"Kamu langsung ke Betamart, Yos?" tanya Akram menyadari dengan ssragam yang dikenakan Rios.
"Iya. Aku belum pulang ke rumah. Ke Betamart cuma mau nengokin aja eh ketemu sama Mas Danang."
"Oh, gitu. Makasih banyak ya," ujar Akram sambil mengangkat amplop coklat itu.
"Tebel tuh, Kram. Berapa duit? Buat apa sebenarnya?"
Akram tersenyum hambar. "Buat apa? Lo tau sendiri gue pengangguran," seloroh Akram.
Rios tidak bermaksud menyinggung perasaan sahabatnya. Ia hanya penasaran. "Sorry, Kram."
"Nggak papa. Emang kenyataan begitu."
"Enak ya, Kram, nikah? Berapa kali seminggu?"
Akram kembali tersedak. Pertanyaan Rios cukup out of the box. Bisa dibilang Rios adalah Kak Delia versi cowok. Ceplas ceplos sesuka hatinya.
"Udah mau setengah tahun nikah masih perjaka? Lu nggak kelainan, kan, Kram?" tutur Rios. Ia syok dengan kekagetan Akram.
Akram pun membuang muka. Ia malas membahasnya. Ya, waktu sudah bergulir sebanyak itu, tapi perasaannya masih saja sama. Sulit lagi sempit. Ia belum bisa memahami mengapa ia menikah dengan Mia.
Rios berdecak seraya menggeleng. "Jangan gitu, Kram. Masa cewek sebaik Mia lo anggurin. Jahat banget lo!"
"Justru karena dia baik, Yos."
Mata Rios membulat. "Maksud lo?"
Akram menimbang sejenak apa perlu menceritakaan siapa Mia pada sahabatnya. Pasti Rios tak menyangka.
"Heh? Mikirin apa? Mikirin yang iya, iya, ya? Enam bulan loh, parah!" ejek Rios. Tatapannya beralih ke tubuh bagian bawah milik Akram.
"Sotoy, Yos!" ujar Akram sambil berdiri. Tentu menghindar jauh lebih membuatnya nyaman.
"Ngusir gue lo, Kram?"
"Terserah!" teriak Akram.
Akram terus berjalan meninggalkan ruang tamu. Ia tak siap membahas banyak hal tentang Mia. Ia belum bisa. Pintu kamar di lantai satu ia dorong. Ia letakkan uang pinjaman dari Mas Danang itu di dalam nakas. Setidaknya uang tersebut bisa ia gunakan sebagai pegangan sampai ia mendapatkan pekerjaan. Akram mendudukkan diri di atas ranjang. Memikirkan tentang bagaimana hidupnya berjalan sekarang. Enam bulan dan semua masih terasa hambar. Akram merebahkan badan. Ia terpejam sejenak demi mengusir sedikit rasa kantuk. Namun, getar ponsel di saku celananya memupusnya.
"Assalamualaikum, Bu," sapa Akram ramah. Sudah jarang ibunya menelepon.
Waalaikumsalam. Kamu lagi apa, Kram? Sibuk nggak?
Akram mengangkat tubuhya malas. "Di rumah, Bu."
Belum mulai kerja di toko? Kata Bu Sufi hari ini kalian mulai di sana?
Akram menghela napas. Bisa jadi kegiatannya terus dilaporkan pada sang ibu. Hal itu membuatnya kurang nyaman.
"Belum. Besok paling Bu."
Besok?
Akram mengangguk. Ia lupa jika sedang bercakap lewat ponsel. Bukan bertemu langsung.
"Iya, Bu."
Main ke sini ya, sekarang. Sama Mia.
"Sekarang?" tanya Akram cukup tersentak.
Iya, ibu kangen banget. Sebenarnya nggak mau bilang tapi ibu lagi nggak enak badan. Kayaknya obatnya kalian.
"Ibu sakit?"
Cuma meriang, Kram.
"Yang benar, Bu."
Iya. Benar. Obatnya kalian. Ke sini, ya. Ajak menantu Ibu.
Suara Yurika terdengar berat. Akram bisa merasakan jika ibunya tidak baik-baik saja. Ia kembali mengela napas. Kali ini terasa cukup berat. Bersama Mia? Artinya ia harus menjembut istrinya. Akram menyeret tubuhnya. Cukup malas tapi saat berkaitan dengan Yurika ia tak bisa menolak. Ditambah ia mendapati pesan dari Delia.
[Kondisi ibu nggak baik, Kram. Butuh cek keseluruhan. Tapi ibu nggak mau. Coba kamu yang bujuk.]
Akram pun meraup wajahnya kasar. Ia berjalan kembali ke ruang tamu dan dibuat tersentak saat Rios membuka pintu.
"Mas...." gumam Mia.
"Eh Mia. Gimana kabarnya, Mi?" tanya Rios sok Akram. Ia merasakan betul bagaimana kedatangan Mia dan seorang laki-laki membuat ketegangan terjadi.
"Emmmm...."
"Rios, Mi. Temen main bolanya Akram."
"Eh. Maaf?"
"Nggak apa-apa kalau nggak inget. Ayo masuk," ujar Rios merasa menjadi tuan rumah. Kadang kala kelakuan sahabat Akram itu memang aneh.
"Dia yang punya rumah, Yos," tutur Akram. Ia kembali duduk di sofa dan mengabaikan kedatangan Frans. "Suruh tamunya masuk. Ini rumahmu, Mia."
Frans mengernyit. Tidak paham dengan sikap dan kelimat Akram. Sementara Rios kembali duduk mendekat pada sahabatnya.
"Ma--suk, Kak," ujar Mia. Ia berusaha menyenangkan hati suaminya. Frans cukup kecewa. Ia pun berjalan di belakang Mia.
"Makasih Yos udah mampir. Kebetulan aku mau ke Donorojo."
"Nengok Ibu?"
Deg!
Mia mendengar ucapan Akram. Ia berhenti sebentar. Ibu mertuanya sakit?
"Buruan naik? Katanya mau ambil tas?" celetuk Frans. Jelas ia tidak ingin Mia terpengaruh dengan sikap Akram. Ada rencana yang sudah mereka susun.
"Iyyya, Kak."
Rios melirik sekilas ke arah Frans dan Mia. Tentu hal itu terasa aneh. Namun, Akram sengaja megabaikan.
"Kamu tau, Yos?" tanya Akram.
Rios mengangguk. "Mas Danang, bisiknya."
"Parah. Aku aja baru dikasih tau sekarang."
"Mas Danang gitu, loh."
Akram megangguk. Ia setuju, Mas Danang kadang bahkan bersikap layaknya kakak ipar. Satu hal yang cukup bertolak belakang dengan kenyataan.
"Aku balik dulu, ya. Nggak enak," ucap Rios. Akram mengangguk. Ia biarkan Rios keluar dari rumahnya tanpa mengantar ke depan.
Akram tetap santai di ruang tamu. Ia menunggu Frans dan Mia turun dari lantai dua. Sejatinya ia tak senang saat si pri berkacamata itu menempel terus di dekat istrinya. Namun, ia tak bisa mengungkapkannya. Akram mengamati jam di layar ponselnya. Dan begitu mendengar langkah kaki seorang menuruni anak tangga, ia berdiri.
"Ikut aku," ujarnya pada Mia.
"Ikut Mas? Ke mana?"
"Ke Donorojo. Tadi kamu sudah mendengarnya."
"Ibu beneran sakit, Mas?" tanya Mia panik. Ia selangkah lebih dekat dengan Akram.
"Ibu bilang mau ketemu kamu juga." Akram memang kurang ajar. Di saat seperti ini ia bersika baik pada Mia. Ia membutuhkan gadis itu untuk membuat aman posisinya.
"Hari ini ke toko, Mia. Bapak udah nunggu," sahut Frans. Ia paham adiknya mudah terpengaruh.
"Oh, mau ke toko? Tanpa aku?"
Sejak semalam sebenarnya Akram menahan geram. Begitu Mia masuk ke kamar dan ia duduk di sofa lantai dua rumah mertuanya, Frans mengancamnya. Satu hal yang membuat Akram tidak suka. Maka hingga menjelang pagi dan sampai sekarang, mood Akram menjadi berantakan. Ia bahkan terus menatap Frans dengan tatapan menyebalkan.
"Cowok tuh tepatin janji. Bukan ngelanggar seenak sendiri!"
"Kak," ujar Mia.
"Apa, Mia? Suamimu sudah sepakat untuk pelajaran praktik hari ini." Frans juga kesal saat agendanya berantakan. Ia sudah menyusun banyak hal.
"Kamu mau ikut nggak? Ibu bilang mau ketemu kamu juga." Akram mengabaikan tanggapan Frans.
Mia dilanda kebingungan. Gadis itu terkadang tidak cepat dalam memutuskan sesuatu. Ia sudah mendapat arahan dari Frans, tapi tetap saja rasanya sulit dilakukan. Ia gamang, harus melakukan apa.
"Aku mau ke sana sekarang," imbuh Akram. Sengaja menginterupsi keputusan Mia.
"Ingat, Miana Agya, kita ada ketemuan sama orang-orang toko. Mereka udah nunggu." Frans sengaja memanggil Mia dengan panggilan sayangnya. Ya, sayang dalam arti yang sebenarnya. Menyebut nama lengkap Mia.
Akram menatap Frans. Ia tak paham dengan tujuan pria tersebut. Akram semakin dibuat kesal. Malas menunggu terlalu lama membuat Akram beranjak dari ruang tamu. Akram sengaja memelankan langkah. Kedatangan Mia akan membuat ibunya senang. Ia sedikit mengharapkan itu.
"Ayo, Mia. Kita berangkat," desak Frans.
Mia menatap punggung suaminya. Meski yang ditanam Akram setiap hari adalah onak dan duri ia rela. Hanya ada satu punggung itu di dunia. Dan hanya ada Danial Akram di pusat dunianya.
"Tunggu, Mas!"