Lulus

2185 Words
“Assalamualaikum...Khya.....” “Waalaikumsalam.” Hanya butuh waktu dua detik pintu rumah sudah terbuka dan Khiya sudah berdiri di ambang pintu dengan penampilan ready. “Wow..dah siap? “ takjub Aliya. Sebenarnya dia tidak heran dengan fenomena ini, mengingat Khiya memang orang yang menjunjung tinggi tepat waktu , berbeda dengan Aliya yang kadang jam karet. Tapi semenjak sering di cermain Khiya, Aliya kadang juga tepat waktu meski penyakit jam karet lebih sering terjadi. “Udah dari tadi.” Khiya tersenyum lebar. Sangat bersemangat dan bersinar. Penampilan Khiya sedikit berbeda dari Khiya yang kemarin. Khiya memakai rok psiket cokelat s**u, kemeja putih dan jilbab pasmina berwarna cream muda yang di bentuk syari—terjulur sampai ke d**a. Berbeda dengan Aliya yang sudah mirip kang supir. Aliya memakai rok buluk warna kuning, tidak senada dengan sweter gobor warna hijau dan jilbab segi empat berwarna cream. “Semangat banget, Neng, mau ke kampus,” goda Aliya. “Inikan the first. Jadi harus semangat.” “Iya dah... Lo belum tahu aja entar betapa menyebalkannya kampus,” gumam Aliya, teringat skripsinya. “Apaan sih, ngeluh terus. Udah yuk mending pergi sekarang, biar cepat selesai. Go kang supir,” kata Khiya sengaja menekan kata yang supir. “Enak aja kang supir...” protes Aliya tidak terima. “Yang lagi modis mah bebas yang...” Khiya terkekeh. “Awas hati-hati, entar ada yang naksir lagi. Buat jaga-jaga pasang tuh tulisan di belakang kamu, sudah ada yang punya atau jangan dekat-dekat udah punya suami, suaminya gak galak tapi good looking.” “Biar aman.” Mobil melaju dengan kecepatan sedang, sepuluh menit keduanya sudah sampai di kampus dan bertepatan dengan ponsel Aliya yang berdering nyaring di kantongnya. “Gak masalahkan Lo daftar sendiri ? Bokap nelepon nih... entar gue susul kalo usah telepon,” kata Alit sebelum mengangkat ponselnya. Khiya mengangguk, memperbolehkan. Gadis itu lalu keluar dari mobil sendirian. Begitu keluar dari mobil Khiya menghirup dalam-dalam udara yang ada di kampus, seolah udara di kampus berbeda dengan udara di tempat lain. Khiya sangat...sangat... bahagia. Langkah kakinya bergerak ringan menyusuri koridor untuk sampai ke ruang pendaftaran. Khiya tidak berubah sebenarnya. Ia tetap gadis yang percaya diri, pintar, riang dan supel, bahkan di hari pendaftaran saja Khiya sudah memiliki teman mengobrol, mereka membahas banyak hal mulai dari hal ringan sampai mendalam. “Nice to meet you, Khiya. Gue seneng banget bisa cerita banyak hal sama Lo. Lo asik parah sih.” Gadis itu bangkit, ia menjabat tangan Khiya sebagai salam perpisahan. “Semoga dilain kesempatan kita ketemu lagi ya. See you soon...” “Seee...” Khiya melambaikan tangannya. Khiya tersenyum, senang. Ia bahagia akhirnya ada orang selain Aliya yang menganggapnya gadis normal bukan gadis penyakitan. Mereka berbicara selayaknya orang normal, tanpa iba atau kasihan. “Udah selesai ?” tiba-tiba dari belakang Aliya menepuk pelan pundak Khiya. “Iya, barusan selesai.” “Oh... Mau langsung pulang ?” “Boleh.” Khiya masuk ke dalam mobil. Senyum masih setia bertengger di wajah cantik Khiya. “Kenapa Lo? Bahagia banget? “ Aliya melirik Khiya yang duduk di sebelah dari kaca depan mobil, sembari memantau jalan belakang untuk berbelok. “Aku sennag banget, Yak. Aku bisa ngobrol sama orang tanpa di tatap iba.” “Oh...” Aliya paham maksud Khiya. “Kenapa Lo gak protes aja sih ke Farel. Bilang, kalo Lo gak selemah yang dia pikir.” Khiya menghela nafas panjang, seolah tidak memiliki daya untuk itu. “Kenapa sih? Lo kok beda banget kalo sama Farel. Lo gak berani protes dan malah diam aja. Lo pernah bilang ke gue, selagi hal itu gak salah kenapa harus ragu untuk menyuarkannya. Lo lupa, kata-kata lo sendiri? “ “Bukan gitu, Yak.” “Terus apa? Kaliankan udah nikah, kalian bakal seumur hidup bersama, gak mungkin Lo bakal jadi gini terus. Yang ada Lo malah nambah beban.” Khiya lagi-lagi menghela nafas panjang. Sebenarnya ia tidak tahu jawaban atas semua pertanyaan Aliya. “Yak, nanti kalo dah sampai bangunin aku ya...,” kata Khiya sembari menyandarkan kepalanya di sensoran jok mobil. “Eh, nih anak, malah ngeles pura-pura tidur.” Aliya memutar bola matanya. “Jawab dulu, baru boleh tidur,” dikti Aliya. “Tapi aku juga hak tahu apa jawabnya, Yak. Aku cuman merasa setiap sama Farel, seperti ada tembok tipis yang buat pantulan diri aku hak keluar dan terus sembunyi di sudut.” “Ha? Tembok tipis? “ Aliya jengah. Khiya mulai lagi dengan bahasa kelas kakapnya. “Tembok itu namanya iba. Tembok itulah yang buat Farel tidak bisa melihat aku secara utuh,” jawab Khiya sebelum akhirnya dia benar-benar terlelap karena lelah. Aliya menoleh melihat Khiya yang sudah terlelap. Di mata semua orang Khiya itu asik, menarik. Tapi di mata Farel, Khiya hanya gadis penyakitan yang harus selalu beristirahat, akrab dengan kesedihan dan sangat rapuh. Farel tidak bisa melihat semua sisi lain Khiya yang sebenarnya. Entah karena Khiya yang terlalu pandai menutupi semua ini, atau Farel yang selalu menutup mata untuk itu? Aliya berdoa agar Khiya segera mendapatkan kebahagiaannya. Hanya itu yang bisa Aliya lakukan. ** Khiya tetap memaksa matanya, meski rasanya dia sudah sangat mengantuk. Beberapa kali gadis itu menguap dan hampir saja tertidur tapi beruntung strateginya belajar di ruang tengah agar tidak gampang tertidur, berjalan dengan baik. Setiap kali dia akan terlelap, kepalanya yang tidak ada penyangga seperti bantal atau punggung Farel mungkin, akan langsung membangunkannya, jangan lupakan juga suara nyamuk yang lebih aktif berdenging di telinganya. Selain itu, Khiya bukan tipe yang bisa tidur nyenyak selain di kamarnya. Sewaktu awal pindah juga Khiya harus membiasakan dirinya di kamar itu. Dan setelah seminggu dia baru terbiasa dan tidur nyenyak. “Ayo bangun Khiya! Jangan malas! “ gumam Khiya, kembali bersemangat membuka lembar demi lembar buku tebal itu. Besok Khiya akan mengikuti tes beasiswa. Setelah sepekan mengurusi segalanya, besok adalah stars awal perjuangan Khiya. Dia akan meraih beasiswa itu, tekad Khiya. Tekad memang sudah bulat. Tapi rasa ngantuk tidak bisa di elakkan. Itu sifat alami yang dimiliki manusia. Seberapa sering Khiya mengucek matanya, sesering itu juga ia hampir terlelep. Khiya berdiri, berolahraga ringan untuk mengusir kantuknya—menurut artikel yang pernah Khiya baca. Selain itu juga untuk merengangkan otot tulangnya yang terasa sakit karena hampir dua jam Khiya membungkuk untuk membaca buku yang ada meja. “Udah gak ngantuk lagi....” gumamnya bersemangat dan kembali duduk menghadap senua buku yang terjajar di meja, kali ini Khiya meruba posisinya menjadi sejajar dengan buku yang dia baca. Khiya duduk lesehan di lantai Sedangkan di dalam kamar, Farel juga sibuk dengan pekerjaannya. Rasa haus yang memaksanya untuk berhenti sejenak, merengangkan pinggangnya dan tanpa sengaja, mata Farel menangkap cahaya lampu yang masuk dari celah sempit pintunya. Di luar kamarnya masih terang benderang tidak seperti biasanya. Farel melirik jam dinding. Pukul sebelas malam. “Khiya pasti ketiduran, dan lupa matiin lampu,” gumam Farel. Pria itu beranjak membuka pintu kamarnya. Begitu tangannya hendak mematikan lampu, Farel baru sadar ada Khiya di sana. Khiya yang sedang memegang buku dengan posisi duduk di lantai dan buku berada di atas meja menutupi penuh wajahnya. Kepala Khiya yang oleng ke kanan lalu ke kiri dengan irama jatuh membuat Farel tahu bahwa Khiya setengah tidur. Tubuh Khiya sudah lelah tapi Khiya memaksa untuk tetap terjaga. Alhasilnya dia malah tidak tidur dengan kualitas baik dan tidak juga belajar dengan benar. Farel hendak membangunkan Khiya, tapi saat melihat buku apa yang Khiya baca, Farel baru ingat kalo besok, Khiya ada tes kuliah. Khiya sangat berusaha keras untuk semua itu. Dan Farel sebagai suami bahkan melupakan semua itu. Farel dirundung rasa bersalah. Tiba-tiba alarm ponsel Farel yang berada di dalam saku celana, berdering. Mengusik tidur setengah Khiya. Buru-buru Farel menjauh dari sana dan mematikan ponselnya. Khiya tersentak dan teringat kalo dia belum boleh tidur sekarang. Kembali lagi Khiya membaca setiap lembar buku. Tertidur sejenak tadi sedikit mengurangi rasa kantuknya. “Howmm...” Khiya langsung menutup mulutnya saat nguap. Khiya mengucek pelan matanya dan tiba-tiba Farel duduk di sebelahnya dengan membawa dua cangkir kopi di tanganya. Khiya terlonjak kaget, beruntung gadis itu tidak sampai berdiri dan membuat gerakan heboh atas rasa kagetnya. “Biar gak ngantuk,” Farel memberikan secangkir kopi hangat buatnya sendiri. Khiya bahagia bukan main, rasa kantuknya benar-benar hilang hanya dengan mencium aroma kopi buatan Farel plus senyum manis itu. Rasanya Khiya seperti berbunga-bunga. Khiya sesekali melirik Farel yang sangat fokus dengan kopinya. Dia harus mengucapkan terima kasih pada Farel. “Farel, teri—“ “Khiya, kamu sudah minum obatkan tadi? “sela Farel lebih dulu. “Tadi pas makan malam, aku lupa ingatin.” Pertanyaan itu lagi. Bolehkan Khiya muak dengan pertanyaan itu ? Sampai kapan Farel akan terus menganggapnya sebagai gadis penyakit ? Kapan Farel akan menganggapnya gadis normal? “Sudah,” Khiya menelan semua pertanyaannya bulat-bulat. “Lain kali, jangan begadang lagi ya.” Tatapan iba itu. Khiya harus terbiasa. Terbiasa di kasihin. “Iya, By. Hanya hari ini,” sahut Khiya. Lagi-lagi sangat pandai menyembunyikan apa yang ada dibenaknya. “Kalo aku temenin kamu belajar. Kamu risih gak?” tanya Farel, sama sekali tidak sadar tentang apa yang Khiya rasakan. “Aku takut, jika tiba-tiba penyakit kamu kambuh. Makanya aku mau temenin kamu, buat jaga-jaga.” Sudah Khiya duga. Farel hanya cemas pada gadis penyakit bukan gadis yang berstatus istrinya. “Boleh, kan? “ “Iya.” Tapi tolong buang tatapan iba itu, batin Khiya. Saat tanpa sengaja eyes contact terjadi antara keduanya. Andai Khiya seberani Khiya dulu tanpa penyakit lupus. Andai saja... Mungkin Farel akan mengerti. ** Dua pekan sudah berlalu, Hari cerah dan tenang ini menjadi hari yang paling di tunggu sekaligus mendebarkan bagi Khiya. Sejak Farel pergi ke kerja, Khiya sudah duduk di depan laptopnya menunggu tiap detik, jam yang di tentukan. Hasil tes beasiswanya akan di umumkan pukul sepuluh. Tepat pukul sepuluh, Khiya membuka website halaman kampus. Tapi tidak bisa. Tidak ada yang muncul di layar laptopnya, padahal sinyal internetnya penuh dan kuat. Khiya meraih ponselnya, ada panggilan masuk dari Aliya. “Assalamualaikum, Yak...” Jari-jari Khiya masih bergerak lincah, berharap layar laptop yang hanya menampilkan halaman putih segera tergantikan. “Waalaikumsalam. Eh Lo udah dapat kabar terbaru belum? “ “Kabar apa? “ “Server down. Pengumuman beasiswanya di undur sampai entar malam.” “Serius, Yak? Pantas aja aku gak bisa buka apa-apa.” “Iya kebanyakan yang akses, makanya jadi gitu.” “Oh....” “Khiya, jalan yuk... gue boring bet. Kalo kita jalan-jalan, waktu hak ke rasa, Lo jadi gak liat jam terus.” Aliya memang sangat tahu bawa sejak tadi Khiya terus memantau pergerakan jam, hingga rasanya jam seperti tidak bergerak. “Oke.” “Sip. Gue siap-siap dulu, setengah jam gue sampai di rumah Lo.” “Sip.” Panggil telepon di akhiri. Khiya langsung menekan nomor telepon Farel, panggilan telepon tapi tidak di angkat. Khiya lupa kalo Farel bilang seharian ini dia akan lebih sibuk dari sepekan terakhir. Khiya memutuskan untuk bersiap-siap terlebih dulu, takut Aliya tiba-tiba sudah sampai di depan rumahnya. Dan benar saja. Setelah Khiya selesai bersiap-siap yang hampir menghabiskan waktu setengah jam, Aliya sudah di depan pintu rumahnya. “Udah siap, kan? “ “Udah.” “Kita mau ke mana nih? Lo mau gak nonton bioskop? Kebetulan lagi ada film bagus yang dah lama banget gue tunggu.” “Oh, jadi itu alasan kamu ngajak aku jalan. Biar gak nonton sendirian kayak jomblo. Ckckckkc.... Kasihan yang jomblo,” goda Khiya. Wajah Aliya seketika kecut. “Membangun bukan jomblo, single. Garis bawahi single.” “Sama aja.” “Bedalah. Kalo jomblo gak ada lagu happynya kalo single ada lagu.... i'm single and very happy,”sambung Aliya sembari bersenandung. “ “Astagfirullah, aku lupa.” Khiya langsung mengeluarkan ponselnya. “Kenapa? “ “Aku lupa gambari Farel kalo pengumuman diundur dan juga belum izin mau pergi.” “Oh, telepon gin, sebelum jalan.” Khiya menelepon Farel, langsung di angkat. “Assalamualaikum, By. Iya, aku mau izin pergi sama Aliya. Juga mau kasih tah— oh ya udah, gak papa By....waaalikumsalam.” Khiya mengakhiri sambung telepon dan memasukan kembali benda pipu itu ke dalam tas slempang kecilnya. “Jadi sampai sekarang Farel belum tahu kan, kalo Lo daftar tes di kampus Sastranegara?” “Belum. Akhir-akhir ini dia juga sibuk banget. Makanya gak kepikiran buat nanya.” “Oh....” Aliya menangkap raut sedih pada wajah Khiya. “Ya udah entar malam kasih tahu aja pas Lo lolos biar kabar bahagianya doubel.” “Aamiin....” “Jadi fiks ya, kita montok bioskop plus makan. Kali ini biar gue yang traktir, ini hadiah buat Lo.” “Belum juga lulus.” “Insyallah, gue mah yakin Lo lulus sih. Secara Lo dah maksimal banget belajarnya. Hak belajar aja Lo bisa rengkin satu umum apalagi belajar.” “Puji terooos, kamu mau atap mobil kamu bolong?” “Hahahha ....Lo mah aneh, orang di puji senang. Lo satu-satunya spesies yang gak pernah senang di puji.” “Udah tahu gitu, masih aja diomongi, dasar sahabat.” Khiya mendengus membuat Aliya tertawa geli. “Nyertir tuh yang benar dong. Fokus,” protes Khiya. “Iya...ya... Bawel bet kek emak-emak.” . .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD