Kau seharusnya lebih mengandalkan kami. Kami adalah temanmu, jadi kau tidak perlu khawatir, semua akan kembali seperti semula saat kau bangun nanti," ucap Akira sambil mengelus kepala Hime, dan membuat gadis itu pingsan. "Kalau begitu, aku akan membawanya ke rumah sakit keluargaku," ucap Tomoe lalu membawa Hime ala Bride Style. Akira hanya menganggukkan kepala sebagai jawab. Setelah itu, Tomoe berjalan meninggalkan Akira. Setelah tiba di gerbang sekolah, terlihat Yuu sudah menunggu di depan gerbang sekolah. Ia langsung membukakan pintu untuk Hime dan Tomoe. Dengan hati-hati Tomoe masuk ke mobil. Setelah itu, Yuu segera menjalankan mobilnya ke rumah sakit keluarga Suzukawa sesuai perintah tuan mudanya. Selama perjalanan Tomoe menatap wajah Hime yang menutup matanya dengan perasaan khawatir. Ia menyentuh pipi Hime yang merah karena bekas tamparan kakak kelas mereka. "Yuu, setelah ini buatkan surat pemecatan untuk dokter Kawashi, dokter Mamoru, dan dokter Yoshi. Pastikan juga agar ayah mereka tidak di terima di semua rumah sakit yang ada di Jepang" perintah Tomoe tajam. "Alasannya tuan?" tanya Yuu. "Karena anak mereka melukai tunanganku," ucap Tomoe sambil menatap wajah Hime yang tertidur di pangkuannya datar. "As you wish." *** Begitu sampai di rumah sakit. Suster langsung membawakan kursi roda saat melihat Tomoe keluar dari mobil dengan menggendong Hime yang masih menutup mata rapat. Suster segera membawanya ke UGD. "Tomo, ada apa dengan Hime?" tanya Toki yang tadi melihat Tomoe masuk rumah sakit dengan Hime yang berada di kursi roda dalam keadaan berantakan. "Ada yang membully dia. Ayah, aku ingin membicarakan sesuatu, bisa kita bicara di ruangan ayah?" ucap Tomoe tajam. "Baiklah, ayo," ucap Toki lalu menuntun anaknya menuju ruangannya. "Jadi, ada apa?" tanya Toki langsung saat mereka sudah berada di ruangannya. "Shirayuki menjadi seperti itu, akibat perbuatan dari anak dokter Kawashi, dokter Mamoru, dan dokter Yoshi. Anak mereka yang membully Shirayuki sampai seperti itu," jelas Tomoe datar. Mengejutkan ayahnya. "Apa benar seperti itu? Sejak kapan?" tanya Toki tidak percaya. "Aku tidak tahu pasti sejak kapan, kemarin Shirayuki pingsan di perpustakaan dengan luka tamparan di pipinya dan punggungnya sepertinya terluka, dokter yang menjaga UKS sekolah, di bagian lehernya terdapat luka lembap. Tapi untuk luka kemarin aku sudah menyembuhkanya, tapi mereka membully dia lagi," jawab Tomoe datar. "Sungguh tidak bisa di percaya. Ayah mereka sangatlah hebat dan berperilaku baik selama menjadi dokter di sini, bagaimana bisa anak mereka berbuat seperti ini, mereka sudah berani membully menantu keluarga Suzukawa," ucap Toki sedikit emosi. "Itulah mengapa. Aku sudah meminta Yuu untuk menyiapkam surat pemecatan ketiga dokter itu, aku tidak bisa tinggal diam saja jika anak mereka berani melukai calon yang akan menjadi nyonya Suzukawa nanti," ucap Tomoe tajam. Mengejutkan Toki. "Kau sudah menyiapkan surat pemecatan mereka? Kenapa kau tidak mengatakannya pada ayah dulu?" tanya Toki tidak percaya. "Jika aku tidak segera bertindak. Anak mereka akan semakin bertindak di luar dugaan. Sebelum terlambat bukankah lebih baik kita segera menghentikan ini? Ayah tidak perlu khawatir. Jika ayah membutuhkan bukti, saat ini Akira sudah mendapatkan bukti secara langsungnya. Jika perlu, dia bisa mendapatkan bukti cctv di perpustakaan tempat kemarin mereka membully Hime," ucap Tomoe santai. "Hah ... Baiklah, lakukan apa yang kau mau. Biar aku yang akan mengurus selanjutnya," ucap Toki pasrah. Sungguh, ia tidak mengerti jalan pikiran anaknya. "Kalau begitu, aku permisi ayah," ucap Tomoe sambil membungkukkan badan sebentar sebelum berjalan keluar dari ruangan ayahnya. *** Tomoe berjalan dengan santai menuju meja resepsionis rumah sakit. Suster yang berada di sana langsung membungkukkan badan sebentar untuk memberi salam. "Di mana kamar untuk pasien Shirayuki Hime?" tanya Tomoe datar. Salah satu suster langsung mengetikkan sesuatu di komputer sebelum menjawab pertanyaan Tomoe. "Nona Shirayuki ada di ruang VVIP nomor satu," jelas suster itu. Tomoe langsung menganggukkan kepala lalu bergegas menuju kamar yang di sebutkan. Kamar VVIP nomer Satu berada di lantai lima rumah sakit. Salah satu kamar dengan perawatan yang terbaik di rumah sakit Jepang dan biasa di gunakan untuk orang-orang kelas atas. "Tuan muda Tomoe?" panggilan itu menghentikan langkah Tomoe yang akan memasuki lift rumah sakit. Tomoe berbalik dan mendapati seorang pria hitam dengan mengenakan jas dokter berwarna putih yang menatapnya sambil tersenyum senang. "Oh, kau sudah kembali dari Amerika?" ucap Tomoe sambil berjabat tangan dokter di hadapannya dan tersenyum kecil. "Ya, aku baru saja menyelesaikan studiku. Jadi, mulai sekarang aku akan menjadi dokter di sini," jawab Iza. "Bagaimana keadaan, tuan muda sekarang? Apa terkadang masih merasa sesak napas?" tanya Iza. "Bisakah kau bicara seperti biasa dan berhenti memanggilku seperti itu, kak," ucap Tomoe kesal. "Haha ... baiklah, Tomoe," ucap Iza sambil mengelus kepala Tomoe. "Aku baik-baik saja, aku sudah terbiasa dengan kekuatanku. Jadi sekarang baik-baik saja," jawab Tomoe. "Apa yang kau lakukan di sini? Bukankah kau seharusnya di sekolah? Apa sekarang jadwalmu untuk melakukan pemeriksaan?" tanya Iza. "Tidak. Aku hanya mengantar temanku yang sedang terluka," jawab Tomoe. "Syukurlah jika kau baik-baik saja. Teman itu, apa maksudmu Akira?" tanya Iza. "Bukan. Mungkin bisa di bilang tunangan jika dia sudah menerima pertunangan ini," ucap Tomoe. Membuat Iza sedikit bingung. "Bagaimana jika lain kali kita pergi makan bersama? Aku sudah lama tidak melihatmu setelah aku kembali dari Amerika. Aku juga belum mendapatkan laporan keadaanmu saat ini," tawar Iza. "Baiklah. Tapi, saat ini aku harus menjenguknya," ucap Tomoe. "Baiklah, sampai jumpa lagi, Tomoe," ucap Iza lalu Tomoe langsung masuk ke lift yang pintunya kembali terbuka. *** Hime mulai membuka matanya. Gadis berambut cokelat muda panjang itu langsung dibuat bingung dengan tempatnya sekarang. Sebelumnya ia sedang berada di belakang sekolah bersama kakak kelasnya., lalu Tomoe dan Akira datang untuk menyelamatkannya. Setelah itu, ia tidak ingat apapun lagi.  Ia menatap sekitar. Namun, tidak menemukan seorang pun di ruangan yang besar dengan dinding yang di cat putih, di hadapannya terdapat dinding dari jendela sampai sisi kanannya. Di sisi kirinya terdapat tempat tidur tunggal yang masih rapi dengan sofa di ujung ruangan dan terdapat dapur mini di dekat pintu masuk. Tepat di depan dapur mini itu terlihat pintu yang Hime yakini itu adalah kamar mandi.Tempat yang luas seperti sebuah apartemen. Pertanyaan-pertanyaan di kepala Hime langsung terjawab saat Tomoe masuk ke kamarnya dengan santai. "Kau sudah sadar. Apa kau baik-baik saja? Apa masih ada yang sakit?" tanya Tomoe datar sambil menarik kursi di dekat tempat tidur Hime lalu duduk di sana. Hime menggelengkan kepalanya pelan sebagai jawaban. "Apa yang terjadi padaku?" tanya Hime bingung. Tomoe masih terdiam sebentar sebelum menjawab, "aku dan Akira menemukanmu di belakang sekolah sedang di bully oleh kakak kelas. Sungguh, kenapa kau tidak mengatakan apapun kepadaku kemarin?" Hime hanya bisa menundukkan kepala tanpa bisa menatap Tomoe. "Hah ... kau tidak perlu khawatir. Aku sudah mengurus mereka. Kemungkinan kita tidak akan bertemu dengan mereka lagi," ucap Tomoe. Meskipun mendengar itu, entah kenapa hati hime terasa begitu sakit saat mengingat kembali kenangan yang mengerikan itu. Itu adalah pengalama terburuk yang pernah terjadi dalam hidupnya untuk pertama kali. Ia bahkan tidak melakukan kesalahan apapun, tetapi kenapa ia harus mendapatkan semua itu? Walaupun Tomoe dan Akira sudah datang untuk menyelamatkannya, itu tetap saat membuat hati Hime terasa sakit.  "Kenapa kau tidak datang lebih cepat?" tanya Hime pelan dengan sedih. Tomoe hanya diam mendengar pertanya Hime. Hime langsung menatap Tomoe tajam. "Apa salahku? Kenapa mereka melakukan itu? Aku bahkan tidak melakukan kesalahan apapun kepada mereka? Kenapa kau tidak datang lebih cepat? Kenapa aku yang harus mengalami ini?" tanya Hime dengan air mata yang pecah dan ia langsung memeluk kedua lututnya dengan air mata yang pecah. "Maaf," ucap Tomoe. Membuat Hime terkejut dan langsung menatap Tomoe. "Ini semua salahku. Seharusnya aku datang lebih cepat, seharusnya kami segera mengurus masalah ini," ucap Tomoe. Hime langsung tersadar dengan yang apa ia katakan tadi. "Ah, tidak. Bukan itu maksudku, ini bukan kesalahanmu, Suzukawa," ucap Hime. "Tidak, ini memang kesalahanku. Aku tidak bisa melindungimu. Aku pergi dulu," ucap Tomoe sambil berdiri lalu meninggalkan kamar Hime. Hime hanya bisa terdiam lihat punggung Tomoe yang menghilang begitu pintu tertutup. Ia langsung mengutuk ucapannya tadi. Ini seperti bukan dirinya saja. Hime menatap pemandangan di luar dinding jendela. Terlihat pemandangan yang sangat indah di siang hari. Hime bangkit dari tidurnya dengan cepat. Membuat kepalanya sedikit berputar. Ia menggelengkan kepalanya pelan untuk menyadarkan diri, lalu menatap ke meja di dekat tempat tidurnya dan menyibak selimutnya. Gadis itu menatap ke seluruh ruangan untuk menemukan Phonselnya. Tapi tidak ia temukan. "Tidak ada. Bagaimana ini?" tanya Hime khawatir. Hime keluar dari tempat tidurnya dengan berpegangan pada tiang yang menggantung infusnya lalu berjalan dengan perlahan keluar dari ruangan. Ia harus hati-hati agar tidak terjatuh. Tubuhnya masih sangat lemas. Tapi, ia harus menemukan phonsel itu. Hime berpikir phonsel itu mungkin ada di Tomoe. Ia berjalan dengan perlahan di lorong rumah sakit yang telihat sepi dengan bantuan tiang infusnya. Hanya beberapa perawat yang melintas, dan ia harus segera menemukan Tomoe.Tapi, pria itu sudah tidak terlihat keberadaannya. Tiba-tiba ia mendengar suara pintu di buka diikuti dengan suara dua orang pria. Salah satunya seperti suara Tomoe. Hime sedikit mempercepat langkahnya lalu mengintip dari balik dinding. Benar saja, Tomoe ada di depan salah satu ruangan dokter tengah berbicara dengan seorang dokter muda. Hime dapat mendengar dengan jelas pembicaraan mereka. Namun, ia bingung apa yang mereka bicarakan? Apa hanya basa basi? Gadis berambut cokelat muda itu langsung membulatkan mata sempurna saat mendengar kalimat terakhir dokter itu. "Anda harus menjaga kesehatan Anda, Tuan muda. Tubuh Anda sangatlah lemah karena penyakit itu, dan Anda jangan terlalu sering menggunakan kekuatan Anda. Anda belum menemukan seseorang yang bisa menekan kekuatan Anda. Lain kali, Anda akan mulai melakukan pemeriksaan dengan dokter Iza," ucap Dokter muda itu. "Baiklah. Kalau begitu, aku permisi," ucap Tomoe lalu membungkukkan badan sebentar sebelum meninggalkan dokter itu. Hime langsung terduduk dengan mata yang masih membulat sempurna. Ia menutup mulutnya dengan tangan kanan. Air mata tanpa sadar keluar dari sudut matanya. "Apa yang mereka bicarakan?" Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD