Bab 10 : Agenda Utama

1112 Words
Akram tetap harus memaksakan diri menghadiri acara yang sudah disusun ibunya. Meski sebagian hatinya masih mendera luka. Bagaimana tidak, jika hubungan yang ia jalin bersama Nasha justru kandas dengan cara yang tak pernah ia duga. Rencana akhir bulan yang ia harapkan bisa menjadi sebuah hal manis justru berakhir sebaliknya. Akram masih tak percaya. “Nggak salah?” tanya Dania saat melihat Akram keluar dari kamar. “Apanya?” “Penampilan kamu. Yakin mau pakai kaos begitu?” Dania menunjuk baju yang dikenakan adiknya. “Lah emangnya kenapa, Kak? Nggak apa-apa, lah,” ujar Akram cuek. Sejak beberapa hari yang lalu ia cenderung menjadi orang yang tidak peduli dengan keadaan. Semua terjadi karena patah hati. “Parah kamu. Ganti sana!” perintah Dania. Ia tidak mau adiknya menjadi bahan tertawaan. “Kak....” “Mau ibu yang ngasih tahu?” Akram tertunduk lesu. Ia kalah saat kakak pertamanya juga membawa-bawa ibu mereka. Terpaksa Akram kembali ke dalam kamarnya. Mencari baju yang sekiranya cocok untuk acara siang ini. Lemari berbahan alumunium itu, Akram buka. Seketika menampakkan isi di dalamnya. Beberapa kaos berkerah juga kemeja pendek casual ada di sana. Akram menyibak satu per satu baju yang tergantung itu. Tangan kanannya menemukan satu kemeja yang menurutnya berbeda. Akram mendesah. Baju itu hadiah terakhir yang diberikan Nasha. Gadis berparas cantik yang selalu berhasil membuatnya jatuh cinta berkali-kali. Akram pun teringat lagi akan momen kedekatan mereka. Ada yang bilang terus memaksa melupakan hanya akan membuat semua terasa semakin jelas. Lebih baik membiarkannya tetap ada dan selesai dengan sendirinya. Biar waktu yang menyembuhkan semua luka itu. “Nah, gini kan, keren,” ujar Dania yang seenak sendiri menyelonong masuk ke dalam kamar Akram. “Ribet ah, Kak.” Dania menggeleng. Ia meyakinkan pada Akram jika itu tidak ribet seperti yang dipikirkan adiknya. “Selagi masih awal nurut aja dulu. Kalau emang nggak jodoh juga nggak bakal sampai pelaminan, Kram. Percaya, aja.” Lagi Akram hanya bisa mengangguk lemah. Sungguh menjadi laki-laki tak ada bedanya di keluarga mereka. Tetap saja tak bisa melawan keputusan yang dibuat oleh Yurika—ibu mereka. Kali ini Delia absen dalam pertemuan yang diagendakan oleh Yurika. Perempuan itu masih harus mengurus beberapa keperluan bisnisnya bersama sang suami. Praktis Dania menjadi yang paling diandalkan sekarang selain Yurika sendiri sudah melakukan segala persiapan. “Nggak salah, Bu?” tanya Danu begitu mereka sampai di rumah makan yang disampaikan oleh Yurika. “Nggak, lah, Pak. Emang acaranya di sini,” jawab Yurika santai. Ia merapikan sebentar kerudung yang ia kenakan. “Malka aman?” tanya Danu setelah menengok ke jok belakang. Kedua anaknya duduk di sana bersama sang cucu. “Aman, Pak.” “Kamu, Kram?” Kali ini Danu beralih melihat anak laki-lakinya. Bungsu di keluarga itu. Akram mengangguk. ia tidak mungkin berkata tidak baik-baik saja. terlebih di depan sang ibu. “Baik, Pak.” “Ya sudah ayo turun,” ujar Danu. Ia membuka kunci pintu mobil tersebut. Yurika menjadi orang pertama yang turun. Selain memang ia adalah inisiator dalam pertemuan dua keluarga ini, ia juga sudah tak sabar ingin melihat calon menantunya. Rasanya saat anak terakhirnya menikah nanti, beban berat sebagai orangtua yang harus ia emban selama ini akan sedikit lebih ringan. Yurika merasa berhasil jika anak-anaknya sudah menjalani rumah tangga semua. Ia hanya perlu fokus mengurus diri dan suaminya nanti. “Sini, kram!” seru Yurika begitu Akram menutup pintu mobil setelah membantu Dania menurunkan Malka. “Ya, Bu.” “Jalan di samping Ibu. Biar bapak sama kakak kamu di belakang.” Akram berhenti sejenak. Ia menatap ayahnya. Danu pun mengangguk. Mengiyakan ucapan Yurika. Mana berani dia melarang istrinya. Akram akhirnya mendekat pada Yurika. Berjalan bersisian. Jika ada orang pertama di dunia ini yang harus dihormati oleh Akram, jelas jawabannya adalah ibu. Perempuan yang sudah mengantarkannya ke dunia. Akram tahu betul akan hal itu. Jika ada orang yang harus didahulukan keinginannya, jelas jawaban itu pun tetap ibu. Akram sangat paham. Namun, kali ini saat berjalan seperti ini, sungguh Akram ingin menyangkal sedikit saja. Akram ingin menolak permintaan Yurika tentang pernikahan dengan gadis bernama Miana Agya. Akram sama sekali tidak mengenal gadis itu. Akan tetapi ia hanyalah Danial Akram. Semenjak insiden beberapa tahun silam, ia berjanji tak akan pernah lagi menyakiti hati Yurika Andarini. “Nah, itu mereka,” ucap Yurika saat mereka selesai melintasi jembatan di mana di bawahnya terdapat beberapa kolam ikan. Yurika sengaja memilih tempat makan dengan konsep pedesaan dengan pondok-pondok berada di atas kolam. Ia ingin acara pertama ini bisa memberikan kesan yang berarti bagi kedua keluarga. Akram mengambil napas sejenak. Ia benar-benar tak memiliki gambaran sama sekali terkait perempuan yang akan ia temui hari ini. Akram menoleh ke belakang. Menatap kakak dan ayahnya bergantian. Untuk kemudian beralih ke Malka yang digendong ayahnya. “Biar sama Akram, Pak,”ujarnya sambil mengulurkan tangan. Otomatis Malka yang memang dekat dengannya menyambut uluran itu. “Loh, Kram,” ujar Yurika saat sadar putranya justru berhenti. “Nggak apa-apa, Bu. Ibu duluan sama Bapak,” jawab Akram. Jelas ia tidak ingin menjadi yang pertama  menyapa keluarga asing itu. Danu paham maksud dari putranya meminta menggendong Malka. Sebagai sesama lelaki, ia mengerti. Segera Danu melangkah maju setelah Malka yang sudah sepenuhnya bangun menghambur ke pelukan Akram. “Ayo, Bu,” ujar Danu. Ia kepala keluarga. Harus bisa membawa nama baik satu keluarga. Yurika tak bisa menolak. Terlebih saat orang yang menunggu mereka melambaikan tangan. Gegas Yurika dan Danu menghampiri calon besannya. “Assalamualaikum. Mohon maaf ini, Pak Agit, kami terlambat,” ucap Yurika begitu melepas sandalnya. “Waalaikumsalam. tidak, Bu. Kami yang datang terlalu awal,” jawab Agit. Ia berdiri yang diikuti oleh Sufi dan Mia. “Mari, silakan duduk,” ujar Sufi. Meski tempat ini Yurika yang memesan, Sufi tak sungkan untuk bersikap ramah. Terlebih saat mereka ternyata lebih dulu sampai. “Baik, Bu. Terima kasih.” Yurika mengambil posisi duduk yang diikuti oleh Danu dan Dania. “Sini Kram,” imbuhnya. Akram mengangguk lemah. Ia menurunkan Malka terlebih dahulu. Kemudian menyalami Agit. “Sudah besar kau, Kram,” ucap Agit sambil menepuk bahu Akram. “Iya, Om,” jawab Akram. “Danial Akram?” tanya Sufi memastikan. Ia sudah tahu tentang pemuda ini tetapi tidak begitu paham. “Iya, Tante.” Sufi tersenyum ramah. Ia menoleh ke sebelah kiri di mana putrinya berada. “Mia,” panggilnya. Mia pun menangkupkan kedua telapak tangannya di depan d**a. Sebagai bentuk salam pertama darinya untuk laki-laki bernama Akram tadi. Mia ... tak berani menatap langsung ke arah calon suaminya. Akram melakukan hal yang sama pada Mia. Ia hanya mengangguk sebagai bentuk penerimaan akan salam itu. Setelahnya duduk bersila menghadap perempuan bernama Mia itu.  Wajahnya tidak asing. Rasanya Akram pernah melihatnya, tetapi di mana?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD