Setelah kepergian Regarta, aku tidur lagi dan baru bangun ketika ada yang memencet bel. Masih dengan sempoyongan dan kaki yang sakit aku berjalan tertatih menuju pintu. Sepertinya ini adalah sarapan yang Regarta pesan sebelum berangkat sebab sekarang hampir jam delapan pagi. Aku tidak peduli dengan rambutku yang berantakan dan baju yang acak-acakan, aku pikir yang datang memang pengantar makanan.
Tapi seluruh rasa ngantukku langsung hilang, sekaligus nyawaku rasanya ikut hilang melihat Ayah dan Bunda berdiri kaget di depan pintu melihat aku yang membukakan pintu. Rambutku berantakan, bajuku berantakan dan aku memakai baju Regarta. Selesai sudah nasibku hari ini. Seperti kebiasaanku saat sedag gugup, aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Setelah itu aku merasakan rambutku parah sekali berantakannya tapi aku malu jika membenarkannya di depan mereka.
“Ayah sama Bunda cari mas Rega? Tadi sih udah berangkat sejak jam setengah lima pagi.” Cicitku pelan. Mereka masih diam sambil menatapku, membuatku semakin gugup.
“Bagus! Anak itu ternyata sudah bergerak lebih jauh dari yang di perkirakan.” Gumaman Ayah seketika langsung membuat Bunda memukulnya dengan keras.
“Ayah!” teriak Bunda kesal. Ayah langsung mengatupkan bibirnya sambil tersenyum merasa bersalah.
“Ayah sama Bunda mau masuk?” cicitku lagi. Entah kemana perginaya suaraku. Tiba-tiba hilang sebagian. Ini semua gara-gara Regarta, Boss sialan itu. Gara-gara dia seenaknya membawaku ke Apartemennya, sekarang aku merasa seperti sedang tertangkap basah setelah berszinah. Memang minta di tenggelamkan ke rawa-rawa orang itu.
“Wendy semalam tidur di sini?” tanya Bunda lembut sambil merangkulku masuk, setelah mengakhiri keheningan yang mencekam. “Loh kaki kamu kenapa?” tanyanya akhirnya sadar aku pincang.
“Jatuh dari kursi di kantor pas lembur sama mas Rega, terus pas pulangnya nggak bisa naik sendiri ke Apartemen. Mas Rega nggak mau anterin jadinya Wendy di ajak ke sini. Tapi Wendy nggak ngapa-ngapain kok Bun, sumpah. Wendy Cuma numpang tidur doang soalnya di paksa nginep sama mas Rega.” Akhirnya aku memiliki kesempatan untuk menjelaskan sekalipun saking gugupnya, kalimatku menjadi tanpa titik dan koma. Bunda Lisa mengulum senyum geli. Kemudian meringis tidak yakin sambil melirik ke arah leherku. Dahiku mengerut bingung.
“Kelakuan anak itu pasti Bund, kaya nggak tahu aja jahilnya nggak ketulungan.” Ucap Ayah Santai sambil melipir menuju ke kamar mandi.
“Emangnya kenapa Bund?” tanyaku dengan bodoh. Bunda Lisa kemudian tertawa dan mengambil cermin di tasnya, memberikannya padaku sambil wajahnya menunjuk ke arah leher. Wajahku sudah pasti merah padam sekarang. Ingin mengumpati Regarta tapi tidak berani karena ada orang tuanya. Bagaimana bisa ada kissmark di leherku padahal semalam kami tidak melakukan apapun. Atau jangan-jangan dia yang sengaja melakukannya.
“Yang sabar yah sayang menghadapi Regarta, dia emang nakalnya nggak ilang-ilang dari kecil.” Ucap Bunda Lisa lembut sambil mengelus pundakku. Tapi aku ingin menangis karena malu, kesal dan jengkel. “Jangan nangis, nanti bunda pukul kepalanya kalu dia pulang yah.” Ucap Bunda kembali membujuk karena aku mulai terisak. Tidak bisa aku tahan lagi, akhirnya tangisanku pecah juga. Bunda memelukku degan erat sambil menggumamkan sumpah serapahnya pada anak pertamanya itu. Lihat saja nanti, aku akan memberinya pelajaran. Kurang ajar sekali!
“Bunda nggak lagi nyalahin Wendy atau menganggap Wendy kaya gimana-gimana karena ada di sini loh. Lagi pula Bunda udah lihat kaki kamu lebam-lebam gini. Aduh! Ini ada lecetnya juga? Gimana sih Regarta, jagain calon istri aja nggak becus.” Bunda Lisa malah mengomel sambil terus berusaha menghiburku. Ayah Adrian datang kemudian memberikan aku segelas air.
“Nanti biar Ayah kasih dia pelajaran. Udah jangan nangis lagi yah? Mau Ayah antar ke Rumah Sakit? Kaki kamu bengkak loh itu?” Sikap Ayah juga baik sekali padaku. Terus mengusap pucuk kepalaku karena aku masih menangis. Bunda sendiri sudah memainkan ponselnya, dengan wajah yang kesal. Sepertinya menelpon Regarta tapi tidak di angkat oleh laki-laki itu. “Lihat aja! Bundanya udah kaya mau robohin dunia kaya gitu, dia pasti di jewer. Kamu tenang aja.” Bisikan Ayah Adrian akhirnya membuat aku tersenyum geli dan menghapus air mataku. Setidaknya dua orang ini selalu ada di pihakku apapun yang terjadi. Sekalipun Ayah kadang menyebalkan untuk membentuk karakter anak-anaknya termasuk aku, tapi aku tahu beliau sayang sekali pada anak-anaknya dan padaku.
***
Aku akhirnya sarapan dengan Bunda dan Ayah setelah bunda merapihkan rambutku dengan cantik. Kami banyak mengobrol tentang banyak hal, salah satunya tentang pekerjaan yang memang sedang repot karena hendak menghadapi Season Baru.
“Wendy mau nunggu Regarta di sini? Kayaknya sebentar lagi pulang deh.” Tanya Bunda. Oh tentu saja Big No! menunggu untuk di jahili lagi? Tidak akan! lebih baik aku pulang dan menikmati libur kerjaku dengan nyaman. Nanti aku akan membuat status sindirian untuknya agar dia tahu rasa. Salah siapa membuat tanda di leherku dan terlihat oleh Ayah dan Bunda.
“Wendy sekalian ikut pulang aja boleh nggak Bund? Tapi sedikit ngerepotin soalnya Wendy belum bisa kayaknya ke atas sendiri.” Ucapku tidak enak.
“Boleh dong sayang, di mobil kebetulan ada kursi roda yang biasa di pakai nenek Imel kalau ke Rumah Sakit. Jadi nanti lebih mudah antar kamu ke atasnya.” Jawab Bunda lembut.
“Kalian tunggu di sini dulu, biar Ayah ambil dulu kursi rodanya. Jadi ke bawah juga nggak perlu berdiri dan jalan.” ujar Ayah baik sekali.
“Terimakasih Ayah, Bunda.” Ucapku tulus. Ayah segera beranjak keluar sementara aku akhirnya berduaan dengan Bunda.
“Bund, Wendy boleh bicara soal pernikahan nggak?” tanyaku hati-hati. Bunda tersenyum dan mengangguk.
“Iya boleh dong sayang, kenapa?”
“Wendy sebenernya nggak enak kalau harus nikah sama mas Rega sementara mas Rega punya pacar. Pacarnya juga jadi kelihatannya nggak suka sama Wendy Bund. Gimana kalau di ganti opsi lain saja jangan menikah?”
“Wendy punya pacar?” Bunda malah menanyakan hal lain.
“Enggak sih Bund, tapi mas Rega yang punya.”
“Kalau begitu Wendy nggak perlu khawatir. Lagian sampai kapanpun Bunda nggak akan mau punya menantu Sarah.” Ucap Bunda mengagetkanku. Apakah hubungan mereka tidak di restui? Setahuku dulu Sarah pernah mengatakan bahwa orang tua mereka sudah saling bertemu.
“Tapi Bund, kan kasihan mas Rega kalau harus di paksa putus.” Aku masih berusaha untuk bernegosiasi.
“Kenapa kasihan? Bunda menyelamatkannya dari gadis yang tidak tepat kok kasihan? Harusnya dia berterimakasih dong?” Ucap Bunda lembut.
“Dulu Ayah juga nggak menerima pernikahan dengan bunda kamu, tapi pas Ayah sadar kalau Bunda kamu orang yang tepat, kami akhirnya bahagia kan? Lihat kami sekarang? Kami bahagia bukan?” Ayah Adrian sudah kembali datang dengan kursi roda yang beliau dorong. “Kalau anak bodoh itu nanti membuat kamu terluka, dia berarti belum sadar. Tapi dari gelagatnya kayaknya dia seneng kok mau nikah sama kamu. Jangan khawatir Wendy, setiap pernikahan pasti ada ujiannya, tapi setelah semua yang kamu dan Regarta lalui selama ini, kalian pasti akan baik-baik saja.” Tambah Ayah lagi di angguki Bunda sambil tersenyum. Jika sudah seperti ini maka aku sudah kehilangan kata-kataku. Tidak bisa lagi di bantah.
Kami akhirnya keluar dari Apartemen Berandalan itu dan aku benar-benar di antarkan oleh Ayah dan Bunda sampai kamar. Bunda bahkan menunggui aku hingga aku berganti baju dan naik ke tempat tidur. Beliau berpamitan setelah memastikan posisiku nyaman. Beruntung sekali memang memiliki calon mertua sebaik mereka, seandainya anak mereka tidak seperti Iblis.
“Gara-gara kamu, aku jadi pusing, nggak bisa tidur lagi, kaki sakit, ketahuan Ayah dan bunda punya tanda merah di leher. Ke Neraka aja kamu Iblis j*****m!” aku mengirim pesan pada Regarta setelah Status soal lemburku di komentari olehnya. Artinya dia sudah tidak berada di ruang operasi. Dia langsung mengirim emoticon tertawa yang banyak sekali. Aku kesal sekali.
“Lain kali kalau lembur persiapan bawa baju. Jadinya kalau kemalaman bisa tidur di kantor.” Balasnya tidak tahu diri.
“Siapa yah yang nyuruh lembur dadakan?” balasku jengkel dengan emoticon malas. Regarta kembali mengirimkan emot tertawa yang banyak. Dan balasannya selanjutnya berisi sindirian tentang aku yang membuangnya untuk mempersiapkan masa depanku tujuh tahun lalu.
Sejujurnya aku masih merasa bersalah soal itu. Dia selalu saja membahasnya dalam banyak kesempatan dengan nada bercanda memang. Tapi dari wajahnya aku bisa melihat dia sangat terluka. Ini juga salah satu alasan kenapa aku menjaga jarak darinya. Aku merasa jadi orang jahat yang hadir di hidupnya dan entah kenapa hal itu membuat aku merasa tidak pantas menjadi pendampingnya.
Tapi semua rasa bersalahku buyar saat aku melihat Regarta memposting fotoku sedang ke tiduran saat lembur di kantor dengan caption yang meledek. Menyebalkan sekali memang makhluk satu ini. Aku benar-benar di buat geram.
“Emang punya pacar beneran?” dia kembali mengirimi aku chat setelah aku menyombongkan diri memiliki pacar di balasan postingannya tadi.
“Iya punya, emangnya kenapa?” tanyaku menyombongkan diri. Padahal boro-boro pacar, gebetan saja aku tidak punya.
“Oke, ajak dia ketemu aku minggu ini.”
“Oke, aku pasti ajak dia ketemu kamu kaya yang tadi aku bilang.” Balasku menggebu-gebu. Setelah itu aku menyesali chat emosi sesaatku itu. Harus mencari kemana pacar sewaan?
“Dasar Wendy bodoh!” gumamku pada diriku sendiri. Lalu mendesah dan menjerit kesal dengan di tutupi bantal. Selama lebih dari enam tahun setelah benar-benar tidak berhubungan dengan Regarta saat aku di Paris, hidupku sangat tentram dan tertata rapih. Tapi baru beberapa bulan saja aku bertemu dengannya, hidupku sudah berantakan lagi. Dia memang Raja Iblis pencipta masalah di hidupku. Menyebalkan sekali!
***