PART. 6 ANCAMAN DIMALAM PERTAMA

1006 Words
Pangeran Damar sudah berada di depan Riri. Riri harus mendongak untuk melihat wajah singa di hadapannya. Wajah yang tak lagi terlalu menakutkan untuk dipandang, karena pancaran mata Damar yang terasa menyejukkan. "Tutup matamu, jangan dibuka, sampai kita selesai. Apapun yang kamu rasakan, jangan buka matamu," perintah Damar tegas. "Kenapa saya harus menutup mata. Kalau Pangeran tidak ingin saya melihat anda, matikan saja lampunya," sahut Riri, tanpa ada rasa takut lagi. Riri bergidik, saat melihat kilat amarah di dalam bola nata hitam legam milik Pangeran Damar. Keberaniannya langsung surut. Pandangannya dialihkan dari wajah Damar. Pangeran Damar menjentikkan jarinya, hanya satu jentikan. Lampu di dalam kamar padam. Gelap gulita bagi Riri. "Pejamkan matamu, kalau kamu tak ingin terluka, dan celaka." Hembusan napas Pangeran Damar menerpa wajah Riri. Aroma wangi yang membuat perasaan nyaman terhirup oleh penciuman Riri. Riri tak protes lagi. Matanya terpejam, sulit untuk ia buka. Tapi ia bisa merasakan sentuhan Damar di bahunya. Damar melepaskan baju tidur tipis tembus pandang itu dari tubuh Riri. Dengan menurunkan bahu baju tidur, sehingga baju itu meluncur turun, dan jatuh di kedua kaki Riri. Riri bisa merasakan, saat kedua tangan Damar menjamah pengait bra di bagian punggungnya. Lalu bra itu jatuh juga di bawah kaki Riri. Damar menuntun Riri agar berbaring di atas ranjang. Riri menurut saja bak terhipnotis oleh sentuhan lembut jemari Damar, dan hembusan napas Damar yang wangi. Riri bukannya tak berani membuka mata, ia sangat ingin melihat Damar, tapi matanya sangat berat untuk dibuka. Ia juga yakin tak bisa melihat apa-apa dalam gelap gulita. Sesaat Riri menunggu, tak ada gerakan dari Damar. Sesaat kemudian, hembusan napas Damar kembali menerpa wajahnya. Riri yakin, wajah Damar begitu dekat dengan wajahnya, namun tak ia rasakan ada bulu dari wajah singa Damar, yang menyentuh kulit wajahnya. Riri ingin mengangkat tangan, untuk meraba wajah Damar, tapi Damar merangkum kedua tangannya. Kedua tangannya diikat oleh Damar dengan bra yang tadi dipakai Riri. "Jangan buka matamu, dan jangan sentuh wajahku, kalau kamu tak ingin celaka," bisik Damar di dekat telinga Riri, dan lagi, Riri tidak merasakan ada bulu dari wajah Damar, yang menyentuh kulitnya. Hanya aroma mulut, dan aroma tubuh Damar yang menyentuh penciumannya, melenakannya, membuat nyaman perasaannya, meski kedua tangannya terikat di atas kepala. Riri merinding, saat sapuan bibir Damar menyentuh lehernya. Sepasang bibir Damar menarik kulit lehernya, membuat Riri tak sadar mengeluarkan suara. Saat menyadari suara yang ke luar dari sela bibirnya. Riri merasa malu sendiri. Yang Riri tidak mengerti, tak terasa ada bulu dari wajah singa Damar yang menyentuh kulitnya, padahal wajah Damar menempel di lehernya. Ingin sekali Riri membuka mata, tapi ia tak bisa melakukan itu. Riri menyesal meminta Damar mematikan lampu. Meski tak bisa membuka mata dengan sempurna, setidaknya ia bisa mengintip sedikit, agar rasa penasarannya sirna. Riri merasakan benda kenyal berada di atas bibirnya. Riri yakin itu bibir Damar. Jantungnya berdetak lebih cepat. Perasaannya berdebar tak karuan. Takut taring Damar melukai mulutnya. Riri merasakan bibir Damar bergerak, mengecup lembut bibirnya. Lalu mengulum sepasang bibirnya juga dengan lembut. Tak ada taring runcing yang melukai mulutnya. Meski lidah Damar masuk ke dalam mulutnya, dan mempermainkan lidahnya. Kedua tangan Riri bergerak, ingin lepas, dan bebas, mengekspresikan apa yang baru pertama ia rasakan. Satu tangan Damar memegang kedua tangan Riri, agar berhenti berusaha melepaskan diri. "Jangan buka ikatan tanganmu, kalau kamu tak ingin mati. Nikmati saja, tanpa harus menyentuh dengan kedua tanganmu. Tanpa harus melihat dengan kedua matamu. Ini bukan ancam kosong, Puteri Prameswari," bisik Damar. Tubuh Riri menegang, mendengar ancaman yang terdengar begitu menakutkan. Damar kembali mencium bibir Riri. Riri terhanyut dalam ciuman lembut bibir Damar, bibirnya mulai bergerak, mengikuti gerakan bibir Damar. Ia terlena, dengan sentuhan Damar yang mengusap lembut bagian dadanya. Bibir Riri semakin berani bergerak mengimbangi ciuman Damar. Tubuhnya bergerak gelisah karena mulai terbakar oleh permainan jemari Damar di dadanya. Riri tersentak, saat wajah Damar menyentuh dadanya. Riri sangat yakin, ia tak merasakan ada bulu dari wajah singa Damar yang menyentuh kulitnya. Rasa penasaran semakin membuncah, tapi matanya seperti dilem kuat, sehingga tak mampu terbuka. Ikatan tangannya yang terasa longgar juga tak bisa ia lepaskan. Riri kembali tersentak, saat lidah Damar menyapu setiap jengkal kulitnya. Dan meninggalkan bekas kecupan yang meski tak bisa Riri lihat, tapi bisa ia rasakan, saat kulitnya terasa ditarik sepasang bibir Damar. Riri merasa, Damar sangat lembut memperlakukannya, diluar ancaman tentang membuka mata, dan melepas ikatan tangan tentunya. Tubuh Riri terasa memanas. Menghadirkan sensasi yang baru pertama ia rasakan. Aliran darahnya terasa lebih cepat. Padahal Damar hanya menyentuh kulitnya saja. Belum sampai pada tahap inti sebuah malam pertama. Mata Riri masih terpejam, kedua tangannya masih terikat. Tubuhnya yang terasa panas bergerak gelisah, begitu juga dengan kedua kakinya, bergerak tanpa dapat ia kendalikan lagi. Damar seperti memujanya, dengan sentuhan lembut jarinya, lidahnya, dan bibirnya. Tak terasa ada bulu singa dari wajah Damar. Tak ada taring yang menusuk kulit Riri. Lama kelamaan, sentuhan Damar membuat Riri terlena, terlelap, tak lagi ingat apa-apa. Ia melupakan rasa panas yang membakar tubuhnya. Hanya sesaat ia terlena, karena bibir Damar kembali menyentuh bibirnya. Pekik Riri hanya sampai di tenggorokan, saat rasa sakit menerjang. Ingin ia pukul Damar, tapi Damar memegang kuat tangan Riri, agar tak lepas dari ikatan, dan tak menyentuh tubuhnya, saat keperawanan Riri ia ambil. Riri juga tak bisa membuka mata, namun air mata mengalir di kedua sudut matanya. Riri hanya bisa pasrah, pada apa yang terjadi padanya saat ini, ataupun nanti. Ia sudah memilih, untuk setuju akan syarat yang diberikan. Hanya ada satu pertanyaan. Bapaknya bisa datang, dan pergi tanpa syarat, kenapa dirinya tidak. Damar melepaskan ciuman, sehingga Riri bisa merintih karena kesakitan. Suara Damar yang menggeram di dekat wajahnya, membuat tubuh Riri menegang. Ia merasa takut Damar akan menerkamnya. Namun rasa takut itu teralihkan. Karena perlahan rasa sakit itu mulai berkurang. Berganti rasa yang Riri tak bisa menjabarkan. Perlahan, Riri mulai kembali merasa tenang, merasa nyaman, karena sentuhan lembut Damar. Riri percaya, Damar tak akan melukainya. Damar mengikat tangannya, karena menghindarkan ia dari bahaya. Seperti yang dikatakan Damar. Jika ia menyentuh, dan melihat Damar saat mereka bercinta. Maka nyawa yang akan jadi taruhannya. BERSAMBUNG
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD