“Setelah ini baru kasih tepung maizena...” Dengan lincah tangan Khiya mengambil kentang yang sudah ia rebus dan dipotong-potong. Tidak lupa gadis itu juga mem-pause vidio yang ada di ponselnya.
“Gini benar, kan ya? “gumam Khiya pada dirinya sendiri. Ia mengguncang-guncang kentang di dalam mangkuk yang sudah ia taburkan tepung maizena.
Hari ini Khiya berniat untuk membuat kentang goreng krispi ala-ala restoran cepat saji. Setelah tergiur melihat video yang ada di akun sosmednya. Vidio di mana kentang goreng bisa menciptakan adegan romantis. Suap-suapan... Hem...
“Hubby pasti suka.“ Senyum mengembang di wajah Khiya, hanya sekadar membayangkan senyum merekah dari Farel. Senyum manis yang sangat candu bagi Khiya. Sungguh efek jatuh cinta sangat aneh.
Khiya melamun memikirkan Farel, tangannya diam-diam memeluk dirinya sendiri, membayangkan kalo itu tangan Farel. Khiya benar-benar jatuh cinta pada suaminya itu.
“Khiya, masakkan kamu enak banget. hubby suka....” gumam Khiya sambil senyam-senyum sendiri. “Khiya, ayo sini mas suapin kamu, kamu pasti belum makan, kan?”
Wajah Khiya merona. Ia mengangguk cepat menjawab pertanyaannya sendiri.
“Aaaaaaa.....”
Booom
“Astagfirullah! “
**
Khiya menunduk enggan mengangkat kepalanya meski Farel sejak tadi sudah masuk ke dalam ruangan berukuran sedang yang di d******i warna putih.
“Kamu benar gak kenapa-napa? “ suara bariton Farel sedikit mengejutkan Khiya yang sejak tadi malah sibuk memilan ujung jilbabnya.
Khiya langsung menggeleng cepat, sebagai responden.
“Beneran ?” tanya Farel lagi. “Kenapa kamu dari tadi nunduk aja? “ Tangan Farel bergerak kearah wajah Khiya. Khiya yang melihat itu langsung getar-getir, dia tidak mau jadi istri durhaka dengan menepis tangan suaminya itu. Sebenarnya kalo tidak karena insiden ini dengan senang hati Khiya membiarkan tangan suaminya itu bertengger manja di wajahnya. Dua jam juga gak papa.
Farel mengangkat wajah Khiya. Menyejajarkan dengan wajahnya. Khiya spontan menutup matanya.
“Kamu kenapa tutup mata?” Farel terkekeh.
“Itu.. Itu.. hem.. takut.”
“Takut? Emang muka aku serem ya? “
“Eh, Enggak, bukan gitu,” Khiya refleks membuka matanya. “Kamu gak serem kok...cuman.. “
Tatapan mata mereka langsung bertemu. Khiya langsung membisu. Farel menyambut mata Khiya dengan senyum candunya.
“Terus kenapa takut? Coba kamu perhatiin baik-baik wajah aku..,” Farel mendekatkan wajahnya pada Khiya. Sangat dekat membuat mata Khiya terbelalak.
“Kamu suka kan kalo aku senyum gini? “
Seperti orang yang terhipnotis, Khiya mengangguk kaku. Jantungnya sudah tidak tahu lagi berdetak secepat apa, Khiya terlalu larut dalam tatapan mata Farel. Tatapan Farel terlihat sangat tenang, tapi mampu membuat Khiya seperti tenggelam di dalam ombaknya.
“Au! “ Khiya meringgis. Tangannya terasa sakit dan seketika semua hal mendebarkan tadi menghilang. Tidak ada tatapan Farel di dekatnya, yang ada hanya Farel yang nampak sibuk melakukan sesuatu pada tangannya.
“Lain kali kalo kamu luka kena minyak gini, jangan dikasihani pasta gigi, ini gak bagus. Tangan kamu bisa melepuh. Lain kali langsung ke dokter aja atau telepon aku,” kata Farel.
“Ha?” Khiya malah berdeham. Bukan tidak mengerti apa yang Farel katakan barusan, tapi Khiya menolak fakta bahwa tidak ada hal-hal romantis yang Farel lakukan, atau setidaknya Farel marah karena kecerobohannya yang hampir membuat rumah kebakaran dan membuatnya berada di klinik ini. Itu yang Khiya harapkan.
“Khiya, kamu tadi udah minum obat? “tanya Farel.
Lagi.
Pertanyaan itu lagi.
Pertanyaan yang sangat Khiya benci sebenarnya. Khiya tidak marah pada Farel yang mengkhawatirkannya, ia hanya tidak suka pada rasa iba yang selalu terlihat di sorot mata Farel setiap kali Farel menanyakan hal itu. Pertanyaan itu membuat Khiya selalu merasa bahwa ia gadis penyakitkan yang hanya bisa menyusahkan Farel.
“Sudah,” sahut Khiya pelan.
Ponsel Farel berdering. Farel memberi isyarat bahwa ia akan keluar sebentar. Khiya hanya mengangguk pelan mengiringi punggung Farel yang bergerak menjauh.
Khiya turun dari ranjang, lalu mengambil sesuatu di dalam tasnya. Dua pil obat, cepat-cepat ia minum dengan bantuan air mineral seadanya.
“Iuu pahit! “ Khiya meringgis. Menghambiskan hingga tandas air mineralnya.
Setelah itu buru-buru kembali ke ranjangnya sebelum Farel kembali. Sebenarnya tadi Khiya tidak sepenuhnya berkata jujur pada Farel, tapi tidak sepenuhnya juga berbohong. Fifty-fifty. Khiya memang sudah minum obat tapi belum semuanya.
“Duh masih pahit nih... “
Inilah alasan kenapa Khiya selalu menjadikan dua obat itu sebagai obat terakhir. Khiya kembali turun dari ranjangnya, mencari air mineral. Tapi tidak ada. Khiya mengendarkan pandangnya dan ia melihat air mineral yang ada di tas luar Farel.
“Meski gak berbagi kamar, setidaknya berbagi air yang sama...” Khiya senyam-senyum, sembari memeluki botol itu seperti orang gila.
Bertepatan itu, tiba-tiba suara pintu berdecit pertanda ada orang yang masuk. Khiya panik, dan tanganya tanpa sengaja menjatuhkan botol.
“Astagfirullah.” Botol itu tepat jatuh mengenai tas Farel yang terbuka.
Farel dengan sigap langsung mengambil tasnya dan mengeluarkan semua isinya. Mulai dari laptop hingga hal-hal kecil seperti pulpen takut basah terkena air.
“Maaf...” Khiya menunduk dalam.
Jika di n****+-n****+ yang biasanya Khiya baca, adegan ini akan dimulai dengan Farel marah, lalu Khiya menangis dan setelahnya Farel meminta maaf dengan mengatakan atau melakukan tindakan manis yang membuat Khiya tersipu malu.
“Tidak masalah. Sekarang kamu istirahat saja,” jawab Farel biasa saja.
Khiya mengangguk pelan.
Terkadang ia sangat ingin Farel memarahinya karena semua kecerobohan ini. Setidaknya kisah mereka akan seperti n****+ picisan yang ada. Tapi tidak, Farel memang baik, dia tidak marah sedikit pun dan malah sekarang sibuk merapihkan berkas yang berantakan karena ulah Khiya.
Ada satu lembar yang jatuh dari berkas Farel, Khiya langsung mengambilnya. “Farel ini berkasnya jatuh...”
Khiya memandangi selembar kertas yang ada di tangannya, perlahan senyum muncul pada wajah Khiya, begitu melihat lembar itu yang merupakan berisi brosur kampus tempat Farel mengajar sebagai dosen.
Khiya sangat ingin ke kampus... Mimpinya seolah dibangunkan karena selembar kertas ini.
“Ada beasiswa ya hubby di sana? “tanya Khiya spontan, saat matanya membaca kalimat itu.
Farel mengangguk pelan.
“Syaratnya apa, By? “
“Hem, syaratnya lulus SMA dan lulus tes, itu aja.”
“Oh...” Khiya manggut-manggut semangat membayangkan mimpinya itu. “Kalo udah nikah, gak papa kan?” tanya Khiya lagi.
Farel refleks mengangkat kepalanya, melihat riak wajah bahagia yang Khiya tampilkan. Farel baru menyadari satu hal. “Kamu taukan Khiya, kalo kamu sakit dan ....”
Farel menghentikan kalimatnya setelah melihat raut wajah Khiya yang perlahan berubah, sendu.
“Kamu gak boleh terlalu lelah,” sambung Farel lagi, setelah susah payah menelan rasa tidak teganya.
“Tapi itu kuliah By, bukan jadi kuli yang bakal bikin capek,” sahut Khiya memberanikan diri.
Farel menghela nafas panjang. “Tapi kamu sakit. Kamu harus banyak istirahat.”
“Sakit......” Khiya tersenyum miris. “Apa orang sakit tidak berhak untuk belajar? Apa orang sakit tidak berhak menjalani kehidupan normal layaknya orang lain? Apa orang sakit sepanjang hari harus istirahat ? Untuk apa? Untuk menunggu kematian? “
“Khiya! “ Suara Farel naik satu oktaf, “Jangan pernah katakan seperti itu.”
Lalu apa? Batin Khiya bertanya lirih. Semua sikap Farel yang menjaganya bak balon gelembung yang mudah pecah membuat Khiya tidak berdaya, membuat ia seolah terus teringat akan penyakit ganasnya.
“By, apa kamu bisa keluar dari ruangan ini sebentar? “ suara Khiya parau. “Aku mau ganti baju dulu. Baju ini basah.”
“Hem, kalo nanti kamu butuh sesuatu, aku ada di depan.”
“Iya.” Khiya sudah handal menahan suaranya agar terdengar biasa saja.
Farel keluar dari ruangan.
Khiya yang berpikir dirinya akan menangis setelah Farel pergi, nyatanya itu tidak terjadi. Khiya membisu setengah duduk di ujung ranjang dengan kaki yang terjulur ke bawah. Sepintas ia terlihat seperti tengah berpikir keras, tapi nyatanya dia hanya diam bengong dengan banyak hal yang berkeliaran di kepalanya seperti benang kusut. Semua itu tidak memberi jeda untuk Khiya menguraikannya dan mengerti satu persatu. Semua mendesak untuk muncul, membuat kepalanya mulai terasa nyeri. Khiya hanya diam menikmati keheningan itu.
**
Farel duduk dengan tidak tenang di kursi berbahan besi itu, seorang diri. Beberapa kali ia bangkit dan duduk lagi, dengan mata terus tertuju pada pintu yang masih tertutup.
Farel terus menepis semua pikir tidak enak di hatinya, ia harus percaya bahwa Khiya bukan gadis lemah yang akan melakukan hal-hal bodoh ‘hanya’ karena ingin kuliah.
Farel menghela nafas gusar, hanya... bagaimana bisa ia berpikir hanya, ini memang terlihat simpel untuk orang yang normal sepertinya tapi untuk Khiya? Ini pasti tidak semudah kata hanya. Farel tahu jelas kalo Khiya sangat ingin kuliah. Farel sempat melihat begitu banyak foto-foto kampus idaman yang Khiya pajang di dinding kamarnya sebelum akhir-akhir ini ia lepaskan.
“Bagaimana jika......”
Farel bergerak cepat ke depan pintu ruangan yang masih tertutup. Tangan Farel menggambang di udara hendak meraih gagang pintu, tapi kalah cepat karena daun pintu itu terlebih dulu sudah di buka oleh Khiya.
Terlihat Khiya sedikit kaget akan keberadaan Farel di sana. Sedetik berikutnya Khiya tersenyum, menutup rasa sedih yang hinggap di dalam hatinya. Farel sangat mengkhawatirkanku, gadis penyakitan, batin Khiya.
“Hubby, nanti sore kita pulang, kan? “ tanya Khiya, mencoba mengusir hening.
“Hm, memangnya kenapa? Ada yang gak nyaman?”
“Itu, aku laper... “
“Kalo gitu biar aku beliin dulu. Kamu mau makan apa?”
“Hm... mau makan di rumah aja.”
“Kamu udah gak sakit lagi? “
“Gak. Lagian ini cuman luka ringan.”
“Ya udah, aku urus admintrasi dulu sama beli makanan ringan buat ganjel perut.”
“Iya.”
Farel melangkah pergi. Hatinya sudah sedikit tenang melihat senyum Khiya tadi. Itu tandanya gadis itu tidak lagi sedih. Setelah selesai mengurus administrasi, Farel beranjak ke kantin. Di sana ia memasan kentang goreng dan s**u hangat untuk Khiya.
“Mama jahat...”
Farel menoleh, tidak jauh dari tempatnya duduk. Ada seorang anak kecil berkepala plontos dengan baju piyama ala rumah sakit, duduk menangis di sudut kantin sendirian. Satu tangannya memegangi mainan dan satu tangannya lagi menghapus air matanya yang terus mengalir.
“Kenapa mama gak bolehin aku main....,” lirihnya. “Ya Allah, aku pengen main. Aku pengin bisa lari-lari kayak mereka... ya Allah gak papa kalo aku harus tetap sakit, tapi biarin aku main sama mereka. Ya Allah bilang ke mama kalo aku gak mau seharian di kamar atau di rumah sakit terus....aku pengin kayak anak normal yang sehat,” kata anak itu, sambil terus menghapus kasar air matanya.
Farel beranjak dari duduknya, hendak mendekati anak itu tapi langkah Farel terhenti saat anak itu dengan cepat turun dari kursinya dan berlari ke arah seorang wanita dewasa yang Farel duga sebagai ibunya karena anak itu menyebutkan mama saat berlari tadi.
“Kamu ngapain di sana ?”
“Cuman duduk ma..”
Ajaibnya air mata itu sudah tidak terlihat di sana.
Berbeda dari wajah sedihnya tadi, wajah anak itu kini sudah dihiasi senyuman. Dia tersenyum lebar, seolah tadi tidak terjadi apa-apa. Farel memperhatikan dari jauh. Anak itu secara fisik memang tersenyum tapi pancaran matanya tidak bisa berbohong. Ia masih menahan tangisnya.
Farel tertegun. Ia teringat Khiya dan keinginannya itu. Layaknya anak kecil yang berhasrat ingin main, Khiya juga ingin berkuliah seperti mimpinya sebelum penyakit itu mengubah segalanya. Sedangkan Farel berperan seperti mama yang terlalu tidak percaya bahwa anaknya terlalu lemah untuk bisa bermain.
Sebelum masuk ke ruangan Khiya. Farel berhenti sejenak di depan pintu yang setengah terbuka.
“Gak papa, gak masalah gak kuliah. Kamu bisa dapat ilmu dari mana aja.” Itu suara Khiya. Khiya sedang menasehati dirinya sendiri sembari menatap brosur kampus.
“Penyakit cepat sembuhnya, entar kalo sembuh baru deh kita bisa kuliah.”
“Khiya, kamu yang semangat ya. Pasti bisa kok...ayo semangat, jangan sedih terus ya.. Kita lewati ini bersama ya...” ucap Khiya membuat hati Farel makin iba pada sosok gadis yang sekarang tengah tersenyum menatap dirinya sendiri di depan kaca kecil yang ada di ruangan itu.
Farel menarik nafas, memasang wajah biasa seolah dia tidak tahu apa-apa.
“Khiya...”
“Hubby...,” Khiya langsung tersenyum, menghampiri Farel.
“Kamu makan dulu sebelum pulang ya.”
“Iya.”
Farel memberikan Kentang goreng yang di bungkus wadah makanan dari sterofom.
“Kentang goreng...” Mata Khiya langsung berbinar saat melihat isinya.
Khayalan tadi pagi kembali melintas di benaknya, adegan romantis saling suap-suapan, so sweet...
Khya sengaja duduk di samping Farel. Khiya ingin sekali mengatakan kalimat, kamu mau coba....dan menyuapkan kentang goreng pada Farel. Tapi baru Khiya hendak mengatakan kalimat itu, Farel mengintrupsi terlebih dulu.
“Kamu harus makan banyak. Habisi semua kentangnya. Jangan sampai kamu kelaparan, kamu harus minum obat nanti setelah pulang ke rumah.”
Senyum Khiya langsung memudar. Khayalan itu memang hanya akan jadi Khayalan. Khiya menghela nafas membuangnya sepelan mungkin. Ia mengalihkan perasaannya dengan terus mengunyah kentang goreng tanpa jeda, hingga hampir saja dia terbatuk-batuk, beruntung hal itu luput dari indra pendengar Farel. Jika tidak bisa di pastikan kalimat sakti akan keluar.
Jangan lupa kamu sakit, batin Khiya sudah hafal betul kalimat Farel. Ternyata kentang goreng tidak seenak yang Khiya harapkan. Khiya tidak akan lagi berharap pada momen makan kentang goreng seperti yang ada di ponselnya.
“Khiya.. “
Khiya mengangkat kepalanya. Farel menatapnya, membuat jantung Khiya langsung berdegup kencang. Apa Farel mau kentang goreng? Pikir Khiya ngelantur di tengah kegugupannya itu.
“Khiya, maaf....”
***