Hujan Pertama dan Galaksi

1402 Words
Hujan pertama di Bulan September ... begitu deras, disertai angin yang cukup kencang. Bergemuruh bagai alunan kasar, membawa serta kenangan lama yang terkubur dalam asa. Pedih dalam kedinginan, perih dalam kesejukan, seakan membalut luka hingga mati rasa. Apakah ini akan menjadi akhir dari musim kemarau panjang di tahun ini? Jika ya, itu artinya pagi yang cerah akan kembali bersembunyi di balik mega mendung setiap harinya. Membawa rintik hujan tipis, dibersamai semilir angin kencang tak berarah pada rimbunnya dedaunan. Menemani proses pendewasaan diri yang cukup berat, atas riuhnya luka yang menyertai, dimana rasa sakit muncul dari berbagai arah, untuk menghancurkan ekspektasi yang telah dibangun. “Ya Allah, hujannya makin deras banget. Yakin, kalian berdua mau nunggu sampai berhenti? Gimana kalau hujannya baru reda besok pagi?” tanya Pelangi, kepada dua sahabat lelakinya. Galen yang tengah duduk bersandar di samping gadis cantik itu, seketika mengalihkan perhatiannya dari tayangan televisi, hanya untuk sekadar melihat keluar jendela, memastikan ucapan sang sahabat. Sementara Galaksi malah asyik menyantap snack ringan dalam toples yang disediakan oleh tuan rumah, kemudian menjawab, “gak apa-apa. Kita tunggu sampai agak reda aja, biar jarak pandangnya aman. Daripada nanti malah celaka di jalan. Kan lebih berabe,” jawab Galaksi. Mendengar jawaban sang sahabat, Pelangi seketika menoleh, menatap pria itu dengan tatapan tajam. “Jadi, maksud lo ... lo berdua mau nginep di apartemen gue, gitu?” Dengan raut wajah polos, Galaksi mengangguk. “Gue orangnya bisa tidur dimana aja kok, Ngie. Lu gak perlu khawatirin gue sama Galen. Iya, kan, Len? Kita–” Belum sempat pria itu melanjutkan perkataannya, Pelangi sudah terlebih dahulu melayangkan pukulan cukup keras, tepat pada lengan kanan atas Galaksi. “Kenapa gila lo harus kumat di waktu yang gak tepat, sih? “Loh, kok gila, sih, Ngie? Kita, kan, cuma numpang diem doang di mari. Anggap aja gue sama Galen ikut berteduh sampai hujan reda,” sanggah Galaksi, mengernyitkan dahi. “Kalian berdua cowok, dan gue cewek sendirian! Lo kira, gue bakalan ngerasa tenang gitu? Lo kira, gue bakalan bisa tidur nyenyak gitu, ada lo berdua di apartemen gue? Enggak, Gala! Yang ada, gue malah takut ada setan yang tiba-tiba rasukin lo berdua,” jelas Pelangi, mulai kesal. Setelah mendengarkan penjelasan dari gadis itu, Galaksi pun akhirnya paham dan mengangguk. “Lu gak usah khawatir, Ngie. Gue sama Galen bener-bener cuma numpang sampai hujannya agak mengecil kok. Gak sampai pagi juga. Lagian, gue juga gak mau Galen nginep di apartemen lu. Bisa-bisa, lu makin kesemsem sama nih bocah. Kan, gue juga nanti yang berabe buat bikin kalian jauhan.” Semakin kesal dengan jawaban yang diberikan oleh Galaksi, Pelangi seketika mengambil bantalan dari sisi kanannya, lalu melayangkan beberapa pukulan menggunakan benda tersebut, tepat ke arah pria di sampingnya itu. “Makin lama, makin konslet otak, lo, ya, Gal! Gak paham lagi gue sama jalan pikiran lo!” gerutunya menahan kesal. Sembari menahan pukulan dengan kedua lengan yang terangkat, pria itu membalas, “Ngie, gue cuma ngomong sesuai dengan apa yang ada dalam pikiran dan ingatan gue. Jadi, semenyangkal apapun lu, lu gak bakalan bisa mengubah hal itu.” Tanpa menghentikan kegiatan menyerangnya, Pelangi pun kembali menyahuti, “tapi gak gitu juga, k*****t! Sialaan lo, ya, Sistem Solar! Bener-bener cari ribut sama gue! Gue sentil ginjal lo, baru nyaho!” *** (Nyaho=tahu) Masih dalam posisi yang sama, Galaksi menoleh ke sisi kiri, menatap pada Galen yang sedang tergelak begitu puas, dengan dahi berkerut. “Cewek bar-bar kek begini, lu masih mau rebutin, Len? Lu yakin? Saran gue, nih, ya ... Demi ketentraman hati, pikiran, batin, dan kesehatan mental lu, mending lu gak usah jadiin dia gebetan. Cukup mengagumi dalam diam, tapi gak usah lu curi hatinya. Ngeri, Len! Bisa-bisa, lu jadi korban DPMOG selanjutnya,” ucapnya setengah berbisik. Galen mengurangi gelak tawanya, kemudian bertanya, “apaan DPMOG?” “Dalam Perjalanan Menuju Orang Gila,” jawab Galaksi. Pria itu semakin tak kuasa menahan tawanya, sementara Pelangi yang juga ikut mendengar jawaban absurd dari sang sahabat memilih melempar bantalan ke sembarang tempat, dan menggantinya dengan serangan yang jauh lebih brutal lagi, yaitu menjambak rambut Galaksi. “Ya, dan lo adalah orang pertama yang bakalan gue bawa ke dalam perjalanan menuju orang gila!” ucap Pelangi dengan penuh penekanan dan kekesalan. *** Satu kilatan petir kembali menampakkan cahayanya. Bergemuruh, hingga sedikit menggetarkan kaca-kaca jendela di sekitar. Mengarak rintikan air yang kembali silih berjatuhan, di tengah malam cukup panjang. Begitu menyilaukan ... Begitu mengejutkan. “Ngie, almarhum ayah lo pilot juga di Aerglo Airlines?” tanya Galen, ketika melihat foto seorang pria berbadan tegap, mengenakan seragam pilot lengkap, dengan list batik identitas Aerglo Airlines, tengah berdiri memegangi topi pilot di depan pesawat terbang yang terparkir begitu apik. “Lah, lu baru tau, Len?” Bukannya bantu menjawab, Galaksi malah balik mengajukan pertanyaan. Galen mengangguk. “Gue malah baru tahu pas lihat foto yang baru Angie pajang di atas nakas sana,” jawabnya. Pelangi pun ikut menatap ke arah objek yang Galen maksud, sebelum akhirnya mengangguk. “Iya. Almarhum Papa gue mantan pilot di Aerglo. Pilot yang sangat hebat dalam menerbangkan pesawat dengan jam terbang tinggi” terang gadis itu begitu bangga. “Udah berapa lama jadi pilot di sana?” tanya Galen lagi, penasaran. Pelangi terdiam sejenak, nampak berpikir. “Kalau gak salah, sih, dari jaman gue masih jadi kecebongnya Papa?” jawabnya, namun lebih terdengar seperti sebuah pertanyaan. Galen berdecak. “Gue serius, Ngie!” “Gue juga serius kok,” sanggah Pelangi. “Lagian, gue emang bener-bener gak tahu, sejak kapan Papa jadi pilot? Karena waktu kecil, gue belum kepikiran buat nanyain soal begituan sama beliau.” Lanjutnya. Galen yang mulai paham, akhirnya memilih diam. Sementara Galaksi menggelengkan kepala. “Intinya, ayah Angie udah jadi seorang pilot, jauh dari sebelum ketemu ibunya Angie. Udah, gitu aja!” Pelangi menjentikkan jari. “Betul. Karena Papa sama Mama udah keburu dipanggil Tuhan lebih dulu, bahkan jauh sebelum gue kepikiran buat nanya-nanya soal dunia penerbangan.” Pria tampan itu mengangguk pelan. “Lo hebat, Ngie. Sangat hebat, karena bisa bertahan dan menjadi pribadi sebaik ini dalam keadaan yang memang sulit untuk diterima.” Gadis cantik itu tersenyum nanar. “Sebenernya, terpaksa menerima, sampai akhirnya terbiasa dan bisa menerima keadaan ... adalah hal yang terlalu sulit untuk dijalanin sendirian, Len. Banyak jatuhnya ketimbang bangunnya. Apalagi, saat itu gue masih balita, yang apa-apa masih sangat membutuhkan sosok Papa dan Mama. Tapi, semakin bertambahnya usia, semakin bertambahnya dewasa, akhirnya gue ngerti, bahwa semua yang terjadi dalam hidup gue selama ini, adalah sebaik-baiknya rencana dari Tuhan untuk perjalanan panjang hingga sampai di titik yang sekarang.” Galaksi yang sedari tadi diam mendengarkan, akhirnya mengangguk pelan. Setuju dengan statement yang Pelangi katakan. “Gak ada pelaut hebat yang terlahir dari ombak yang tenang. Gak ada juga tuh namanya pilot hebat terlahir dari keadaan langit yang tenteram. Jelas, semua orang pasti akan menemui jalan berkerikil, dan harus melewati proses yang begitu panjang terlebih dahulu untuk meraih segala yang dia miliki saat ini. Gak sedikit juga dari mereka pernah terpatahkan oleh kenyataan, lalu kembali dibangkitkan oleh ekspektasi lain yang memiliki harapan barj jauh lebih besar. Ya ... menurut gue, lebih baik terpaksa hingga terbiasa, daripada rela namun berakhir dengan keterpurukan hingga menyerah. Itu bahkan jauh lebih mengerikan daripada turbulensi saat cuaca ekstrem,” ucap Galaksi. “Lo bener, Gal,” timpal Galen. “Ya, intinya cuma satu, sih, gak semua orang seberuntung lu, Ngie. Gak semua orang juga bisa sekuat lu. Jadi, pesen gue cuma satu ... jangan pernah berhenti mencintai dan menyayangi diri lu sendiri, walaupun suatu saat nanti ada seseorang yang tulus mencintai lu. Inget itu!” Merasa aneh dengan kata-kata bijak tak biasa yang diberikan oleh sang sahabat, Pelangi segera bangkit dari posisinya, duduk di samping pria itu, kemudian menaruh telapak tangan di atas kening Galaksi. “Lo gak lagi demam, kan, Gal? Atau jangan-jangan ... lo lagi sakit parah?” tanya Pelangi. Sepertinya, gadis itu tengah berusaha mengalihkan topik pembicaraan. Dan beruntungnya, hal itu bisa dengan mudah terbaca oleh Galen dan Galaksi. Pria tampan berkaus putih itu meraih tangan Pelangi dari keningnya, menggenggamnya sesaat, sebelum akhirnya berkata, “gue sakit kalau lihat lu sedih. Jadi, please, jangan pernah ngerasa sedih lagi. Lu punya gue, punya Galen, punya Yara, punya Bryan, punya Candra yang akan selalu ada di samping lu, kapanpun lu butuh temen bicara. Jangan pendem hal apapun yang lu rasain sendirian, karena gue gak mau sesuatu hal buruk terjadi lagi sama lu, Ngie.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD