Bab 12 : Bertemu Lagi

1092 Words
Mia menatap layar ponselnya. Ia sejak tadi memandangi nomor dengan nama kontak lelaki yang nantinya akan menjadi calon imamnya. Dalam hati Mia ingin menyapa terlebih dulu lewat kalimat singkat pesan aplikasi berwarna hijau. Namun, rasa malunya lebih banyak mendominasi. Hari ini pasca liburnya selesai, ia harus kembali ke pondok pesantren untuk melakukan ujian. Serangkaian kegiatan yang akan menjadi akhir dari aktivitasnya di sana. Jika diingat-ingat rasanya cukup berat. Mengingat Mia memang senang berada di sana. Beberapa perlengkapan yang biasa dibawa Mia, sudah disiapkan oleh sang ibu. Mia hanya perlu berangkat membawa dirinya beserta beberapa buku yang menjadi bahan bacaannya. “Sudah ready?” tanya Agit yang hari ini bertugas mengantar keberangkatan Mia. “Alhamdulillah sudah, Pak. Tinggal berangkat.” Agit tersenyum. Ia tak pernah alpa bersyukur saat melihat putrinya. Anak perempuan yang tumbuh dengan begitu baik. “Kalau begitu kita lets go!” Mia pun mengangguk. Ia sangat antusias jika bersama ayahnya. Banyak ilmu yang akan ia curi dari wirausahawan ini. Tanpa Sufi yang memang harus menjaga bungsu di keluarga itu, Mia dan Agit pun berangkat. “Mampir sini bentar ya, Nduk,” ucap Agit saat mereka sampai di area kota. “Mau ngapain, Pak?” tanya Mia gugup. Bagaimana tidak saat mobil ayahnya berhenti tepat di depan minimarket tempat Akram bekerja. “Beli minum buat bapak sama kamu. Mau ikut turun?” Mia berpikir sejenak. Dari kaca mobil ia mengerti seramai apa Betamart itu. Ia berharap bisa bertemu dengan Akram pasca pertemuan keluarga itu. Mia menimbang dengan hati-hati keputusannya. Rasa malu selalu lebih mendominasi. Mia pun menggeleng. “Ya sudah kalau begitu.” Agit pun turun dari mobilnya. Padahal rencananya mengajak sang putri berpamitan dengan Akram. Namun, Mia memiliki keputusan sendiri. Dari balik kaca mobil, Mia mengamati keadaan sekitar. Baru melihat tempat kerjanya saja sudah sangat membuatnya berdebar. Bagaimana jika nanti berada dalam satu rumah yang sama. Menikah yang merupakan kata kerja dari nikah adalah ikatan perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama. Pernikahan dalam islam merupakan sebuah ibadah dengan kedudukan yang penting serta sakral. Perjanjian yang amat kukuh dan kuat atau disebut dengan mitsaqan ghalizha. “Menikah adalah sunnahku, barangsiapa yang tidak mengamalkan sunnahku, bukan bagian dariku. Maka menikahlah kalian, karena aku bangga dengan banyaknya umatku (di hari kiamat).” HR-Ibnu Majah. Mia jelas paham betul akan hal itu. Maka saat sang ayah berkata ia harus segera menikah, Mia menyetujuinya terlebih saat mengetahui siapa calon mempelai pria. Ingatan Mia melintas ke sana. Saat setiap waktu di sepertiga malamnya ia meminta pada pencipta agar dipertemukan lagi dengan pria itu. Mia menarik garis bibir. Ia sepenuhnya percaya bahwa takdir sanga maha kuasa selalu yang paling baik dari yang terbaik. Mia terkesiap. Sebuah ketukan dari balik kaca mobil ayahnya membuyarkan lamunan. Pelan Mia menurunkan kaca tersebut. “Apa, Pak?” “Tunggu sebentar,” ucap Agit. Ia bersandar pada pintu mobil itu. Mia mengangguk. Ia tak pernah membantah dengan perintah sang ayah. Betapa terkejutnya Mia saat melihat sosok Akram keluar dari Betamart membawa dua kantong belanja. “Bapak,” pekik Mia. Agit pun meraih kenop pintu mobil, seraya membuka untuk Mia. Gadis itu mau tidak mau tetap harus turun terlebih saat langkah pemuda yang berjalan ke arahnya semakin mendekat. Rasa gugup mulai menyerang. Mia membenarkan jilbabnya. Sekadar memastikan penampilannya baik di mata Danial Akram. “Ini, Om, belanjaannya,” ujar Akram begitu sampai di depan Agit dan Mia. “Makasih, Kram. Taruh bagasi aja, ya.” Agit menunjuk bagian belakang mobilnya sambil melangkah. Tak lupa mengajak putrinya. Ia akan membukakan untuk calon menantunya. “Ini mau ke mana, Om? Jalan-jalan?” tanya Akram ramah. Sudah kepalang bertemu seperti ini tidak mungkin jika ia tidak peduli.                 “Mau ngantar Mia balik ke pondok. Kebetulan belum bawa jajan. Sekalian lewat, Kram.”                 “Oh, begitu, Om. Terima kasih sudah berbelanja di Betamart,” timpal Akram pada akhirnya. Ia rasa salam itu yang paling tepat.                 Agit pun tergelak. Tingkah Akram sangat alami. Pria itu tak menunjukkan bahwa ia calon menantu darinya. Tetap profesional di tengah pekerjaan yang dilakukan. Mia yang sejak tadi hanya menjadi pengamat refleks membekam mulut. Ia ingin tertawa tapi jelas tak bisa lepas begitu saja.                 Akram menggaruk tengkuk. Cukup canggung dengan pertemuan ini. Mau tidak mau ia harus melayani Pak Agit sekaligus menjadi kenalan yang baik saat ternyata mendapati pria itu berbelanja. Meski hatinya menolak, tapi jiwa profesionalismenya meronta dan membuatnya bisa mengantar dua kantong belanja tersebut.                 “Besok-besok main ke rumah kalau lagi free. Kita ngobrol bareng,” ujar Agit saat pintu bagasi sudah tertutup rapat. Mereka berjalan lagi ke bagian tengah mobil.                 “Baik, Om. Saya usahakan.”                 “Kalau begitu Om pamit, ya. ini nanti Mia terlambat.” Agit menyorongkan tangannya ke arah Mia. Ia tahu putrinya itu sangat pemalu.                 Mia mengangguk. Meski di kepalanya banyak kata berenang di sana, tak satu pun yang bisa keluar melalui mulutnya. Ia tak hanya mati gaya saat berhadapan dengan Akram seperti ini. Semua pergerakannya menjadi terkunci. Ia hanya bisa mengangguk, lagi dan lagi.                 “Hati-hati di jalan, Om. Semoga sampai tujuan dengan selamat. Hati-hati, Mia,” ucap Akram. Ia pun sejatinya tak nyaman, tapi mau bagaimana lagi.                 Agit menarik garis bibir. Merasa keputusannya berhenti di Betamart sudah sangat tepat. Dengan begini Mia bisa merangkum pertemuan kedua dengan Akram dan menyimpannya baik-baik. Satu setengah bulan lagi jika semuanya beres baru mereka bisa bertemu.                 Mia menyunggingkan senyum. Ia sendiri senang disapa seperti ini. Maka ia kumpulkan keberanian untuk berbicara. “Terima kasih. Mari, kami duluan.”                 “Ya.”                 Ini bukan pertemuan kedua untuk Mia. Ia bahkan pernah masuk ke Betamart untuk membeli beberapa camilan. Tujuannya hanya ingin melihat pria bernama Danial Akram. Namun, saat itu ia berani sekali saat insiden kecil membuat snack miliknya jatuh berserakaan dan dibantu oleh Akram. Anehnya saat terlalu dekat seperti ini dan identitasnya sudah diketahui, ia menjadi sulit mengekspresikan diri. Mia pun tersipu. Ia tak bisa menyembunyikan kekagumannya saat sudah memasuki mobil ayahnya. Wajahnya merona.                 “Irit banget ngomongnya, Nduk. Bapak kira bakal tanya apa,” seloroh Agit sambil bersiap menyalakan mesin mobil.                 Mia menoleh. Ia tersenyum atas sikapnya sendiri. “He, malu, Pak.”                 Agit menggeleng. Rupanya warna merah muda sedang mendominasi perasaan putrinya. Ia pun tak melanjutkan obrolan karena Mia langsung fokus melihat ke arah Betamart lagi. Agit tahu putrinya mencuri pandang dari pria yang kelak akan menggantikan posisinya.                 Punggung Akram meninggalkan area parkir Betamart. Pria dengan seragam dan nametage itu kembali pada aktivitasnya di sana. Jelas ia tak akan terlalu memikirkan pertemuan tak sengaja ini. Namun, paras perempuan berjilbab itu membuatnya kian terusik. Siapa sebenarnya calon istrinya? Miana Agya ... Miana Agya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD