Bab 33 : Sebuah Cerita

1015 Words
Tentang Mimpi dan Siapa diriku Sebuah cerita oleh Kalina **** "Tenang, tenang. Kamu baik-baik saja." Sepenuh hati tubuh ringkih itu memeluk bantal. "Hanya mimpi, ini hanya mimpi. Kalau pun bukan ini hanyalah ilusi." Tak henti menyangkal ingatannya kembali, dia terus bicara seorang diri. Putranya sudah terlelap tepat di sampingnya. Deru kipas angin menutupi isaknya. Tak tahan dengan serangan ingatan yang terus berseliweran, perempuan dengan rambut sebahu membawa bantal dan selimutnya keluar. Menghampiri suami yang tidur di ruang televisi. Dia tak menghiraukan posisi lelakinya. Seketika menghambur dan bersembunyi dalam peluknya. "Bantu, aku. Bantu aku," ucapnya terburu-buru. "Apa sih, malam gini." Lelaki berbadan kekar yang tak peka justru membalikkan badan. Tak peduli perempuan yang dinikahinya terkena ledakan ingatan. Laluna terus memeluk suaminya. Dia tak akan bisa bangun dan terlelap saat perasaan itu muncul di waktu tertentu. Luka menganga di hatinya tak akan pernah menutup sempurna sekuat apa pun ia mencoba. Tangannya berusaha meraih tubuh kekar suaminya, meminta agar lelaki tercintanya membalikkan badan dan mendekapnya. "Haish. Tidur sendiri. Aku juga capek, Laluna," Siku lelaki itu tepat mengenai wajah Laluna. "Aw," ucap Laluna pedih. Namun, saat ini hatinya jauh lebih pedih. "Ma-af." Tanpa menunggu jawaban, Laluna kembali membawa selimut dan bantal. Meringkuk di kamar gelap tempat putranya terlelap. "Kamu baik-baik saja Laluna. Kamu baik-baik saja." Mulutnya tak berhenti mengulang frase itu. Meyakinkan diri bahwa tak apa menghadapi serangan ingatan itu seorang diri. Suaminya sudah terlalu sering membantunya. Sesak itu mengumpul menjadi satu. Membuat rongga d**a terasa penuh dan sulit mengisi udara untuk melegakan rasa. Napas memburu bersamaan dengan air mata yang berderai. Membasahi pipi dan sarung bantal. Bahkan sesak itu mendesak hingga ulu hati ikut terasa nyeri. Laluna kembali memejamkan mata. Ia mulai mengobati dirinya sendiri. Mengusap lembut lengan kirinya dengan tetap memeluk bantal. Mengatur ritme napas bersamaan dengan lembut belaian yang ia berikan. Perlahan dan pelan-pelan ia berhasil mengatur napas. Detak jantung tak beraturan mulai berkurang. "Kalau memang kau akan datang, silakan. Malam ini akan kuizinkan kau hadir di sini," ucapnya lirih dengan tetap membelai lengan kiri. "Aku siap bertemu dalam mimpi." Mata Laluna sempurna terpejam. Bayangan cahaya menyapanya. Siluet tubuh ramping dan tinggi menjemputnya. Kini ia berada di sebuah tepian danau dengan bintang dan bulan tampak begitu jelas. Sebuah tempat yang baginya tak asing. Laluna dengan rambut sebahunya terus mendekat pada sosok itu. Ia mengulurkan tangan dan mencoba meraihnya. Ujung kuku miliknya ia sentuhkan di jaket tebal milik laki-laki yang dari belakang sangat ia kenali. Laluna terperanjat. Tidak mungkin ia bisa menyentuhnya. "Kaisar," ucap Laluna lirih. Laki-laki dengan jaket tebal di tubuhnya berbalik. Memberi senyum terhangat yang begitu mendamaikan. "Hai, Laluna." Sontak Laluna membekam mulutnya. Tak mungkin ia bertemu Kaisar pada usia muda. Persis saat ia bertemu dulu. Laluna pun memeriksa dirinya. Ia masih mengenakan pakaian tidurnya. Mimpi, ia sedang bermimpi sesuai dengan ucapannya tadi. "Ayo, kita pulang." Kaisar mengulurkan tangan. Mengajak Laluna pergi dari tepian danau. Tangan Laluna ingin meraihnya. Ia tak mampu hidup tanpanya. Namun, sebuah suara aneh memekakan telinganya. "Lun, Luna!" seru seorang pria. Laluna memegangi telinganya. "Kenapa, Laluna? Ayo kita pulang," ucap Kaisar. Kini tangan Kaisar tepat menyentuh jemari Laluna. Perempuan dengan pakaian tidurnya terpinga-pinga. "Ini mimpi, bukan? Aku sedang bermimpi, 'kan? Tidak mungkin kita bisa bertemu." Kaisar kembali tersenyum. Senyum yang memenangkan hati Laluna. "Kamu itu aneh-aneh aja. Kita lagi camping, Lun, waktunya pulang ke tenda." "Tapi tempatku tak di sini Kaisar. Aku sudah pindah lama. Dan ini kampung halaman kita." Kaisar semakin mendekat. Ia meraih kedua tangan Laluna. "Di sini ada dua jalur Laluna. Sebelah kiri dan kananmu. Yang kiri adalah tempat saat kamu datang tadi. Sebelum aku menjemputmu kembali. Sedang yang kanan adalah tempat pulang menuju rumah kita. Kamu mau pilih yang mana?" "Rumah kita? Apa kita tinggal bersama?" Laluna berusaha mengonfirmasi ingatannya. Kaisar terkekeh. "Lama gak pulang, kamu jadi lupa, ya. Rumah kita, 'kan berdampingan, Laluna. Ayo cepat. Kita gak sempat kemasi tenda. Keburu pagi." Laluna mematung. Ia mendapat serangan bingung. Kembali gendang telinganya mendengar suara aneh. "Lun, Laluna, bangun! Bangun istriku!" "Aw, sakit," seru Laluna dengan memegang telinga. "Kenapa? Kamu baik-baik aja, Lun?" Dengan cekatan Kaisar ikut menutup telinga Laluna. Ia selalu melindungi gadis yang sebentar lagi menjadi mahasiswi. Laluna menggeleng. Ia tak tahu pasti apa yang ia alami. "Dah, ayo balik dulu." Kaisar melepas resleting jaket tebalnya. Ia menutupi tubuh Laluna yang hanya mengenakan pakaian tidur berlengan pendek. "Bisa beku, kamu Lun. Lagian jaket pakai ditinggal segala." Kaisar merengkuh Laluna. Membiarkan perempuan dengan rambut sebahu itu berada lebih dekat dengannya. Kembali terdengar suara aneh di gendang telinga Laluna. Namun, kehangatan yang diberikan Kaisar jauh lebih menentramkan. Ia tak ingat lagi di mana dirinya berdiri. Mimpi dan realita tak ada bedanya. *** Mia tertegun dengan cerita pendek yang barusan ia baca. Setidaknya mengurangi kejenuhannya pagi ini. Setelah hampir semua hal ia lakukan, masih saja ia tak melihat Akram mendekatinya. Apa memang suaminya tak peka? Atau terlalu sibuk dengan aktivitasnya? Atau angannya sendiri yang terlalu tinggi? Mia menutup laman salah satu platform membaca berwarna ungu berlogo kuda poni. Kadang, ia asyik membunuh waktu. "Lagi apa kamu?" tanya seseorang dari sambungan udara. "Di rumah." "Rumah ibu?" "Tumahku." "Sudah pindah?" Mia menghela napas panjang. Pindah dalam arti yang tidak sebenarnya. Ia hanya diminta menempati. "Iya." "Ada masalah? Kenapa suaramu berat begitu?" "Nggak ada." "Jangan bohong, Mia. Kentara sekali." "Sok tau." "Eh berani meledek kamu?" Mia pun terkekeh. Kadang melakukan panggilan suara semacam ini membuatnya merasa tidak sendirian. Ada orang lain yang masih mau mendengarkan. "Jam berapa di sana? Dini hari kah? "Iya. Baru jam dua." "Nggak tidur?" "Lagi nggak bisa." "Ujian beres?" Sejenak jeda keheningan tercipta. Orang yang menelepon Mia tidak langsung menjawab. "Kenapa diam? Masih tidak mau pulang?" "Hmmmm...hanya belum mau saja." "Padahal mau Mia kenalin." "Sama siapa? Suamimu?" Mia mengangguk. Meski mereka tidak bertatap muka, ia tetap melakukannya. "Ya. Suamiku." "Mentang-mentang pengantin baru." "Kenapa memangnya?" "Mau pamer ceritanya?" "Nggak lah. Nggak begitu. Waktu nikah kan nggak bisa datang." "Ada yang penting." "Mengalahkan keluarga sendiri?" "Huammmmmm kenapa mataku jadi berat?" "Hmmmm. Mau menghindar." "Aku tutup, ya. Lain waktu telpon lagi. Salam buat bapak ibu kalau kamu pulang." "Ya." Panggilan terputus. Mia mengulas senyum seraya menutup ponselnya. Ia menghela napas panjang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD