Sebuah rasa takut tidak akan pernah muncul saat apa yang ditakutkan tak nampak di depan mata. Namun, saat hal yang menjadi pemicu mulai menampakan diri, dengan mudah perasaan itu menguasai.
****
Lampu temaram beserta ruangan nyaman menjadi saksi hancurnya perasaan Danial Akram. Ia yang selama ini memanipulasi fakta akan perbedaan kelas sosial antara dia dan Nasha mulai tersadar.
Pertanyaan laki-laki bernama Hilmi menjadi pedang tajam yang menusuk di palung hati terdalam.
"Ehmmmmmm, anak Magelang. Udah kerja ya, Kram," ucap Nasha mewakilinya menjawab pertanyaan dari Hilmi.
"Cuma lulusan SMA? Kerja apa emangnya?" Pertanyaan lanjutan yang membuat Akram semakin tersudutkan.
Nasha tampak bingung. Tidak mungkin berkata jujur atas pertanyaan itu tanpa persetujuan Akram. Gadis itu pun menoleh. Akram mengulas senyum. Ia tahu betul Nasha butuh kerjasamanya.
"Crew Store di swalayan. Hari ini datang untuk seleksi Chief of Store," jawab Akram tanpa mengada-ada. Memang itulah pekerjaannya.
"Ohhhh, IndoApril?" tanya Hilmi lagi dengan gestur semakin meremehkan. Ia yang memiliki segalanya tentu memandang rendah pekerjaan seperti itu.
"Betamart."
"Betamart? Ayahku kerja di sana juga. Di kantor pusatnya," sahut Risa di tengah obrolan Hilmi dan Akram.
"Ah, iya. Ayah kamu di sana. Ayahku juga, kan, Sa?" Hilmi mengulas senyum. Entah dengan tujuan apa.
Risa mengangguk. "Betul. Ayahnya Hilmi yang punya Betamart malahan."
Kini Akram benar-benar tahu diri. Ia berada pada jalur yang memang berbeda dengan tambatan hatinya. Harusnya tak perlu menjelaskan apa pekerjaanya pada orang-orang yang sudah pasti tak bisa memahami sama sekali.
"Aku keluar dulu, Sha. Sekalian cari mushola. Belum asharan." Akram menunjuk penanda waktu di pergelangan tangan kanan.
"Mau aku anter?"
Dengan cepat Akram menggeleng. "Nggak usah, Sha."
Senyum canggung yang menghias wajah Nasha memperjelas semua. Ada penghalang yang begitu nyata di depan mereka. Tatapan dari lelaki yang belum lama ini mendekatinya secara intens membuatnya semakin tidak nyaman.
***
Akram meninggalkan semua urusan dunianya saat memulai gerakan takbir. Ia hanya ingin memusatkan diri pada pencipta yang menggenggam segalanya. Tentang semua rasa yang kini berkecamuk di d**a.
Lepas mengucap salam, Akram tak mengutarakan doa panjang. Waktu senja sebentar lagi tiba. Ia harus kembali ke rumahnya segera. Jika rencana awalnya adalah membawa Nasha, tidak setelah pertemuan mereka. Akram tahu diri. Ia tak diharapkan lagi.
Nasha sudah menunggu di luar mushola. Gadis itu memberi tanda pada Akram bahwa ia menunggu sejak tadi. Akram pun buru-buru mengenakan sepatu seraya berjalan mendekat.
"Mau solat juga?" tanya Akram tidak relevan. Waktu sudah sangat sore. Pasti Nasha sudah menunaikan kewajibannya.
"Enggak."
"Terus ngapain?"
"Nungguin biar ada waktu buat ngobrol." Nasha salah tingkah. Ia tak tahu apa langkahnya sudah tepat atau belum.
"Aku mau langsung balik, Sha. Biar nggak kemalaman pulangnya." Akram entah karena apa merasa tidak nyaman kalau harus mengajak Nasha pulang. Pasti gadis itu sedang sibuk belajar. Akram tidak mau mengganggu.
"Hmmm. Gak jalan-jalan dulu?"
Akram tersenyum tipis. Jalan-jalan hanya ada di benaknya beberapa waktu lalu. Sekarang … tidak lagi.
"Lain kali aja, Sha, kalau emang ada rencana buat jalan berdua. Hari ini aku ikut seleksi, kamu lagi belajar kelompok sama temen-temen. Bukan waktu yang tepat," ujar Akram. Mereka sudah hampir sampai di area kafe yang semakin ramai.
"Loh, kok, belok, Kram? Nggak masuk lagi?" tanya Nasha saat Akram justru berjalan ke arah parkiran.
Akram menilik sebentar jam tangannya lalu mengamati wajah Nasha yang mulai tertempa senja. Ada gurat ragu saat harus mengakui bahwa mereka sepasang kekasih sejak lama. Bahkan, untuk berbicara seperti biasa, Akram kesulitan.
"Kamu marah, Kram?" tanya Nasha kemudian menyadari perubahan sikap Akram. Tak biasanya Akram menduakan dirinya dengan waktu. Apalagi dengan dalih terburu-buru.
Akram mengulas senyum.
Marah? Bahkan ia merasa tak pantas untuk marah. Siapa dirinya sampai berhak marah?
"Maaf. Aku tidak bermaksud menyembunyikan hubungan kita. Aku cuma bingung mau ngomongnya dari mana."
Nasha membuka percakapan berat itu. Sudah lama ia ingin mengungkapkan semua. Namun, tak menduga dengan cara seperti ini. Ia dengan sadar menyebut Akram hanya sebatas teman. Memang cukup keterlaluan.
"Aku … Aku nggak enak sama Hilmi, Kram. Dia naksir aku juga soalnya." Dengan enteng Nasha menyebut nama Hilmi dan membeberkan kedekatan mereka. Tanpa memikirkan perasaan Akram sama sekali.
"Dia anak pemilik Betamart. Aku takut dia mengejekmu," lanjut Nasha. Ia memang memikirkan itu.
Akram tetap fokus melihat Nasha yang cantiknya tidak berubah. Gadis itu selalu berhasil membuatnya jatuh hati berkali-kali. Namun, kali ini Akram mengerti sedalam apa sejatinya perasaan mereka.
"Selain itu apa, Sha?" tanya Akram ingin tahu maksud terdalam ucapan Nasha.
"Apanya apa, Kram?"
"Apa yang mau kamu sampaikan? Yang sebenarnya dan sejujurnya." Ada getar di ujung kalimat Akram. Ia cukup takut mengetahui kenyataan. Seperti dulu sebelum kecelakaan itu.
"Aku nggak akan ngomong duluan, Kram. Aku nggak mau bikin kesalahan yang sama." Nasha menatap iba kaki kiri Akram. Permintaannya dulu menjadi sebab kecelakaan itu.
Tubuh Akram menegang. Ia ingat betul apa yang disampaikan Nasha kala mereka bertemu dan akhirnya saling meninggalkan di rinai hujan sore itu. Kalimat yang membuatnya marah karena tidak terima ditinggalkan begitu saja. Namun, sekarang ia bukan siswa kelas tiga SMP lagi.
Akram mendesah. Dulu ia masih sangat kekanakan dan payah. Kali ini harusnya ia satu tingkat lebih dewasa.
Akram mulai memikirkan kata terbaik untuk mengakhiri sebuah hubungan yang terjalin cukup lama.
"Biar aku yang bilang, Sha. Biar kamu tidak terbebani."
Tak perlu menjelaskan sampai dua kali. Nasha yang terdiam sudah paham dengan kalimat singkat yang Akram berikan. Memang itu yang ia harapkan. Berakhir tanpa perlu ia yang meminta dan membuat luka pada hati Danial Akram--sahabat terbaiknya.
Pada akhirnya semua berjalan sesuai dengan apa yang telah digariskan. Sejak awal mereka berikrar, mereka sama-sama tahu sulit melanjutkan cinta monyet itu ke hubungan yang lebih serius. Namun, tetap saja yang namanya putus cinta pasti menyisakan luka. Baik bagi Danial Akram maupun Nasha.
Akram berbalik. Membawa perasaan itu beserta deru motor yang melaju. Kembali ke kota tempatnya berada untuk hari-hari panjang yang kini berbeda.
***
Alarm di ponsel Akram sudah berbunyi sejak jam empat pagi. Namun, di hari libur seperti ini ia enggan membuka mata. Ia memilih mematikan suara kencang itu, seraya menarik selimut.
"Udah mau subuh, Kram! Kamu nggak bangun?!" seru Yurika yang memang terbiasa bangun lebih pagi. Menyiapkan apa saja di rumahnya.
"Di rumah dulu, Bu. Akram capek," sahut laki-laki berpendirian lurus itu. Hatinya sedang patah. Semangatnya tentu tak lagi sama seperti sebelumnya.
"Kok begitu, Kram?"
"Nggak begitu-begitu, Bu. Akram masih ngantuk." Kali ini Akram menaruh bantal untuk menutup kepalanya. Ia sedang tidak mau diganggu.
Yurika menatap heran daun pintu kamar putranya. Semalam Akram pulang cukup larut dengan wajah lelah. Saat ditawari makan malam putranya juga tidak mau. Langsung masuk kamar tanpa keluar lagi. Bahkan tak tampak membersihkan diri. Yurika hanya menggeleng. Ia melanjutkan niatnya menuju dapur rumah mereka.
***