Malam ini Ana begitu sibuk sekali. Tugas yang banyak menyita waktunya untuk memikirkan hal lain. Untung saja ia sudah mandi,jadi dia sudah bebas mengerjakan tugas sesukanya.
"Loh,buku catatan sejarah gue mana ya? Kok gak ada?"
Tangannya sibuk membolak-balik buku-buku di meja belajarnya. Ia lalu duduk sambil mengingat-ingat siapa yang terakhir meminjam bukunya itu.
"Sejarah,sejarah,sejarah.." katanya sambil mengingat kembali.
Tiba-tiba dia berteriak dan segera pergi keluar rumah.
"Mau kemana sayang?" Tanya Dinda saat melihat Ana pergi dengan ekspresi seperti ibu-ibu ingin melabrak selingkuhan suaminya.
"Mau kerumah tetangga mah,ngambil buku." Jawabnya seraya memakai sendal pink-nya.
Ana membuka gerbang dan berjalan kedepan rumah.
"Bram....Bram..." Panggil Ana kuat.
"Iya,tunggu bentar ya," Sahut dari dalam rumah.
Bram pun keluar dengan rambut basah dan handuk putih melingkar di lehernya.
"Apa Nana?Tumben banget Lo mau Dateng. Kangen ya? Kok cepet banget? Tapi gak papakok," kata Bram sambil membuka pintu gerbangnya.
Ana membesarkan hidung dan matanya.
"Kangen dari Jonggol? Gue mau minta buku sejarah gue. Mana? Gue mau mencatat." Balasnya garang.
Bram langsung tertawa melihat ekspresi Ana yang lucu menurutnya.
"Jangan marah-marah atuh neng eyis, nanti cepet tua tau. Masuk dulu,mau dibuatin apa? s**u campur cinta ada,jus alpukad hati galau ada,teh manis bergula kangen juga ada,mau pilih yang mana?" Tanya Bram ngaco sambil mempersilahkan Ana duduk.
Ana menggeram sambil meremas tangannya.
"Cepetan ambil buku gue," balasnya tajam.
Bram hanya tertawa lagi lalu pergi kerumahnya.
"Tunggu dulu yah,jangan kangen." Katanya dan langsung lari.
Ana hanya berdehem. Ia duduk tenang dan mulai menikmati keadaan diteras rumah Bram.
Begitu banyak bunga anggrek,lengkap dengan pot berukiran indah menambah kesan yang menyenangkan mata. Sayangnya,suasana dirumah itu begitu sepi. Bayangin aja, rumah besar seperti tak berpenghuni.
Pertama kali dia kesini saat Bram baru pindah.
"Neng eyis,lagi ngapain neng? Haaaaallllooooo,lagi ngapain?Jangan melamun,entar kemasukan tauuu."
Terdengar bisikan suara entah berasal dari mana, tapi sukses membuat Ana merinding. Kepalanya tidak bisa bergerak lagi. Tubuhnya kaku,semakin lama suara bisikan itu semakin halus dan lembut. Ketika Ana menghadap kebelakang,tidak ada orang.
"Ya ampun,ini kan rumah yang udah lama gak ada yang nempatin. Bisa aja penjaganya mulai gak senang karena gue duduk disini." Gumam Ana ketakutan.
Tiba-tiba,
"kikikkikikikiki..." Terdengar suara khas kuntilanak dari balik gorden merah itu.
Semakin lama suaranya semakin menyeramkan. Tiba-tiba,
"Whaaaaaaaaaa"
"Aaaaaaaaaaa,,jangan bunuh gue,iya gue janji gak bakalan marahin Bram lagi. Gue janji gak bakalan noyor kepala Bram pake tempat teh gue lagi," Ana menghadang mukanya dengan tangan yang menyilang.
Sosok itu, alias Bram tertawa terbahak-bahak melihat kelakuan Ana. Ana yang awalnya takut berubah ekspresi menjadi marah.
"Kok elo abstrak banget sih? Makanya kalau berteman itu sama orang yang waras,bukan kayak Koko. Mana bukunya,gue mau pergi." Pekik Ana lancar tanpa titik dan koma.
Wajahnya merah padam. Tetapi Bram langsung menarik tangannya.
"Yah elah,elo mudah bener sih marah. Gue kan cuma bercanda." Ucap Bram lagi.
Ana membelakanginya dengan tangan dilipat didada.
"Elo sih, udah tau gue orangnya seriusan,pake becanda segala lagi," Ana menatap bulan yang ada diatas sana.
Seiring berjalannya waktu,wajahnya kembali seperti semula dan nafasnya mulai teratur.
Bram berjalan ke hadapannya. Lalu memegang kedua tangan lembut milik Ana.
"Ada yang mau gue bilang sama Lo. Penting banget,elo ada waktu gak?" Tanyanya serius.
Ana hanya diam, menerawang dalam mata Bram yang tiba-tiba dingin.
"Bo,boleh." Jawabnya gugup.
"Yaudah,duduk dulu. Ada yang mau gue ambil!" Kata Bram seraya pergi meninggalkan Ana duduk di kursinya.
Tak berapa lama,Bram datang membawa dua gelas kopi dan sepiring roti kering. Ia meletakkannya diatas meja yang menjadi penengah antara mereka berdua. Ana yang udah berhenti marah menjadi kebingungan dan gugup.
"Kok repot banget sih Bram?" Tanya Ana canggung.
"Gak papa kali,kan elo datang hanya setiap bulan purnama. Jadi harus agak spesial dikit," jawab Bram santai.
"Elo mau bilang apa?" Tanya Ana hati-hati.
Bram menoleh kearahnya dan menyeringai seperti vampire yang di film twilight.
"Gak ada,cuma mau ngajak Lo ngelihat malam yang indah ini aja kok." Jawabnya lagi.
Ana hanya menggeram dalam hati. Setelah hening dalam beberapa menit, akhirnya Bram membuka pembicaraan.
"Diminum kopinya? Atau Lo gak suka yah?Biar gue ganti," ujarnya kepada Ana.
"Enggak, enggak usah! Gue suka kopi kok,hanya aja gue sangsi nih kopi ada sianidanya. " Balas Ana sambil menyeruput kopi itu.
"Mmm,enak banget.."
Bram juga menyeruput kopinya,lalu memakan kue kering itu.
" Mana mungkin gue berani buatin Elo sianida,elokan tetangga gue,sebangku malah!" Matanya tak lepas dari Ana.
"Hahahaha,gue jadi malu Lo lihatin begitu," Balas Ana malu-malu.
Bram tersenyum lepas,entah apa yang ada di pikirannya.
"Andai waktu dapat diputar,apa yang akan Lo lakuin?" Tanya Bram lagi, Ana seketika diam lalu menunduk.
"Kenapa Lo nanya gitu?" Tanya Ana balik dengan nafas sedikit sesak.
"Enggak papa,gue pengen tau aja orang-orang disekitar gue itu pengennya apa." Jawab Bram tanpa menoleh kepada Ana.
"Gue mau papah balik lagi," Jawab Ana dengan nada bergetar.
"Gue mau kembali ke masa lalu dan memperbaiki kesalahan gue. Gue mau meluk papa erat dan jadi putrinya yang paling hebat." Katanya lagi,tapi kini air matanya menetes di pipinya.
Bram langsung terkejut.
" Maaf ya Na,gue gak ada niat nyinggung perasaan Lo." Katanya pelan sambil memegang kedua tangan Ana.
Ana mengangguk," iya gak papa kok,gue memang baperan aja orangnya. " Ujarnya sambil tersenyum.
Meskipun Bram melihat ada luka pahit dari balik senyuman itu.
Bram menarik nafas panjang,lalu melipat tangannya.
"Gue juga pernah ngalamin yang elo rasain."
Kemudian melihat Ana yang mulai menghentikan tangisnya.
"Gue dulunya punya adik, hampir sama kayak Lo! Pakai kacamata, rambut lurus, putih, tinggi,pintar,dan cantik kayak Lo..." Bram berhenti sejenak.
Ana dapat merasakan ada ribuan luka yang mungkin jauh lebih pahit dari dalam hati Bram.
Bram menarik nafas lagi. Matanya mulai berkaca-kaca.
" Dulu,gue itu orangnya bandel banget. Gue ikut geng tawuran, merokok, suka bolos,bahkan sering pergi ke klub malam..."
Beeerrrrrrr
Bulu kuduk Ana merinding lagi, tak berapa lama ia agak bergeser. Mata Bram menangkap basah Ana yang bibirnya sedang komat-kamit.
"Elo kenapa?" Tanya Bram santai.
Ana langsung mendongakkan kepalanya dan menjawab sangat gugup.
"Eh,anu,itu,gue, lanjutin aja cerita Lo. Gue memang punya Indra kesepuluh bisa ngomong sama bulan!" Katanya seraya mengambil dan memakan roti kering di meja.
Bram hanya berdehem dan melanjutkan ceritanya.
" Dulu gue itu gak pernah jagain adik gue. Mau dia sakit,gak ada yang jemput atau lagi bermasalah. Gue gak peduli banget sama dia. Mama sama papa juga sama. Mereka jarang dirumah,paling cuma ngambil berkas trus pergi..." Ceritanya terpotong karna Dinda memanggil Ana dari seberang.
Ana berdiri dan berteriak .
" Iya mah,lagi ngerjain tugas sama Bram. Nanti Ana balik cepat kok," katanya sampai suaranya kedengaran kedusun sebelah.
Dinda hanya menganggukkan kepalanya lalu masuk ke dalam.
"Udah,lanjut cerita Lo" Kata Ana seraya duduk.
"Gak papa Na? Nanti gue ngerepotin elo malah!" Balas Bram canggung.
Ana hanya tersenyum dan menggeleng.
"Enggak papa kok, rumah gue kan dekat,lima langkah malah" Balasnya lagi.
Ketika Bram ingin melanjutkan ceritanya,Ana memegang tangannya.
"Tunggu,tunggu.. kalau boleh nanya nama adik Lo siapa?" Tanyanya penasaran.
"Namanya Tasya." Jawab Bram sedikit pelan.
"Ooooo" Ana hanya membulatkan bibirnya lalu balik keposisinya semula.
"Yaudah, lanjut!"
Bram menyeruput kopinya lalu menutup matanya, meresapi setiap detail rasa kopi yang masuk melewati kerongkongannya.
"Gue udah ngelakuin hal terbodoh yang gak bisa gue sesalin. Dulu, sewaktu dia masih kelas dua SMP,gue pernah..." Air mata Bram menetes, membuatnya menghentikan ceritanya dan membuat Ana juga bertanya-tanya.
Ana memindahkan kursinya kesamping Bram. Tangan lembutnya mengelus lembut punggung Bram, meskipun dia sedang mereka-reka kalimat selanjutnya.
Apa yang terjadi?Apa jangan-jangan Bram membunuh adiknya?Atau menganiayanya? Atau malah memperkosa adiknya?
Bram mulai berhenti dan mengatur nafasnya.
"Gue pernah bilang kalau dia itu cewek culun yang gak pantes jadi adik gue. Gue juga pernah ninggalin dia disekolah sewaktu dia melarang gue tawuran. Padahal hujan deras banget. Terakhir,gue gak pulang kerumah. Padahal dia lagi sakit parah." Kata-katanya itu membuat Ana ingin menangis juga. Entah kenapa! Yang jelas ia merasa hatinya juga terluka.
" Trus?" Tanya ana lembut dan hati-hati.
Bram menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya pelan-pelan.
" Ternyata dia udah gak ada. Gue tau sewaktu temannya nemuin gue di klub malam." Katanya lalu air mata yang sudah lama keluar masuk akhirnya mengalir deras di pipinya.
Anapun ikut menangis dan memeluk punggung Bram.
"Udah, keluarin aja semua!" Ujarnya seraya mengelus punggung Bram.
Ia mengambil kopi Bram dan menyuruhnya meminumnya.
"Makasih banget ya na, Semenjak gue kenal sama Lo,hidup gue jadi berubah. Gue punya harapan baru untuk menebus tugas gue yang sebelumnya untuk jagain Tasya. Setiap gue ngeliat Lo,gue berasa Lo itu adik gue yang hidup lagi dan harus gue jagain." Kata Bram serius.
Ana hanya terdiam. Ia sedang memikirkan arti dari perkataan Bram.
Maksudnya apa? Gue dijadiin adiknya gitu? Atau dia mau jagain gue karna gak bisa jagain adiknya itu? Hanya karena gua pake kacamata?
"Ana?Elo jangan diam gitu dong. Suasananya kok jadi horor gitu yah? Padahal gue tadi cuma mau ngajak Lo ngelihat malam. Eh,gue nangis ya?" Tiba-tiba Bram memecahkan lamunan ana. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Ana mendongakkan kepalanya dan tersenyum.
" Enggak papa kok,gue juga ngerti kali. Tapi awas aja ya,elo gangguin gue. Gue bakalan kasih tau Koko kalau elo itu pernah nangis." Dia bercanda dan sukses membuat Bram sedikit tertawa.
Untuk sesaat suasana hening kembali. Ana yang masih bergulat dengan otaknya akhirnya memilih untuk membuka pembicaraan.
" Emangnya apa yang membuat elo jadi nakal begitu? Trus adik Lo sakit apa?" Tanyanya hati-hati.
Dengan ekspresi sedih Bram memaksa tersenyum dan mulai menceritakan kisahnya dulu.
" Bos gue itu egois! Cuma mementingkan kepentingan pribadi dan kantornya doang. Kalau gue sama Tasya ada masalah disekolah,paling yang disuruh datang hanya pak Mario, seorang tangan kanannya." Katanya emosi.
"Gue itu pengen banget memberontak. Tapi gue gak tau caranya. Makanya gue nakal,dan memang gue yang salah. Gue gak pernah tau kalau adik gue punya masalah di sekolah. Dia di.." potong Bram seketika.
Apa yang akan dikatakannya?
***