Riri kembali melangkah, hingga sampai ke pintu di seberang. Riri membayangkan harus melewati tangga batu berliku, jika ingin turun ke bawah. Ternyata dugaannya salah. Pintu yang mereka masuki adalah pintu lift. Ratri menekan tulisan lantai dasar pada tombol.
'Ya Tuhan, bukankah aku sudah melihat mobil di jalanan dari jendela, tentu saja ini bukanlah istana kuno dengan tangga batu, yang di kiri, dan kanan dindingnya ada obor. Ini kerajaan modern, Riri. Mungkin seperti kerajaan inggris.' batin Riri.
Riri mentertawakan dirinya sendiri di dalam hati, tentang pikirannya tadi.
"Silakan Puteri." Ratri mempersilakan Riri ke luar lebih dulu, saat pintu lift terbuka. Mata Riri terbuka lebar. Mulutnya ternganga. Dalam bayangannya, saat pintu terbuka yang ia lihat adalah dinding istana. Ternyata di hadapannya terhampar taman yang indah dengan bermacam warna bunga yang sedang mekar. Ini taman yang bisa ia lihat, dari atas jembatan tadi. Riri terpaku, ia takjub, dan terpesona. Ia tak mampu berkata-kata, karena taman ini bukan seperti taman biasa yang ia lihat di tepi jalan.
Riri menepuk-nepuk pipinya, saat kupu-kupu warna warni mengelilingi tubuhnya, seakan bersuka cita menyambut kehadirannya.
Ratri menatap Riri dengan mata berkaca-kaca. Ratri yakin, usaha mereka kali ini akan berhasil.
Riri menadahkan kedua tangannya. Dua kupu-kupu berwarna hijau hinggap di jarinya.
"Ya Tuhan ...."
Riri masih belum bisa percaya apa yang sedang ia alami saat ini.
"Kita lanjutkan berkeliling, Putri."
Mendengar suara Ratri, kupu-kupu terbang lebih tinggi, mereka berada di atas kepala Riri. Mengiringi langkah Riri, dan Ratri. Tiba-tiba Riri mendengar suara kicauan burung. Ia mencari asal suara. Riri kembali terpesona. Banyak sekali burung kecil yang bertengger di dahan pohon yang mereka lewati. Dengan bulu warna warni, dengan kicauan yang terdengar merdu.
"Mereka menyambut dengan gembira kehadiran Puteri," ucap Ratri. Riri berhenti melangkah, ia membungkukkan badan ke kiri, dan ke kanan, di mana pohon-pohon tempat burung bertengger berada. Riri mengucapkan terima kasih, atas sambutan mereka yang bak paduan suara.
"Mereka sangat cantik. Kicauan mereka sangat merdu."
"Mereka bukan burung peliharaan, mereka datang, dan memutuskan untuk tinggal di taman ini. Mari kita lanjutkan perjalanan, Puteri."
Riri kembali melangkah. Di depannya ada sekawanan burung merak. Riri kembali terpaku, takjub, dan terpesona.
"Apakah mereka juga bukan peliharaan?" Tunjuk Riri pada burung merak yang tengah memamerkan ekor indahnya pada Riri.
"Ya, mereka datang sendiri, entah darimana, dan sudah tinggal di sini cukup lama."
"Ya, Tuhan ... tempat ini sangat indah, Bu Ratri."
"Silakan lanjutkan perjalanan, Puteri."
Mereka kembali melangkah, kali ini melewati sebuah gerbang indah berwarna hijau. Dibalik gerbang ada jembatan dari kayu bulat berwarna hijau. Di bawahnya mengalir sungai yang dihuni berbagai macam ikan dengan warna yang indah.
"Ikannya bisa dimakan?" Tanya Riri polos. Ratri tersenyum, kepalanya menggeleng.
"Syukurlah, aku rasa tidak akan tega memakan ikan seindah mereka," gumam Riri. Mereka melewati jembatan yang cukup panjang.
Tiba di seberang. Pohon buah-buahan kembali membuat Riri terpaku, takjub, dan terpesona. Pohon apel dengan beraneka warna, begitu juga dengan pohong mangga. Warna buah yang tidak pernah Riri lihat di alam manusia.
"Ya Tuhan ... apakah ini surga," gumam Riri, membuat Ratri tersenyum.
"Pangeran sudah menunggu anda di peristirahatannya, Putri."
Ratri menunjuk bangunan yang baru dilihat Riri. Bangunan berwana ungu, bukan hijau seperti yang lainnya.
"Kenapa warnanya ungu?"
"Itu warna kesukaan Puteri."
"Hah!? Tahu darimana aku suka warna ungu?"
"Saya tidak bisa menjawab hal itu. Warna hijau adalah warna kerajaan. Pangeran ingin menyenangkan hati Puteri, karena itu ia memberi warna ungu, pada tempat peristirahatannya. Silakan, Puteri."
Riri melangkah bersama Ratri.
Ada beberapa orang pengawal, dan dayang di luar pintu. Ada Raska juga di sana. Semua membungkukkan tubuh ke arah Riri.
"Pangeran, Puteri sudah tiba." Raska yang mengetuk pintu. Pintu terbuka, namun tak terlihat siapa yang membuka pintu.
"Silakan Puteri masuk, saya mengantar hanya sampai di sini," ucap Ratri.
Dengan langkah ragu, Riri melewati pintu. Pintu di belakangnya tertutup. Riri memutar tubuhnya. Tatapan matanya langsung bertemu dengan tatapan Damar dengan mata singanya.
Riri kembali memutar tubuh untuk menghindari melihat wajah singa Damar. Riri memperhatikan ruangan yang sangat besar itu. Interior yang sangat modern. Ada ranjang besar di tengah ruangan. Ada kolam bulat di bawah salah satu jendela. Damar membiarkan Riri mengitari kamar. Kemudian Riri menuju jendela. Mata Riri melebar, saat menyadari mereka ada di ketinggian.
"Pangeran!?"
"Bangunan ini bisa naik menyerupai menara."
Damar berdiri di samping Riri.
"Hah!"
Riri kembali menatap ke luar jendela. Pohon buah dengan berbagai warna terlihat kecil bentuknya.
Riri maju lebih dekat ke jendela. Damar berdiri di belakangnya.
Tiba-tiba pandangan Riri terasa gelap, karena Damar menutup matanya dengan kain hitam.
"Jangan dibuka, sampai kita selesai, Puteri," bisik Damar. Riri bergidik, karena merasakan bulu di wajah Damar menyentuh kulitnya. Damar menuntun Riri ke dekat dinding. Diikat kedua tangan Riri. Lalu tali digantung di dinding. Riri merasakan ia ditelanjangi, yang tidak ia mengerti, bagaimana cara Damar melepaskan pakaiannya. Sedang tangannya terikat di atas kepala.
Sesaat, Riri hanya berdiri diam, tak ada suara, atau sentuhan Damar.
"Pangeran!"
"Minumlah dulu ramuan ini, Puteri."
Riri merasakan bibirnya menyentuh ujung sedotan. Tanpa bertanya, Riri menyedot minuman yang terasa nikmat itu, sampai tak bersisa.
Sesaat kemudian, Riri merasakan bibir Damar menyentuh bibirnya. Kedua tangan Damar bergerak lembut menyentuh kulitnya.
Riri terhanyut, dalam pusaran nikmat yang diciptakan Damar untuknya. Seperti semalam, Riri tak merasakan bulu-bulu di wajah Damar menyentuh kulitnya. Juga tak ada taring, yang Riri lihat saat ia datang tadi. Apa yang ditampilkan wajah singa Damar, tak Riri rasakan ada saat mereka sedang bercinta seperti ini.
Meski dalam posisi tangan tergantung, dan kedua pahanya dipegang Damar, tapi Riri merasakan nikmat yang sama saat dirinya terbaring di atas ranjang. Karena kelembutan Damar dalam memperlakukan tubuhnya. Hanya saat diujung klimaks, barulah terdengar suara Damar yang menggeram, dan tekanan tubuhnya yang semakin kuat. Sehingga Riri merasa penat. Namun itu, tak mengurangi rasa nikmat bagi Riri. Karena Damar kembali membawanya ke puncak.
Kepala Riri terkulai di atas bahu Damar. Damar melepaskan tali yang menggantung tangan Riri, tapi ia tidak melepaskan ikatan kedua tangan itu.
"Jangan menyentuh apapun di bagian tubuhku, dengan kedua tanganmu, kalau kamu melakukannya, kamu akan mati, Puteri," ucap Damar, sebelum membopong tubuh Riri, dan membaringkan Riri di atas ranjang. Riri tidak menjawab, juga tak bergerak, matanya sejak ditutup kain tak bisa dibuka. Kini ia merasa mengantuk, tubuhnya juga sedikit penat. Dibiarkan kantuk membawanya pergi ke alam mimpi. Damar menyelimuti tubuh Riri. Lalu ia masuk ke dalam kamar mandi.
BERSAMBUNG