Andra membeku untuk beberapa saat. Pikirannya melalang buana tapi matanya menatap lurus ke arah Jani yang mulai tenang sendiri. Jangankan mengerakkan tubuhnya, untuk bernapas saja. Andra butuh usah ekstra besar. Yang baru saja Jani katakan—tentang perempuan itu yang juga mencintainya—Andra merasa darahnya berdesir hingga mengakibatkan detak jantungnya menggila tanpa ada sebab yang pasti. Sungguh—Andra tahu kalau dia tidak sedang bermimpi. Jani baru saja mengakui perasaannya yang Andra sebenarnya ingin tahu, tapi tidak pernah berani bertanya karena merasa tidak mau terlalu ngoyo jadi orang. “Jan, kenapa nangis sampai gitu?” tanyanya lirih. “Kalau asma kamu kambuh, aku nggak kuat gendong lho?” Andra bisa merasakan Jani yang menghentak-hentakkan kakinya kesal seperti anak kecil di bawah m