Sepanjang acara Akram menjadi tidak fokus. Hilmi sangat mendominasi sampai-sampai mereka terus berpapasan. Dan di samping Hilmi selalu ada Nasha.
"Kamu nggak mau nyapa dia dulu, Sayang?" ujar Hilmi yang lebih terdengar seperti perintah di telinga Nasha dan Akram.
"Apaan sih, Hil. Aku aja nggak tau loh kalau acaranya kayak gini."
"Ups sorry. Kalau aku kasih tau pasti kamu nggak mau."
"Hil," desis Nasha. Ucapan Hilmi bisa saja didengar Akram dan Frans yang berjarak hanya beberapa langkah saja darinya.
"Ayolah, calon Nyonya Betamart harus senyum dong," tukas Hilmi. Ia kembali menautkan tangan Nasha ke lengannya. Kemudian berjalan pelan mendekati Frans dan Akram.
"Permisi, Pak Frans."
"Ya?"
"Tadi saya lupa mau bilang. Ada salam dari ayah saya. Beliau meminta maaf karena tidak bisa datang."
"Oh ya, tidak apa-apa. Tadi sudah disampaikan oleh sekretaris Pak Bekti."
Hilmi menggeleng. "Beliau nitip pesan juga, Pak."
"Pesan?"
Hilmi mengangguk. Ia mencondongkan badannya. "Kata ayah saya, anda haryus hati-hati. Toko sebesar ini kalau bukan profesional yang memegang bisa jadi bangkrut, Pak kedepannya."
Hilmi sengaja mengatakannya. Ia juga tidak berbisik meski sudah mencondongkan badan. Ia hanya sedang membuat pemberitahuan untuk Akram.
"Apa maksudmu?"
"Anda yakin tidak tau Pak Frans?" tanya Hilmi sambil melihat Akram.
Tangan Akram mengepal. Ini sudah berlebihan. Namun, Frans menahannya. Pria itu menggeleng kecil.
"Nak Hilmi mari ikut saya. Ada banyak hal yang harus saya tunjukkan." Frans mengubah gaya bicaranya. Bagaimanapun Hilmi adalah perwakilan dari Betarmart.
"Saya?" tanya Hilmi sambil menunjuk diri.
Frans mengangguk. "Mohon maaf, saya lupa kalau anda perwakilan Betamart. Mari...."
Hilmi sedikit ragu. Ia mencari keberadaan sekretaris ayahnya namun tak ada. Ia melihat ke arah Nasha meminta pertimbangan. Nasha hanya mengangguk kecil.
"Bentar, ya."
"Iya."
"Nggak macem-macem," ancam Hilmi sambil melihat Akram kembali.
"Aku duduk di sana. Cari minum dulu," ujar Nasha seraya beranjak. Ia tidak mau Akram terkena masalah akibat berdekatan dengannya.
Akram tak menanggapi provokasi Hilmi. Ia berusaha menjaga sikap mengingat banyaknya orang penting di acara kali ini.
"Kram!" tepukan Rios menyentak Akram.
"Yos!"
"Nggak disamperin?" tanya Rios sambil mengangkat alis. Ia perhatikan Nasha yang tampak berbeda.
Akram menggeleng. "Nggak."
"Fix move on, Kram?"
"Yang bener, Yos. Mulut dijaga.
"Sorry, sorry. Cuma kok sekarang dandanannya gitu banget, ya. Beda jauh." Rios masih terus memerhatikan Nasha. Ia rasa gadis itu berubah banyak.
Akram menggeleng. Ia tahankan dirinya untuk tidak melirik ke arah yang diperhatikan sahabatnya itu. Ia tidak boleh goyah.
"Yah, malah pergi, Kram," seloroh Rios. Tidak mungkin Akram tidak memerhatikan Nasha.
Dan benar saja. Begitu Nasha meninggalkan area utama pertemuan, Akram semakin penasaran. Tanpa sadar langkahnya mengikuti Nasha yang seperti pergi ke tempat sepi. Akram menyelinap. Ia tidak boleh ketahuan siapa-siapa.
"Atap?" lirih Akram.
Nasha mulai menaiki anak tangga dan Akram mengikutinya. Nuraninya tak bisa membantu sama sekali. Akram pun mendorong pintu itu. Ia mengamati Nasha dari belakang. Ia tak berani melangkah. Dari posisinya ia bisa menyaksikan dengan jelas apa yang dilakukan gadis itu.
"Ya ampun, Nasha," ucap Akram seraya berlari.
"Ngapain kamu, Sha?" teriak Akram.
"Akram?"
"Sejak kapan kamu kenal itu, Sha?"
Segera Nasha menjatuhkan benda yang mulai dikenalnya beberapa minggu ini.
"Kram..."
"Kamu kenapa begini?" tanya Akram. Ia sangat heran dengan sikap dan penampilan Nasha.
"Bukan urusanmu, Kram." Nasha tidak mau terlibat hal apa pun dengan Akram. Ia harus segera menghindar.
"Sha!" sentak Akram seraya menarik tangan gadis itu.
"Lepas, Kram."
"Jelasin ke aku. Kenapa kamu kayak gini? Ngrokok? Kamu mahasiswi gizi, Sha."
"Aku lagi cuti."
"Cuti?" pegangan tangan Akram pun terlepas. Ia perhatikan baik-baik raut wajah gadis yang berdandan cukup berlebihan itu.
Nasha mengangguk kecil. Pasca meninggalnya sang ayah, ia semakin tak bisa mengendalikan diri. Ia frustrasi dan marah dengan keadaan. Benda itu menjadi pelariannya.
"Nggak baik, Sha. Hindari," ujar Akram. Ia tak tega melihat Nasha yang mata beningnya mulai bekaca.
Nasha tak menjawab. Ia harus pergi. Kalau Hilmi tahu akan sangat berbahaya bagi Akram.
"Sha," panggil Akram. Namun, Nasha menggeleng.
"Aku harus turun, Kram. Jangan ikuti aku."
"Kamu nggak bisa gini, Sha. Perhatikan kuliahmu."
"Nggak usah sok peduli, Kram. Urus urusanmu," timpal Nasha. Sontak Akram tersentak.
Nasha menyadari dirinya sudah berlebihan. "Sorry, Kram."
Akram menggeleng. "Duduk dulu, Sha."
"Enggak, Kram."
"Sebentar aja."
Nasha mempertimbangkannya. Ia juga capek mengenakan heels yang sangat tidak cocok dengan dirinya. Ditambah gaun selutut yang membuat gatal badan. Nasha menyerah. Ia hanya akan duduk sebentar.
"Kenapa natap aku begitu? Risih ya?"
Akram menggeleng. Ia berusaha berbohong. "Nggak."
"Jelek dandan kayak gini? Mirip tante-tante?"
Akram mengulangi gerakannya. "Nggak jelek. Cuma nggak pantes aja."
"Ck!"
"Ck?"
"Kamu nggak bisa pura-pura dikit, Kram? Aku tuh dijebak sama Hilmi."
"Tapi mau, kan?"
"Terpaksa."
Akram memerhatikan mantan kekasihnya. "Berarti kamu nggak balik ke Semarang?"
"Nggak."
"Kenapa?"
"Jagain Mamah, Kram."
"Ah, iya. Makanya cuti?"
Nasha mengangguk. Ia melepas heelsnya. Sejak tadi kakinya sangat tidak nyaman. Di depan Akram ia selalu bisa tampil apa adanya.
"Istrimu nggak dateng? Aku nggak lihat dari tadi."
"Lagi di rumah sakit."
"Di rumah sakit? Sakit apa?" tanya Nasha heran. Akram sangat santai saat bilang Mia di rumah sakit.
"Kena DB. Masih harus dirawat."
"Tapi acara udah nggak bisa ditunda?"
Akram mengangguk kecil.
"Keren loh jadi mantu juragan," seloroh Nasha. Ia rasa tidak perlu terlalu kaku dengan Akram meski mereka sudah berpisah.
Akram tersenyum kecut. "Apanya yang keren?"
"Punya gedung segede ini," tunjuk Nasha pada atap yang diinjaknya.
"Bukan punyaku."
"Hei... jangan merendah, Kram. Aku denger tadi di bawah."
Akram terkekeh. "Hanya mengelola."
"Hanya? Bukan hanya namanya, Kram. Kamu hanya perlu melakukan yang terbaik saja."
Akram pun menoleh.
"Maaf soal insiden depan rumah," ujar Nasha. Ia benar-benar tak mengira akan memeluk Akram.
"Nggak apa-apa."
"Aku harap Mia nggak salah paham, Kram."
"Salah paham?"
"Ya. Aku takut Mia mikirnya kita masih ada hubungan, Kram. Aku nggak nyaman."
"Kamu mikirnya gitu?"
Nasha mengangguk. "Yang udah biarin udah, Kram. Waktunya mikir yang sedang kita jalani."
"Kamu sama Hilmi maksudnya?"
"Kram...."
"Iya, iya. Aku juga mikirnya gitu."
"Gitu gimana?"
"Mungkin udah waktunya aku nglepasin kamu."
Nasha terdiam. Nglepasin? Selama ini?
"Seperti yang kamu pikirkan. Tapi mungkin udah cukup sekarang. Udah waktunya buat jalanin maksimal yang di depan mata."
Nasha tak paham dengan kalimat Akram. Apa selama ini Akram masih menjaga hati sama seperti dirinya?
"Cuma aku nggak bisa kalau misal ketemu kamu kok pura-pura nggak kenal. Dari awal kita juga temenan, Sha."
Nasha masih berkutat dengan lamunannya. Entah mengapa ada hal yang salah dengan ucapan Akram. Harusnya Akram tidak mengatakannya.
"Sha," panggil Akram.
"Ah, ya. Benar, Kram."
"Semoga urusan kamu dipermudah, Sha. Aku doakan yang terbaik."
Nasha mengangguk. Ia senang jika Akram mendoakannya. "Kamu juga, Kram."
Akram mengangguk kecil untuk kemudian menatap ke arah depan. Begitu juga dengan Nasha. Dua orang itu secara tidak langsung sepakat untuk saling melepaskan diri dari ikatan yang sudah tidak mungkin lagi diperbaiki. Sudah seharusnya mereka sama-sama rela dengan takdir terbaik yang mereka miliki.
Getar ponsel Nasha membuyarkan fokus keduanya.
"Arghh Hilmi lagi," keluh Nasha.
Akram mengulas senyum. "Paling sudah dicari, Sha."
"Iya, nih. Nyebelin. Ya udah aku turun dulu." Nasha berdiri tanpa memerhatikan sepatu heelnya. Sigap Akram menahannya.
Akram berjongkok untuk memakaian heels itu di kaki jenjang Nasha.
"Hati-hati, Sha," ucapnya seraya tersenyum.
Nasha mengangguk kecil. Ia pertahankan kesadaran dirinya agar tidak kembali berdebar karena perlakuan Akram.
Ini tidak benar.