THJ 005 || Menerima

2013 Words
Gia menatap pintu yang perlahan terbuka menampilkan sosok besar Alfonzo dalam balutan turtleneck hitamnya, pria itu melepaskan rolex dari tangan kanannya kemudian melepaskan cepat turtleneck-nya, ia menatap Gia kala atasannya sudah tak tertutupi sehelai benangpun. "Kenapa? Bukankah kita sudah memiliki kesepakatan?" "Em, ya terserah saja." "Tidurlah, jangan anggap aku ada apabila itu membuatmu terganggu," ucap Alfonzo seraya berjalan menuju kamar mandi untuk mencuci wajahnya sekilas. Pria itu kembali keluar dan menatap Gia yang sedang duduk tepat di tengah ranjang, langkah kaki Alfonzo mendekat menuju ranjang dan duduk tepat di tepi ranjangnya maniknya menatap wajah Gia yang tampak lebih baik dari pada kemarin sesaat setelah ia membawanya dari New York. "Kau tak menolakku lagi?" tanya Alfonzo dengan suara rendahnya menatap Gia lekat. Wanita itu menggelengkan kepalanya seraya menyampirkan helaian rambutnya ke belakang telinga. "Aku hanya mencoba berdamai dengan takdirku, aku mencoba untuk menerimamu ke dalam hidupku, aku mencoba melupakan masa laluku dan fokus untuk segera bebas dari cengkeraman mu." "Well, aku cukup tertarik dengan pemikiran mu. Kau tampak dewasa Gia, aku suka. Tapi satu pertanyaan masih mencongkol di dalam otak dan benakku." "Apa?" "Apa kau mencintai pria lain? Ya maksudku sebelum bertemu dengan ku, aku dengar kau dijual oleh kekasihmu sendiri, right?" "Aku... " "Well, jika kau tak bisa cerita tak apa. Aku tak akan mengganggu masa lalumu seperti yang kau katakan tadi." "Terimakasih, bisa kita tidur sekarang?" ucap Gia dengan menundukkan kepalanya sungguh pertanyaan Alfonzo tadi begitu mengganggu perasaan Gia saat ini, ya. Ia sudah mencintai pria itu bahkan sangat mencintainya, Leonardo. Gia merebahkan tubuhnya menghadap dinding dalam artian ia memunggungi Alfonzo, wanita itu hanya berusaha beradaptasi dan tak menolak pria yang sudah membelinya ia hanya mencoba berdamai dengan takdirnya yang begitu pahit. Malam berganti pagi, kini kelopak mata Alfonzo terbuka lamat-lamat, pria itu menatap ke samping dimana Gia masih asik bergelung dengan selimut tebalnya. Ia mendudukkan tubuhnya dan menggeliat pelan, pria itu kembali menatap wajah damai Gia kemudian setelah dirasa cukup puas menatap Gia ia pun beranjak keluar dari selimut. Alfonzo berjalan keluar dari kamarnya dan berjalan menuju pantry, ia meraih segelas air kemudian meneguknya hingga tandas. Pria itu kembali merenggangkan otot tubuhnya sebelum memulai acara masaknya. Ia merah bahan-bahan makanan kemudian mulai membuat masakan untuk Gia, ini adalah hal yang sangat tabu dilakukan oleh seorang Alfonzo, pria itu memasakkan makanan untuk jalangnya?! Hell apa yang sebenarnya sudah Gia lakukan hingga Alfonzo bisa selemah ini?! "Al?" "Hm?" sahut Alfonzo seraya membalikkan tubuhnya dan menemukan Gia yang berdiri dibelakangnya dengan kening yang mengerut. "Kau memasak? Tapi untuk siapa?" "Untuk kita." "Ha?" "Tunggu dan duduklah jangan banyak bicara. Aku memasak karena para maid akan aku liburkan pada hari minggu sengaja agar mereka bisa berkumpul dengan keluarganya." "Kau baik." "Terimakasih atas pujianmu, tapi itu memang sudah biasa keluarga ku lakukan pada para maid-nya." Alfonzo berbalik seraya membawa hasil masakannya, ia meletakkan masakannya tepat di depan Gia dan duduk tepat dihadapan wanita itu. "Makanlah, maafkan aku jika rasanya kurang," ucap Alfonzo dibalas anggukan pelan dari Gia, wanita itu langsung menyantap masakan dari Alfonzo dan menatap si empu makanannya. "Ini enak sekali!" seru Gia dengan wajah berbinarnya. "Syukurlah jika kau suka." "Astaga, aku tak sangka kau bisa memasak seenak ini." "Jangan lihat seseorang dari luarnya saja, mungkin jika kau tak mengenalku lebih kau akan mendapat kesan bahwa aku ini adalah orang yang pemaksa namun jika kau menjadi salah satu bagian dari jiwaku kau akan temukan sifat asliku." "Siapa yang kau maksud? Apa kau memiliki kekasih? Calon istrimu maybe?" "No aku tak memiliki kekasih sejauh ini, kau tau. Kami pria Italia lebih memilih hubungan semalam atau hubungan seperti kau dan aku, kami cukup hati-hati untuk memilih pasangan. Kami tipikel pria yang masih suka bermain-main apabila kami sudah puas baru kami akan ke tahap yang lebih serius." "Well, aku sudah menduganya. Kalian tampak mudah sekali mempermainkan wanita." "Tapi aku menemukan seorang pria Italia yang sama sekali tak pernah bermalam dengan jalang atau sejenisnya, ia begitu sangat dikagumi orang banyak ia panutan ku." "Siapa dia?" tanya Gia antusias. "Dia_" ucapan Alfonzo terpotong oleh suara dering ponselnya, pria itu menempelkan jari telunjuknya pada bibirnya pertanda agar Gia diam tak bicara. "Ya, ada apa Mr. Jack?" "Ada dimana kau sekarang Alfonzo?" "Yah, aku di... Kantor!" "Seriously?" "Ya, tentu saja ini pukul delapan pagi aku memang sudah berada di kantor, memangnya ada apa Mr. Jack?" "Aku sedang dijalan akan segera landing ke Roma, aku ingin kita segera bertemu untuk membicarakan sahamku atas Victory Bank milikmu." "Oh sure! Aku akan dengan senang hati menyambutmu, perlukah aku menjemputmu Mr. Jack?" "No, aku akan pergi dengan suruhanku Al." "Baiklah sampai jumpa di kantor Mr. Jack." "Ya." Alfonzo mematikan sambungan teleponnya sepihak, pria itu menatap Gia yang masih asik dalam acara makannya. "Aku harus segera ke kantor, kau bisa kan lakukan hal lain di sini ... Kau bisa bebas malakukan apapun disini, tapi tentu saja kau tak akan bisa keluar dari area mansion." "Ya, aku mengerti." "Bagus, aku mandi dulu," ucap Alfonzo meninggalkan Gia di dalam pantry dengan mulutnya yang tersumpal makanan hasil masakan Alfonzo. Sedangkan pria itu menaiki tangga dengan cepat dan berhenti tepat di kamarnya ia memasuki kamar mandi dan memulai ritual mandinya, setelah selesai ia langsung memasuki walk in closet untuk berganti pakaian, pria itu meraih jas biru dongker dengan kemeja hijau tua miliknya. Alfonzo kembali keluar dari kamarnya dan menatap Gia yang tengah menonton acara TV di ruang tengah, Alfonzo mendekati wanita itu kemudian menepuk pelan bahu Gia. "Aku akan pergi, diam di mansion jangan lakukan hal bodoh yang akan berakibat buruk pada dirimu sendiri. Ingat, keselamatan orang yang kau sayangi berada di tanganku, sekali saja kau berulah nyawa mereka melayang." "Ya, aku paham dan aku mengerti." "Baguslah." Alfonzo membelai sisi wajah Gia kemudian mencium pipi wanita itu, pria itu segera melangkahkan kakinya menuju pintu utama mansion namun panggilan dari Gia mengintruksi terlebih dahulu. "Bisakah kau belikan atau pinjamkan aku telepon? Aku ingin menghubungi saudaraku." "Kau pikir aku bodoh dengan memberikanmu benda itu? Ayolah Gia aku tak mungkin memberikan mu telepon yang akan membuatmu lepas dari diriku sementara aku belum puas denganmu, jadi bicaralah yang masuk akal, aku pergi," ucap Alfonzo tanpa menolehkan kepalanya ke belakang dimana Gia mulai meneteskan air matanya. Mungkin ini memang takdirnya, terjebak di dalam mansion besar bak istana milik seorang Don Alfonzo Renzuis. *** Sore ini entah mengapa Alfonzo membawa beberapa dress dengan merk terkenal untuk Gia, ia bahkan membelikan beberapa sepatu dan tas yang harganya bukan main-main, ia hanya ingin memberikan wanita itu hadiah karena sudah mulai bersikap baik dan tak menentang Alfonzo lagi. Sesampainya di mansion, Alfonzo memberikan kode pada para bodyguardnya untuk mengambil barang belanjaannya dan membawanya ke dalam mansion. Alfonzo menatap sekitar mansionnya dan tak menemukan Gia di manapun, ia bergegas menuju kamar Gia dan ia tersenyum manis saat menemukan yang ia cari tengah membaca buku di sofa panjang yang menghadap tepat ke balkon. "Ku kira kau kabur," ucap Alfonzo datar namun membuat Gia sedikit tersentak, wanita itu segera menutup halaman bukunya kemudian meletakkan buku tersebut tepat diatas sofa sementara dirinya berjalan mendekati Alfonzo. "Kau sudah pulang? Maafkan aku, aku tak bisa menyiapkan makanan untukmu, aku tak bisa memasak," aku Gia dengan menundukkan kepalanya. "Tak perlu kau pikirkan tentang itu, kau sudah makan?" "Belum." "Kenapa?" "Kan aku sudah bilang, aku tak bisa masak." "Baiklah, ayo keluar kita makan bersama. Aku sudah memasan makanan dan mungkin sebentar lagi akan datang." "Benarkah?" "Ya, cepatlah." Gia mengekori langkah kaki tegap milik Alfonzo, wanita itu sesekali tersenyum manis kala Alfonzo tampak menunjukkan wajah garangnya, pria itu kembali mengingatkan Gia pada sosok Leonardo, garang namun sangat lembut. Gia mendudukkan tubuhnya tepat di meja makan samping kiri, sementara Alfonzo duduk tepat di tengah ujung meja makan. Pria itu menganggukkan kepalanya kala seorang bodyguard memberikan makanan pesanannya pada Alfonzo. Pria itu mulai memakan makanannya begitupun dengan Gia, tak ada dari kedua orang itu yang berusaha memecahkan keheningan hanya ada suara sendok dan piring yang saling beradu, manik Gia sesekali mencuri pandang pada Alfonzo, namun pria itu sama sekali tak mempedulikan Gia ia hanya sibuk dengan kegiatannya sendiri. Hingga akhirnya makanan yang tersedia di atas meja makan itu pun habis tak bersisa, Gia menatap Alfonzo yang tengah melap bibirnya untuk membersihkan bekas makanan yang menempel di sekitar bibirnya, sesudah itu Alfonzo menatap Gia kemudian berdehem pelan. "Ada sesuatu yang ingin aku berikan padamu, Gia." "Ya?" Alfonzo menjentikkan jarinya tak lama setelah itu para bodyguardnya datang dengan membawa barang belanjaan Alfonzo untuk Gia. "Ini semua... " "Ya, ini semua milikmu." "Tapi bagaimana bisa, maksudku dalam rangka apa kau memberikan aku semua ini?" tanya Gia dengan kerutan di dahinya. "Tak ada rangka apapun, ini hanya penghargaan karena kau bersedia menurut dan tak menentangku lagi, aku akan berikan hal lainnya jika kau kembali menurut padaku." "Kau serius?" "Ya." Alfonzo mendirikan tubuhnya, ia menatap Gia dengan tatapan yang sulit untuk Gia artikan. "Gia, i want you," lirih Alfonzo seketika membuat Gia terhenyak, wanita itu bahkan tak sadar saat ini tangannya sudah digenggam erat oleh Alfonzo, bahkan pria itu menuntun Gia menuju kamar mereka. Gia? Wanita itu tak bisa menolak Alfonzo, benarkan? Ia adalah jalang milik pria itu, ia harus siap menerima apapun yang akan Alfonzo lakukan terhadapnya tak terkecuali hal ini. *** Alfonzo menatap Gia dengan sendu, ia meraih kain bathrobe kemudian meraih sesuatu dari dalam nakasnya, ia memberikan itu pada Gia kemudian memberikannya pada Gia. "Minumlah Gia, aku tak ingin kau hamil dalam waktu dekat," ucap Alfonzo membuat Gia membelalakkan matanya. Baiklah, jadi ia sudah persis seperti jalang saat ini? Dipakai kemudian dibuang? Bagus sekali! Dengan tangan yang gemetar, Gia meraih pil pencegah kehamilan yang Alfonzo ulurkan padanya, ia meminum pil itu tanpa air ia sungguh tak peduli rasanya, pahitnya kehidupan mengalahkannya atas rasa pahit apapun. "Bagus, pastikan kau tak hamil Gia. Karena jika itu terjadi, aku pastikan kau harus menggugurkannya, aku belum siap menjadi orang tua, maafkan aku tapi aku belum siap untuk status itu Gia." "Ya, aku mengerti." "Baguslah jika kau mengerti maksud ku, kau paham kan? Aku memiliki banyak rival dan aku masih ingin terus berada di puncak kejayaanku tanpa ada kelemahan ku, sedangkan jika kau hamil anakku, maka ia akan menjadi kelemahanku, aku belum siap." "B-bagaimana jika nyatanya aku hamil?" "Seperti yang sudah kau dengar, kau terpaksa harus menggugurkan kandungan mu," ucap Alfonzo kemudian meninggalkan Gia di dalam kamarnya seraya merenung. Sial! Gia bahkan tak meminum pil sialan itu kala si bren*sek Maxime atau pun Alfonzo melakukannya, ia bisa mati jika ternyata ia tengah mengandung salah satu janin dari pria itu! Gia menggelengkan kepalanya, ia tak bisa berpikir jernih, sungguh ia sangat takut saat ini. Pria itu, Alfonzo tak ingin memiliki seorang anak dengannya. Ya, Gia paham ia hanya seorang jalang yang tak mungkin bisa mendapatkan status dari pria seperti Alfonzo terlebih nanti ia pun tak tau anak itu darah daging siapa?! Sialan bukan?! Sementara Alfonzo berjalan melewati lorong menuju kamar pribadi miliknya, ia memasuki kamar itu kemudian menyalakan saklar listrik hingga cahaya lampu menyinari seisi kamar. Maniknya meredup kala melihat lukisan seorang wanita yang tersenyum dengan amat manisnya, ia mendekati lukisan itu kemudian menyentuhnya. "Aku merindukanmu, maafkan aku yang masih suka bertindak bren*sek. Aku tak bisa membayangkan kau meninggalkanku secepat ini Agatha, aku sangat mencintaimu," lirih Alfonzo seraya mengusap lukisan itu, ia menatap manik coklat si wanita kemudian ia berbalik meraih sebotol vodka dan meneguknya hingga tandas. "Aku merindukanmu cintaku, sangat merindukanmu. Setahun ini aku gila, aku berganti-ganti pasangan dan jalang hanya untuk memenuhi kerinduanku terhadap mu, tapi perlu kau ketahui aku heran Agatha, selama ini hanya kau yang menjadi pemuasku, tak ada yang lain apalagi jalang-jalang itu, mereka sama sekali tak membuatku senang. Namun pertama kali melihatnya, aku seakan merasakan desiran itu, desiran kala aku menatap matamu sayang, aku sangat merindukanmu, ia mengingatkan ku akan dirimu. Aku bahkan merasa puas dengan tubuhnya seakan aku melakukannya denganmu Agatha, maafkan aku jika aku salah dan terkesan menduakanmu. Tapi apa aku salah Agatha? Aku merasa aku tertarik dengannya, bukan maksudku melupakanmu percayalah kau berada di dalam sisi hatiku, namamu terukir disana, namun di sisi lain ada nama lain Agatha, maafkan aku namun perlahan ia mencuri perhatian ku, Gia. Dia mencuri perhatianku, Agatha," lirih Alfonzo seraya menangkup wajahnya. •••••
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD