Hasil pemeriksaan

1860 Words
“Yak, Lo kenapa? “tanya Khiya bingung, melihat Aliya yang sejak tadi diam tidak seperti biasanya. “Ha? Gue? Kenapa? Gue... G-gak kenapa-napa.” Aliya memasang senyum di wajahnya. “Senyumnya gak natural,” cibir Khiya, sudah curiga ada sesuatu yang mengganjal dibenak Aliya. “Senyum gue emang gini, kok. Lo aja yang gaj tahu.” “Bohong terus....” Khiya menyenderkan kepalanya di bahu kursi dan memilih untuk memejamkan matanya. “Hem,” Aliya berdeham pelan, menyembunyikan kegugupannya. “Mending kita menepi dulu, tangan kamu pasti nyerikan?” kata Khiya, kalem. Aliya memang tidak bisa menyembunyikan sesuatu dari Khiya. Aliya hanya bisa menghela nafas panjang, rasa nyeri di tangannya menghilang perlahan. “Yak, aku hidupin murottal Qur’an aja ya, dari pada sepi kayak gini,” kata Khiya, kali ini ia membuka matanya. “Iya,” jawab Aliya singkat. Setelahnya hening dengan lantunan murotaal Quran. “Khya...” Aliya tidak tahan menyimpan semua ini. Ia mematikan murotal sebelum memanggil Khiya. Khiya tersenyum. “Iya? “ “Aku ketemu calon jodoh aku tadi,” suara Aliya, ragu. “Di rumah sakit? “ Aliya mengangguk cepat. “Kapan? Pas ngambil berkas? Aliya kembali mengangguk kali ini dengan gerakan sedikit lambat. “Di ruang dokter tadi.” “Ruang dokter?” “Iya...” pikiran Aliya menerawang jauh. “Dokter Fauzan.” Senyum tertahan di wajah Khiya. “Dokter yang periksa aku tadi? Dokter yang kata kamu baik itu ? Dokter yang kata kamu masih muda itu? “ Aliya mengangguk lemah. Semua hipotesisnya tadi sebelum berangkat ke rumah sakit seolah menampar penilaiannya di rumah sakit. Benar-benar memalukan, di tambah lagi kejadian tangannya yang nyeri. “Bodoh banget gue, gak ngeh pas liat papan namanya. Jelas-jelas udah terpampang jelas Fauzan Brama. Kok gue gak sadar sih!!! “ “Ini gara-gara dia gak kasih fotonya! Jadinya gue gak tahu!” “Gue malu banget, Khy ! Dia udah kenal sama gue. Tapi gue enggak kenal. Ini gak adil banget! “Ini gak fear banget !” protes Aliya, kesal plus malu. Khiya hanya bisa cekikikan mendengar semua keluh kesah Aliya. “Kok rasanya gak enak ya? “kata Aliya tiba-tiba. “Kayaknya ban mobil gue kempes dah, Khy.” “Ya udah nepi aja dulu.” “Tapi di sini jalannya sepi banget.” “Dari pada bahaya kalo kita paksai ban mobil kempis.” Tiba-tiba terdengar bunyi keras dari luar. Mobil langsung melintir ke kiri, Aliya berusaha untuk tenang dalam keadaan ini, Aliya mencoba untuk menepi di bahu jalan, tapi keadaan ban pecah membuat Aliya kesulitan mengendalikan mobilnya. Khiya memejamkan matanya, rasa traumanya bangkit lagi tapi di sisi lain, rasa traumanya itu juga perlahan memudar. Sejenis teknik, membayar rasa takut dengan melakukan hal yang ditakuti, itu mungkin saja yang terjadi pada Khiya. Khiya membuka matanya. Dia tidak bisa panik, karena Aliya akan semakin panik jika dia panik. Khiya terus berusaha membimbing Aliya untuk tenang dan mengarahkan mobil ke bahu jalan. Beruntung kondisi jalan sepi. Mobil Aliya sempat hampir terguling dan beberapa kali terkena benturan cor di pinggir jalan, semua insiden ini tidak sampai memakan korban, hanya velge mobil Aliya yang pecah dan rusak. “Aliya, ayo kita keluar...” ajak Khiya, setelah mobil benar-benar berhenti. Khiya takut terjadi sesuatu kalo lagi mereka tetap berada di dalam mobil. Tangan Aliya gemetar. Aliya menoleh pada Khiya. Sedikit linglung. “Khiya, maaf... Lo p-pasti takut banget, kan tadi? “ Khiya menggeleng, menenangkan Aliya. “Ayo sekarang kita keluar, Yak. Kamu butuh minum dulu.” Khiya membantu Aliya membuka safety belt. Setelah keluar mobil, sudah banyak warga dan beberapa pengendara yang lewat mengerumuni mereka. “Kalian berdua baik-baik aja, kan?” tanya salah satu diantara mereka. “Alhamdulillah, Pak.” Khiya menyahut. Aliya duduk jongkok. Selain tangan, kaki Aliya juga gemetar. “Yak, kamu gak kenapa-napa, kan ?” Khiya memastikan pasalnya, wajah Aliya pucat bukan karena tegang lagi, dia juga keringat dingin dan nafasnya berhembus sangat cepat. “Khy, gue telinga gue berdenging Khy...gak enak banget.” “Coba minum dulu, Yak.” Khiya memberikan sebotol air mineral, pemberian salah satu warga. “Kamu masih panik.” “Ayo, Yak, minum dulu. Biar kamu tenangan dikit.” “Khy, aku mau pulang aja,” lirih Aliya. “Ya udah kalo gitu kita pulang ya... kamu benar gak kenapa-napa? Atau kita ke rumah sakit aja? “ tanya Khiya cemas. “Aku gak kenapa-napa, Khy...” Aliya bangkit tapi tubuhnya malah limbung hampir jatuh, beruntung Khiya segera menahan tubuh Aliya. “Khiya, kepala gue pusing banget,” kata Aliya sebelum gadis itu benar-benar pingsan. ** Khiya membawa Aliya ke rumah sakit, dibantu para warga dan orang yang ada di sana. Khiya mencemaskan keadaan Aliya. Secara fisik Aliya memang tidak mengalami luka apa pun, tapi secara psikis mungkin saja Aliya terguncang sampai pingsan seperti sekarang. “Aliya, kenapa? “ tanya Fauzan, kaget. Saat brankar ambulans turun, bertepatan dengan Fauzan yang keluar dari rumah sakit, sepertinya dia sudah selesai bertugas karena tidak lagi memakai jas putih khas dokter. “Tadi ban mobil Aliya pecah, terus—“ “Aliya gak kenapa-napa, kan? Kenapa dia pingsan?” sela Fauzan, cemas. Khiya mengangguk pelan. “Kayaknya dia shock, makanya pingsan.” “Ya ampun...” Fauzan langsung mengejar tim medis yang membawa ranjang Aliya. Khiya mengekor di belakangnya, tapi langkahnya terhenti saat dering telepon menghentikannya. Panggil dari Farel. “Assalamualaikum, By....” Khiya mengangkat telepon sembari mengejar ranjang Aliya. “Iya, aku ada di rumah sakit...maaf...iya...nanti aku telepon lagi. Waalaikumsalam.” Khiya mematikan panggilan dan kembali mengekor Fauzan yang masih setia mengikuti ranjang Khiya dan keduanya berhenti saat ranjang itu masuk ke ruangan. Fauzan lalu duduk di depan ruangan, pria itu nampak gelisah. Khiya beralih mengambil ponselnya untuk menelepon Farel, tapi rupanya Farel sudah mengirim pesan dan akan datang ke rumah sakit sebentar lagi. “Dokter...” panggil Khiya. Fauzan menoleh, sedikit kaget. Dia terlalu cemas akan keadaan Aliya sampai lupa akan keberadaan Khiya. “Gak perlu cemas dok, insyallah Aliya baik-baik aja. Kalo dokter, hem, mau pulang atau istirahat—soalnya saya tadi liat, kayaknya dokter mau pulang. Dokter gak perlu khawatir, saya ada di sini buat jaga Aliya.” Fauzan tersenyum kecil, menyembunyikan rasa cemasnya. “Hem...mungkin saya akan pulang setelah Aliya sadar. “ . . Farel mencari nomor ruangan yang Khiya beritahu. Farel baru hendak mengetuk pintu ruangan, tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Khiya keluar dari dalam ruangan itu. “Hubby...” Khiya tersenyum canggung pasalnya jarak mereka sangat dekat. Farel mundur menjauh dari pintu, memberikan ruang. “Bagaimana keadaan sahabat kamu? “ “Aliya, tadi udah sadar. Terus dia sekarang istirahat lagi. Kemungkinan besok Aliya boleh pulang.” Farel mengangguk mengerti. “Kamu tadi juga ada di dalam mobil itu, kan? Kamu gak kenapa-napa? “ “Alhamdulillah, gak , By.” “Gimana sama trauma kecelakaan kamu? Yakin gak kenapa-napa?” “Pas kejadian itu, aku sempet kebayang sama trauma itu, tapi setelah aku berusaha untuk berani menghadapinya, kayak trauma itu tiba-tiba hilang.” “Maaf, karena tadi aku ketiduran.” “Iya, By. Gak masalah.” Khiya tersenyum kecil. “Kamu sudah makan? “ “Sudah.” “Minum—“ “Dan juga sudah minum obat,” sela Khiya sebelum Farel mengatakan kalimat saktinya mengenai obat. “Aku tadi emang sengaja bawa obat, takut macet di jalan,” sambung Khiya. Farel tersenyum, lega. Beban yang terasa menempel dibenaknya sedikit mereda. “Terus gimana keadaan mobil sahabat kamu itu? Apa perlu aku telepon bengkel langganan buat derek?” “Gak perlu, By. Tadi dokter Fauzan Udah ngurusin itu.” “Oh..” Farel mengangguk pelan. Setelahnya terjadi keheningan. Topik percakapan sudah habis. Farel dan Khiya seolah tidak punya percakapan basa-basi, atau percakapan random yang bisa membuat percakapan terus terjadi. Anehnya, Khiya selalu mengalami itu jika bersama Farel, dan sebaliknya. Padahal baik Farel dan Khiya bukan tipe orang yang suka keheningan. Farel saat bersama teman-temannya, dia bisa berbicara apa saja, tanpa perlu sebuah topik percakapan. Begitu pun Khiya saat bersama Aliya. Mereka dua orang yang saling membuat tembok. Khiya mungkin tidak menyadari itu, tapi itulah yang juga Farel rasakan. “Hubby, kemungkinan malam ini aku gak pulang. Aku mau temenin Aliya di sini. Orang tua Aliya, tadi sore berangkat ke luar kota dan baru bisa balik besok. Aku gak tega kalo ninggalin Aliya di sini sendirian.” “Boleh gak, By? “ Farel memperhatikan Khiya sempitas. “Asal kamu juga perhatian keadaan kamu, jangan begadang juga. Kamu tetap harus perhatian kesehatan kamu, supaya bisa jalan Aliya juga.” Khiya mengangguk patuh. Farel semakin mirip dokter pribadinya ketimbang suami, terlebih lagi ini di rumah sakit, kesannya seperti Khiya pasien yang dicemaskan oleh dokternya. Entah Khiya harus bahagia dengan semua perhatian ini, atau malah sedih? “Kalo gitu, aku pulang ya. Kalo kamu butuh sesuatu langsung telepon aku aja.” “Iya. Hem, hubby, aku titip berkas pemeriksaan ini ya. Nanti taruh di atas nakas aku aja.” Farel mengambil kertas itu. Khiya menyalami tangan Farel sebelum Farel berbalik dan pulang. Farel membawa berkas Khiya, dia meletakkan di kursi sebelahnya. Farel baru hendak menyalakan mobil, saat tiba-tiba ponsel Farel lebih dulu bergetar. Ada pesan masuk, Dari siapa lagi kalo bukan, dari mahasiswi yang akhir-akhir ini selaku menganggunya. Farel mendengus kesal. Ternyata Sania sudah memenuhi aplikasi pesannya dengan semua pesan randomnya. Dan barusan gadis itu mengirim pesan, “Selamat malam pak, good night, good dream and see you, my favorite human.” Seperti nasib pesan-pesan Sania, Farel hanya membaca saja dan kali ini juga menghapus bersih semua pesan yang mahasiswinya itu kirimkan. Jika saja Farel tidak berjanji untuk tidak memblok nomor Sania, mungkin sudah lama ia lakukan hal itu. Seperti Farel harus mengganti nomor baru. Dia tidak akan memblock nomor Sania, dan Sania tidak akan tahu nomor barunya. Farel baru memikirkan itu. Tin! Suara klakson mobil menyadarkan Farel dari pikirannya. Farel meletakan ponselnya di atas berkas Khiya dan langsung menyalakan mobilnya untuk pulang. Hanya perlu dua puluh menit untuk sampai ke rumah. “Astagfirullah, lupa ponsel dan berkas Khiya.” Farel menghentikan langkahnya yang hampir sampai pintu rumah, dan kembali berbalik ke mobil yang sudah ia masukan ke dalam garasi. Kondisi mobil yang gelap tanpa cahaya, membuat Farel harus mengandalkan indra perabanya untuk mendapatkan benda pipih itu, Farel ingat jelas kalo dia meletakan ponselnya di atas berkas Khiya. Tapi yang ada hanya berkas Khiya tanpa ponselnya. “Masyallah, jatuh ke bawa kayaknya.” Farel sedikit membungkuk meraba bagian bawah kursi. “Dapat,” gumam Farel, puas. Selalu ada sensasi puas tersendiri setiap berhasil menemukan benda yang sangat sedang dicari. Bruk! Para tikus di garasi berulah lagi. Suara gaduh mereka membuat Farel kaget dan tanpa sengaja menjatuhkan berkas Khiya. Beruk sekarang ditanganinya sudah ada ponsel yang bisa ia gunakan sebagai senter. Farel mengambil kertas itu. Farel hendak kembali memasukkan kertas itu, tapi tangannya terhenti saat tanpa sengaja ia membaca kata negatif. Farel terpancing rasa ingin tahu, sebenarnya selama menikah, Farel tidak pernah mau membaca hasil medis Khiya. Farel tidak mau bukan karena tidak peduli, justru karena dia sangat peduli, Farel jadi takut jika ternyata hasil pemeriksaan Khiya malah semakin memburuk. Dan saat Farel membaca kertas itu. Farel tertegun, Di sana tertulis bahwa hasil pemeriksaan negatif dan pasien di nyatakan sehat. **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD