Bab 2 : Antara Laki-laki dan Perempuan

1241 Words
“Mantu Ibu kan, cowok semua, Kram. Nah, Ibu mau tahun ini ada yang cewek.” Yurika menegaskan ulang kado special yang ia harapkan dari putranya. Akram berusaha memahami penuturan ibunya. Ia belum membicarakan perihal pernikahan dengan kekasih idaman. Masih ingin menikmati masa muda dengan fokus bekerja serta mengembangkan diri. “Tahun ini, Bu?” tanya Akram memastikan. Yurika mengangguk-angguk. Memberikan senyum termanis yang ia punya. “Ya, tahun ini. Ibu udah nentuin calonnya. Tinggal kalian ketemuan, tunangan, lamaran, nikahan. Kaya kakak-kakakmu dulu.” Akram kembali terdiam. Sebuah siaran ulang terjadi lagi dalam keluarganya. Tentang jodoh perjodohan yang disusun sedemikian rupa oleh sang ibu. Yurika beralih menatap Dania dan Delia bergantian dengan terus mengembangkan senyum. Meminta dukungan atas rencana besar yang ia buat untuk Akram. Dua rencananya dulu, terbukti berhasil membuat dua putrinya bahagia. Begitu pikirnya. “Bu, Akram belum sembilan belas tahun, Bu. Udah mau nikah?” tanya Akram masih sulit mendefinisikan permintaan ibunya. Tahun ini terlalu cepat buatnya yang memiliki kategori usia ideal sendiri untuk menikah. “Akhir bulan udah sembilan belas, ‘kan? Sekalian nanti kita makan-makan di Saung. Kita rayain ulang tahun kamu sama ketemu calon istri juga calon mertua kamu. Gitu, aja.” Enteng sekali Yurika berbicara seolah menikah dengan orang yang belum dikenal adalah hal yang mudah. Tak ada yang perlu dipertimbangkan termasuk hati yang bisa saja patah. “Tapi, Bu, Akram masih mau....” Yurika mengangkat tangan. Mengusap lembut pipi Akram. Memandangi putranya dari ujung rambut hingga kaki. “Mau apa? Kerja?” tanyanya sambil memerhatikan cara Akram berdiri. Ada perih saat melihat Akram yang berbeda. Tidak tegap seperti sebelumnya. “Akram mau....” Kalimat itu tertahan. Tak bisa Akram mengungkapkannya segera. Yurika menebar senyum kembali. Ia ingat betul peristiwa beberapa tahun silam. “Mau apa? Mau ngeyel lagi yang akhirnya bahayain diri?” Akram menggeleng. “Bukan gitu, Bu. Cuma menikah kan butuh persiapan dan lainnya, Bu, Akram belum siap.” Akram berusaha membuat argumen logis agar tidak bisa dibantah oleh ibunya meski ia tahu itu sia-sia. Sama seperti kedua kakaknya dulu. Menikah dengan jalan yang sangat mudah sesuai dengan kemauan wanita yang melahirkan mereka. “Dah, nggak perlu protes. Pokoknya kamu nurut sama Ibu. Demi kebaikan kamu.” Yurika menatap tajam pada putranya. Menegaskan bahwa keputusannya sudah final. Sementara Akram memandangi kedua kakaknya yang hanya menatapnya penuh rasa iba. Gelengan kecil Dania berikan untuk Akram. Meminta adiknya meredam dulu suasana kurang nyaman itu. Hari ini hari ulang tahun ibu mereka. Akram ingin membantah. Ingin memberikan argumen lain yang mungkin bisa menyelamatkan dirinya dari permintaan konyol itu. Namun, Yurika sudah menarik kursi. Bersiap mendudukkan diri di sana. “Nyampe dingin nasi kuningnya. Ayo kita makan dulu. Malka sama Bapak Dipanggil dulu, Dan!” Yurika mengambil piring juga sendok yang ia siapkan sendiri. “Ya, Bu. Dania panggil dulu.” Dania pun bangkit. Ia tak bisa membantu Akram dalam pilihan sulit itu. Dania melewati adiknya yang masih saja berdiri. Tatapan matanya mengisyaratkan agar Akram tak bertingkah macam-macam. Lewat anggukan kecil Akram terpaksa mengiyakan arahan Dania. Ia menarik kursi di sebelah ibunya yang biasa ia tempati. Dengan malas ia pun menerima piring berisi nasi kuning yang diberikan langsung oleh ibunya. Akram memandang bulir-bulir empuk nan mengenyangkan itu. Nyatanya terlahir sebagai bungsu di keluarga dengan jenis kelamin laki-laki tak membuatnya berbeda. Ia tetap harus mengalami satu fase sulit terkait jodoh setelah lulus sekolah. Harus menikah di usia sebelum atau tepat sembilan belas tahun. Sebuah kemalangan yang datang seperti tamu tak diundang. Tiba-tiba menghadang. Akram mendesah. Jalan hidupnya sudah pasti akan sangat susah. “Malka mau kuenya, aja!” seru Malka saat bergabung bersama Danu dan juga Dania di meja makan itu. Melihat Delia menyiapkan satu cake ber-cream warna putih dan biru membuatnya semangat. “Bentar, ya. Ante kasih lilin dulu.” “Malka yang niup.” “Iya, iya, Malka.” Delia mengusap pipi gembil bocah berusia lima tahun itu. “Tuh, seneng, kan, kalau pada ngumpul gini, Pak. Harus nunggu setahun sekali coba. Itu juga nggak sama anak mantu.” Yurika menyerahkan satu piring berisi nasi kuning yang ia ambilkan khusus untuk suaminya. “Iya, mantunya, 'kan, pada sibuk semua. Ya dimaklumi, Bu. Gitu-gitu juga mantu pilihan kamu,” seloroh Danu yang memang hanya bisa menuruti semua kemauan perempuan pujaan hatinya. “Makanya tahun ini Ibu mau mantu yang bisa tinggal di rumah ini. Nemenin kita setiap hari.” Masih dengan mata berbinar Yurika mengungkapkan niat itu pada Danu. “Mantu, Bu?” tanya Danu terkejut.  “Iya. Anaknya Pak Agit.” Ting! Sendok di tangan kanan Danu terlepas begitu saja. Sama halnya dengan Akram ia pun tak mengira akan secepat itu istrinya menentukan jodoh untuk putranya.Akram masih terbilang muda. Sedang ingin fokus bekerja. Masa depannya yang sudah menjadi buram sedang mulai berkembang. Jika menikah secepat itu bagaimana nanti Akram akan bertahan. Danu meraih sendok kembali. Mencoba menyuapkan nasi kuning buatan Yurika pada mulutnya sendiri. Menjadi laki-laki di keluarga kecilnya tak bisa mengubah apa-apa saat keputusan besar sudah diambil oleh sang istri. *** Seperti biasa Akram mengantar kembali Dania serta Malka ke rumah. Delia sudah pamit duluan mengingat butuh waktu satu jam untuk dia sampai ke rumahnya di kabupaten. Jam delapan malam setelah menunaikan empat rakaat Isya, Dania berpamitan. “Nginep sini aja, Dan. Suami kamu juga lagi pergi,” ujar Danu pada putrinya yang sudah menggendong Malka. “Enggak, Pak. Gimana pun juga itu rumah Dania sama suami. Dania harus menjaganya.” “Hmmm ... istri solihah, ya.” Danu memasang senyum kecut. Satu pendidikan karakter yang entah didapatkan dari mana oleh Dania. Selama ini ia tak pernah mengajari. “Masih belajar, Pak,” ungkap Dania. Ia pun mengulurkan tangan sebagai tanda jam berkunjungnya di rumah orangtua sudah selesai. Yurika mengukir senyum dari gawang pintu. Ia melambaikan tangan saat Akram dan Dania berlalu bersama sepeda motor bergaya capung itu. Ditatapnya punggung orang yang sangat ia cintai. Terselip doa agar apa yang dia lakukan selama ini bisa membuat mereka hidup nyaman saat kelak ia tak ada. Yurika membalikkan badan. Bersiap masuk kembali ke dalam rumah. “Putri Pak Agit yang masih di pondok?” tanya Danu dari teras rumah mereka. Setelah ketiga anaknya pergi atmosfir dingin menyelimuti rumah bergaya minimalis itu. Yurika menoleh. Soal jodoh untuk Akram ia memang belum mengabarkan pada suaminya. Semua murni atas dasar inisiatifnya sendiri. Ia akan bicara kalau semua sudah pasti. “Iya.” “Akram nggak akan sebanding, Bu.” Danu mengambil sebatang rokok yang dia simpan di laci meja teras. Ia kerap melakukan kebiasaan itu di malam hari. Asap pembakaran itu tidak boleh sampai masuk ke rumah. “Semua orang juga tahu kalau Akram rajin solat di mesjid kalau pas di rumah. Pasti Akram memenuhi kriteria.” Danu sudah mengambil korek untuk membakar olahan tembakau itu. Dia bersiap mengisapnya dalam-dalam. Sementara Yurika memilih menutup hidungnya dengan tangan. “Bukan soal itu, Bu." "Soal apa?" "Soal kemampuan Mahar yang akan kita bawa.” Jika kedua putrinya mendapatkan dari pihak laki-laki, tentu berbeda dengan putranya kini. Melamar anak juragan dengan perkebunan tanaman rempah terbentang dari ujung hingga batas-batas desa tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Danu paham betul akan hal itu. “Bapak nggak perlu pusing mikirin. Ada cara lain yang Ibu tawarkan buat keluarga Pak Agit.” Asap rokok sudah mulai membumbung. Meski halus, embusannya tetap sampai pada hidung bangirnya. Yurika mengayunkan langkah seraya menutup rapat-rapat pintu rumah. Danu hanya bisa mendesah. Bahunya semakin turun saja karena menjadi laki-laki yang tak punya daya di rumah dengan gelarnya sebagai kepala. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD