Bab 5 : Kelinci dan Bunga

1222 Words
Orang yang mengejar dua ekor kelinci akan kehilangan keduanya. -Konfusius- *** Satu minggu sebelum proses seleksi posisi Chief of Store untuk Betamart, Akram menemukan cuitan itu pada laman media sosialnya. Membuatnya berpikir sejenak. Berusaha memaknai susunan kalimat yang ada lewat pemahaman sempit yang ia punya. Intinya mengharapkan dua hal besar dalam hidup agar berjalan sekaligus memang bukan sebuah kemustahilan. Namun, hal itu pasti syarat akan pengorbanan. Pilihan terpahit adalah kehilangan keduanya.  Akram menggenggam erat formulir yang diambil dari Mas Danang. Meragu untuk beberapa menit sebelum memberikannya pada Mas Danang untuk ditandatangani. Kini, bahkan ia memiliki tiga kelinci yang sama-sama ingin ia tangkap dengan satu jala serta satu cara. Risiko terbesarnya adalah ia kehilangan semuanya.  "Sini, Kram!" seru Mas Danang menyadari Akram sejak tadi berada di depan ruangannya. "Ya, Mas." Perlahan Akram masuk ke dalam. "Sudah ditandatangani?" tanya Mas Danang memperhatikan gerak gerik Akram. Akram pun mengangguk. Ia menyerahkan formulir itu. "Saya mau coba dulu, Mas." "Bagus. Memang harus begitu, Kram. Sabtu besok jangan sampai terlambat. Jam sepuluh sudah harus sampai di kantor pusat." "Semarang, Mas?" Mas Danang mengangguk. "Ya. Deket Tembalang." Akram tak terlalu kaget. Ia sudah tahu sebelumnya di internet soal kantor pusat Betamart yang berada di lokasi itu. Namun, soal jadwal yang dimajukan baru ia dengar. "Khusus Betamart seleksinya tidak hari senin. Karena jarak yang cukup jauh, karyawan dari sini ikut seleksi hari sabtu. Kamu sama Rios ikut yang itu."  Akram memgembangkan senyum. Satu kelincinya ternyata semakin dekat menuju kandang. Kali ini keberuntungan datang dengan sendirinya. Hatinya berseru riang. Salah satu bagian dari strategi yang dibuat oleh Akram adalah menuju Semarang untuk mengambil dua kelinci sekaligus. Ia memang berencana mengikuti seleksi juga bertemu dengan Nasha. Hebatnya lagi kabar terbaru yang ia terima, sabtu minggu kuliah Nasha free. Jika Nasha berkenan, ia akan mengajak kekasihnya itu pulang sekalian.  "Baik, Mas. Ehmmmmm, saya boleh minta tolong, nggak, Mas?" tanya Akram cukup canggung. Tak biasanya ia meminta bantuan pada orang lain. "Apa, Kram?" "Tolong rahasiakan ini dari keluarga saya, ya, Mas. Kalau semisal Kak Dania atau ibu saya tanya, jawab saja saya sedang ikut ambil barang." Mas Danang mengerutkan kening. "Ambil barang? Bagaimana bisa, Kram?" "Mas Danang, 'kan sering bepergian. Anggap saja saya dan Rios ikut, Mas. Saya minta tolong. Karena pasti saya sampai rumah larut malam. Bisa, Mas?" Akram menggaruk tengkuk. Ia tak yakin apa itu bisa. "Kenapa begitu? Jangan-jangan kamu nggak ijin lagi?" Mas Danang mengacungkan telunjuknya pada Akram.  "Belum, Mas. Kalau belum pasti lolos dan tidaknya saya belum berani bilang." "Oh, mau kasih surprise?" Akram mengangguk. Entah itu surprise atau apa namanya yang pasti ia belum bisa berterus terang pada keluarganya. Ibunya masih sebatas mengizinkan ia bekerja di Betamart sebagai Crew Store. Bukan yang lainnya.  "Kram, Sini!" seru Rios begitu Akram keluar dari ruang kerja Mas Danang. Dari ekspresi sahabatnya itu, Akram menduga kalau Rios melakukan kesalahan. Pasti ia yang harus membereskan. Akram pun melangkah cepat menghampiri sahabatnya. "Ada apa?" tanyanya santai. "Ibu kamu di depan. Nungguin dari tadi."  Seketika mata Akram membola. "Ibuku?" Rios mengangguk. "Buruan!Takutnya ada yang genting."  Akram kelabakan. Hal yang cukup mengejutkan baginya. Rios pun sedikit mendorong tubuh sahabatnya itu ke depan agar segera keluar dari area toko. Akram berlari kecil melewati etalase sembari memfokuskan diri agar tidak menabrak orang lagi. Pintu kaca bagian depan toko ia tarik untuk menemui ibunya di teras Betamart. "Ada apa, Bu?" tanya Akram tergesa. Tak biasanya ibunya datang tanpa pemberitahuan. Yurika tersenyum. Ia memandang mesra putranya dengan seragam Betamart itu. "Kebetulan Ibu lewat. Kepikiran kamu." "Kepikiran?" tanya Akram semakin heran.  Yurika pun mengangguk. "Nanti pulang jam berapa?" "Sebelas malam, Bu. Minggu ini Akram jatah shift sore."  "Oh, begitu? Ya udah nggak apa-apa. Ibu tunggu di rumah, ya."  Yurika terus menebar senyum yang membuat jantung Akram berdegup lebih kencang. Adrenalinnya terpacu. Pasti karena ada sesuatu. "Ya udah kalau begitu Ibu, balik, ya," ujar Yurika sambil menepuk lengan putranya. "Naik apa, Bu?" "Ojek. Bapak kamu masih di balai desa. Nggak bisa nganter ke mana-mana." Akram ingin mengantar tapi jelas tidak bisa. Waktu sudah cukup sore, toko pasti akan sangatvramai. "Ibu bisa sendiri, Kram. Santai aja." Yurika tahu bagaimana sikap putranya. "Maaf, Bu." "Udah sana."  Yurika menyodorkan punggung tangan. Akram menerimanya seraya mencium punggung tangan itu. Yurika pun mengakhiri sesi pertemuannya dengan putranya. Ia memastikan apa yang ia lakukan bisa dilihat oleh dua orang yang memantaunya di dalam mobil dari jarak tak begitu jauh.  Pagi tadi di luar dugaan nomor tak dikenal masuk ke ponselnya. Memberitahukan bahwa orang tersebut ingin bertemu untuk memastikan sesuatu. Calon menantunya ingin melihat Akram tanpa perlu ketahuan. Begitu bunyi pesan yang ia terima.  Yurika berbalik. Ia mengembangkan senyum yang ditujukan khusus untuk dua orang di dalam sana. Sementara Akram hanya bisa menatap heran.  "Aneh," ujarnya sambil berjalan kembali ke toko. Kedatangan ibunya secara tiba-tiba membuat konsentrasi Akram terpecah. Ia ingin segera mengakhiri sesi kerjanya kemudian bertanya pada Kak Dania. Mencari informasi tentang sosok perempuan yang bernama Mia. Sudah satu minggu berlalu sejak pengumuman rencana sang ibu, ia memang belum tahu info lebih dalam terkait rencana pernikahan. Berbeda dengan kedua kakaknya yang langsung mendapatkan lamaran dari laki-laki pilihan ibunya.  "Kadonya gak bisa dibeli, Kram. Bisanya dilamar." Ucapan sang ibu kembali terngiang. Itu artinya ia yang harus bergerak sendiri mengambil kado itu. Apa karena dia diam dan tak berminat sama sekali maka ibunya hanya menunggu? Tak melakukan apa-apa seperti perlakuan untuk kedua kakaknya? Akram memegang pelipis. Ia bahkan tidak berpikir sampai ke arah sana. Tentang dia yang laki-laki dan harus bergerak sendiri. Sebuah kemalangan yang lebih malang dibandingkan apa yang terjadi pada Kak Dania dan Delia rupanya. Di sini ia dituntut harus lebih banyak berperan. Pintu ruangan khusus karyawan Betamart terbuka. Rios melangkah masuk setelah selesai membereskan barang-barang. Pekerjaannya terhambat karena hilangnya Akram. Rupanya sahabatnya itu tengah melamun di dekat loker. "Parah kamu, Kram! Aku cariin dari tadi." "Sorry, bagianku udah beres dari lima belas menit lalu." Tak terima dengan tatapan sepihak Rios, Akram meralat dugaan Rios. "Iya, ngerti, aku. Harusnya bantuin bagianku, lah!" Akram menggeleng. Ia sedang tidak dalam mode nyaman untuk menawarkan bantuan. Pikirannya tiba-tiba dipenuhi dengan banyak pertanyaan terutama tentang sosok Mia. "Woi! Yang ngomong di sini, woi! Hp mulu." Akram mengempaskan tangan di udara. Ia sedang tidak ingin diganggu sebenarnya. Sejak tadi fokus menatap layar ponsel. "Cari apa, sih?" tanya Rios penasaran. Lehernya sudah memanjang, mengintip aktivitas Akram. Matanya membola melihat kelakuan sahabatnya. "Ngapain liatin chat karang taruna, Kram? Nyari apa di sana?" Akram tak menjawab. Ia masih berusaha menggali informasi sebisanya. *** Di dalam Mobil "Belum halal, Nduk. Ingat," ujar perempuan setengah baya yang juga menyaksikan interaksi Yurika beserta calon menantunya. "Eh, maaf, Bu."  Miana Agya--gadis berusia sembilan belas tahun yang belum lama pulang dari kegiatan menuntut ilmunya di salah satu pondok pesantren. Memutuskan belajar di lingkungan itu terhitung sejak kelas dua SMP. Ia pulang karena permintaan sang ayah agar ia segera menikah. Meneruskan usaha ayahnya sebagai juragan rempah. Mia menundukkan pandangan begitu sadar sudah melihat Akram terlalu lama. Ia malu saat sang ibu diam-diam juga memerhatikan tingkahnya. "Sabar ya, Nduk. Lima hari lagi kalian bisa ketemu."  Mia mengangguk. Ia bahkan sudah bertemu Akram sebelumnya tanpa sengaja. Di dalam Betamart saat ia membeli snack. Tak hanya itu saja, sejatinya ada pertemuan lain yang hanya ia simpan sendiri dalam ingatan. Tak seorang pun mengetahuinya. Mia perlahan mengangkat kepala. Melihat punggung Danial Akram yang masuk kembali ke toko itu. Hatinya berdesir lirih.  "Dia … calon imamku," gumamnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD