Cemas

2824 Words
“Assalamualaikum, Khy....” Terpampang penuh wajah Aliya di layar ponsel Khiya. “Waalaikumsalam.....” “Eh, kenapa suara Lo serak gitu? Lo sakit? Atau habis nangis?” Khiya menggeleng-geleng pelan. “Kamar Lo gak ada lampu ya, Khy? Atau di putus PLN karena Lo gak bayar listrik? “ sindir Aliya pasalnya kamar Khiya sangat gelap, hingga Aliya hanya melihat Khiya seperti bayang-bayang. “Yak...,”lirih Khiya. “Fixs no debat, Lo nangis, kan?” Dalam kegelapan Aliya melihat selimut yang Khiya gunakan untuk menutup kepalanya menggeleng-geleng. “Kenapa? Jangan buat gue kepikiran deh?! “ “Yak, penyakit aku kambuh.” “Kambuh? “ Khiya menghidupkan lampu tidur di atas nakasnya. Sekarang sedikit ada penerangan, hingga Aliya bisa melihat wajah Khiya dari sinar kuning lampu tidur. Tidak terlalu jelas, tapi Aliya melihat bercak itu. Ruam merah di hidung dan pipinya berbentuk seperti kupu-kupu, ciri khas penyakit lupus. “Ya ampun, Khy! Lo habis ngapain sampai bisa timbul bercak gitu? “ Khiya menunduk sedih. “Biar gue tebak! Lo tadi siang berjemur ala bule?” “Iya, Yak..” “Astagfirullah, Khy! Lo apa-apaan sih?!” Suara Aliya naik lima oktaf. “Meski Lo jadi Sania, Lo tetap Khiya! Khiya yang mengidap penyakit—“ “Lupus,” sambung Khiya, lirih. “Saat jadi Sania, aku bisa lupa pada penyakitku itu, Yak. Khiya yang dulu seolah lahir pada Sania.” Suara Aliya melunak. “Terus gimana, Khy? Mau ke gue anter ke dokter gak?” Khiya menggeleng pelan. Gadis itu masih setia menunduk, Khiya diam-diam menangis. “Terus gimana?” “Yak, kamu gak keberatan, kan...kalo aku matin panggilan? Aku mau istirahat.” Aliya mengangguk maklum. Setelah satu tahun terkena lupus, ini pertama kali Khiya mengalami ruam merah berbentuk kupu-kupu. Selama ini Khiya orang ya g cukup protektif terhadap semua hal yang boleh di lakukan atau dihidari oleh orang berpenyakit lupus. Semua perkataan dokter, Khiya patuhi dengan sami’na waaqtona. “Ya udah, Lo jangan cemas ya... itu gak permanen kok... sekarang istirahat ya, jangan dipikirin terus.” “Gue matiin ya, assalamualaikum.” “Waalaikumsalam.” Khiya mengakhiri panggilan video call. Khiya menatap dirinya di cermin. Apa penyakit ini semakin parah? Batin Khiya bertanya-tanya. Seketika rasa cemas, takut menguasai hati Khiya. Khiya tahu, kematian adalah hal yang pasti bagi setiap yang bernyawa, termasuk dirinya. Tidak ada jaminan, dia akan tetap hidup meski tidak sakit. Khiya tahu itu. Tapi dia tetap merasa takut, image bahwa orang yang sakit lebih dekat dengan kematian, memenuhi pikirannya. Khiya takut akan kematian, bukan lantaran ia cinta dunia. Dia takut, karena belum banyak amalan yang dia lakukan untuk pulang kampung ke akhirat. Khiya takut saat bertemu sang Kuasa, dia tertunduk dan menangis. Khiya takut itu... Khiya langsung menyimpan ponselnya, mematikan kembali lampu tidur dan menyelimuti seluruh tubuhnya. Khiya merasa sangat bodoh! Dia ceroboh! “Khiya...” Khiya menahan tangisnya sekali lagi, berusaha untuk tidak takut dan tegar. Tiba-tiba pintu kamar Khiya diketuk. Khiya tertegun. “Khiya, kamu di dalam? “Suara Farel. “Farel sudah pulang?” gumam Khiya, pelan. “Khiya kamu di dalam, kan? “ tanya Farel, kali ini suaranya kaya akan rasa cemas. Jika Farel melihat aku dalam kondisi ini, Farel akan semakin mengasiani aku. Farel hanya akab terus menatapku sebagai gadis penyakit, batin Khiya bersuara. Jangan biarkan Farel masuk, itu tekad Khiya. “Khiya.....” panggil Farel lagi. Khiya mengatur suaranya agar terdengar layaknya orang normal. “Iya Hubby. Aku ada di kamar. Aku mau istirahat,” kata Khiya dari dalam kamarnya. “Kamu gak keberatankan, kalo aku istirahat sekarang? “ “Maaf juga tadi aku gak bisa bukain pintu buat kamu,” kata Khiya, benar-benar tulus. “Tadi aku udah buat makanan malam buat kamu di meja makan.” “Apa kamu baik-baik aja ?” Khiya tertegun. “Khiya....” Khiya tidak bisa untuk berbohong pada Farel. Khiya meraih jilbabnya dan membuka pintu kamarnya. Khiya keluar dengan kepala tertuduk, ia melihat sepasang kaki Farel di hadapannya. “Penyakit lupusku menampakkan dirinya, By.” Khiya mengangkat wajahnya. . . Farel pulang dengan wajah lelah. Dia memang terbiasa pulang lelah, tapi kali ini...ia benar-benar lelah. Mengenai Sania tadi membuat Farel banyak terdistrak. Ada rasa menyesal dibenak Farel. Lagi-lagi Farel lari dari orang yang seharusnya dia tolong. “Kalo gitu biar Farel yang bawa, Ma...” Farel berlari-lari kecil tanpa memperhatikan langkahnya di jalan.. Dan tiba-tiba... Bruk Farel tersentak, kejadian itu datang lagi. Farel menghentikan mobilnya di tepi jalan. “Ya Allah...” Farel menjatuhkan kepalanya di stang mobil. Hatinya kembali kacau. Farel mengambil ponselnya. Mengirim pesan pada Khiya, dalam kondisinya seperti ini, Farel tidak bisa pulang. ‘Khiya, aku mungkin pulang lewat dari jam biasanya.’ Farel memutar mobilnya ke arah yang berlawanan dari arahnya pulang. Farel harus pergi ke suatu tempat dimana dia bisa menenangkan badai yang kembali datang. Satu hal yang dunia tidak tahu tentang Farel.... Farel tidak sebaik yang mereka lihat. Lima jam, Berlalu begitu saja. Farel pergi dari tempat itu. Farel lalu mampir di masjid pinggir jalan yang bertepatan mengumandangkan azan Isya. “Assalamualaikum warahmatullah...,” Farel menoleh ke kanan lalu ke kiri mengikuti gerakan imam yang mengakhiri salat. “Ya Rabb...” Farel menengadah, mengangkat sedang tanganya. Terlalu banyak hal dibenaknya yang ingin ia curahkan dalam tumpahan doa. Tapi mulutnya terasa keluh, Farel hanya bisa berdialog dalam benaknya. Betapa ini sangat dalam bagi Farel, bagian masa lalu yang tidak pernah orang lain ketahui dari Farel. “Aamiin...” Farel menyapu pelan wajahnya, air mata turun tidak terasa di kelopak matanya. “Nak, khusyuk sekali kamu...” Farel menoleh. Seorang pria paru baya sekitar lima puluh tahun, duduk di sebelah Farel menyenderkan kepalanya di dinding. “Kadang gelap membuat kita tahu seperti apa terang itu,” katanya pelan. “Bapak dari tadi perhatiin kamu, layaknya ada sesuatu yang mengganggu pikiran kamu.” Farel mengganggu, pelan. “Tidak masalah ada masalah yang terpenting jangan menjadi masalah itu lebih besar dari sang pemilik segalanya,” pria itu mendongak ke atas. “Ada Allah yang lebih besar...” Farel setuju. Tidak terasa, Farel menghabiskan waktu setengah jam di masjid itu. Farel melirik jam di tangannya dan kaget ternyata sudah pukul sebelas malam. Khiya mungkin saja cemas menunggunya. Farel mengirim pesan pada Khiya untuk tidak perlu menunggunya dan meminta Khiya istirahat saja. Beruntung Farel memiliki kunci pintu belakang, jadi jika Khiya mengunci pintu utama, Farel masih bisa masuk lewat pintu belakang yang aksesnya lebih dekat dengan kamarnya. Farel pulang ke rumah dengan kecepatan sedang. Membela jalan selama satu jam untuk sampai ke rumahnya. “Khiya sepertinya sudah tidur.” Farel membuka pintu belakang dengan sangat pelan. Farel tidak mau mengganggu tidur nyenyak Khiya. Pintu kamar Khiya tertutup rapat, Farel hendak melangkah ke kamarnya tapi terhenti saat mendengar suara tangis dari kamar Khiya. “Khiya, kamu di dalam? “ Farel sebenarnya bingung harus menanyakan apa dan saat itu hanya kalimat itu yang terlintas dibenaknya. Tidak ada jawaban dari Khiya. Suara tangisnya pun berhenti. ..... Khiya sangat pintar mengubah suaranya agar terdengar normal. “Iya Hubby. Aku ada di kamar. Aku mau istirahat.” Aku mau istirahat,” kata Khiya dari dalam kamarnya. “Kamu gak keberatankan, kalo aku istirahat sekarang? “ Farel tersenyum miris. Kenapa dia harus berbohong? Semudah itukah dia berbohong? Siapa yang coba ia bohongi? Farel menghela nafas lelah. “Apa kamu baik-baik aja ?” Gagang pintu kamar Khiya bergerak. Khiya keluar dari kamarnya. “Penyakit lupusku menampakkan dirinya, By.” Khiya mengangkat wajahnya. Farel bisa melihat ada becak di hidung dan pipi Khiya. “Kalo gitu, lebih baik kita ke dokter. Di sana kamu bisa diperiksa.” “J-jangan By,” kata Khiya cepat. Farel menatap Khiya bingung. “Hem, gak perlu. Kamu baru pulang jam segini, kamu pasti lelah,” sambung Khiya, sembari tertunduk dalam. Farel tersenyum miris. Apa kali ini dia juga berbohong? ** “Farel awas! “ Bruk ! Farel terbangun dengan nafas memburu. Keringat dingin menghiasi seluruh wajahnya. Mimpi buruk itu lagi. Farel meringgis kesakitan, tangannya dengan cepat merabah-rabah nakas untuk mendapatkan obat pereda rasa sakit. Setelah menelan obat itu, Farel menyenderkan punggungnya di kepala kasur. Rasa sakit itu sangat terasa jelas meski sudah dua puluh satu tahun yang lalu. Bahkan kaki dan tangannya tidak lagi terluka, tapi setiap mimpi itu datang, rasa sakit itu seolah kembali. Obat itu mulai beraksi. Rasa sakit yang Farel tahan mulai mengurang. Tapi rasa kantuknya seolah lenyap. Farel tidak bisa tidur. Farel ke kamar mandi, mengambil wudu dan seperti biasa melaksanakan salat tahajud. Jika biasanya Farel melaksanakan salat tahajud dua-empat rakyat, kali ini Farel melakukannya sebanyak sepuluh rakaat di sambung mengkhatamkan lima juz Al-Qur'an. Malam itu Farel benar-benar tidak tidur. Sampai azan subuh berkumandang, Farel masih terjaga. Dan langsung bersiap untuk pergi ke masjid. Salat subuh berjamaah. Setelah melakukan itu semua Farel, tidak lagi gelisah. Ia pulang dari masjid dan melihat Khiya yang tengah memasak di dapur. “Kamu tidak istirahat ?” “Kondisiku lumayan membaik. Cuman ruam merah ini aja yang belum hilang,” jawab Khiya. Farel mengangguk pelan. “Kamu buat brownis? “ tanya Farel tiba-tiba. “Dari mana Hubby tahu? Aromanya kecium banget ya? Tapi hubby kan gak suka makanan brownis...kok bisa tahu sih? “ Farel tertegun. Jelas dia tahu aroma kue bantet itu. Kue itu juga mengambil ruang dalam hidupnya, sangat berkesan hingga Farel bisa membencinya. “Baunya nyengat banget ya, By?” “Tolong Khiya, jangan buat itu saat aku masih di rumah,” kata Farel serak lalu berbalik meninggalkan Khiya. Khiya tidak tahu kalo Farel memiliki pengalaman buruk dengan brownis. Pengalaman yang tidak hanya melibatkan dirinya, tapi juga orang lain. Dan orang itu, Khiya. . . “Khy, gue ke rumah Lo ya. Gue gak sabar nih makan kue bronis Lo,” kata Aliya di sebrang sana. “Hem...,” sahut Khiya pelan. “Lo kenapa? Masih sedih masalah ruam itu? “ “Gak.” Khiya mengatur nada suaranya. “Yak, kamu datang ke sini naik mobil atau motor? “ “Hem, motor aja deh. Gue masih malas sama mobil. Gak trauma sih, cuman malas aja.” “Hem...” “Lo mau gue beliin apa nih? Gue gak enak tahu ke rumah Lo gak bawa apa-apa.” “Sejak kapan kamu gak enak? “sahut Khiya. “Eh, gue tuh emang manusia paling gak enakkan tahu. Cuman sama Lo doang gue, kayak gak punya malu.” Aliya terkekeh. “Gue serius nih, Lo mau di beliin apa? Lo kan sakit, mungkin nafsu makan Lo meningkat...” “Hem, aku mau bakso yang di dalamnya ada banyak cabe.” “Oi, Lo tuh masih sakit. Masa makan gitu sih...”Aliya memutar bola matanya, tidak habis pikir. “Udahlah kamu gak usah bawa apa-apa.” “Gue bawa cokelat aja. Kalo lagi sedih, Lo suka banget cokelat, kan? “ Khiya menghela nafas panjang. Dia mengangguk meski itu tidak berguna karena Aliya tidak akan bisa melihatnya. Khiya melihat dirinya di cermin. Ruam ini membuatnya tidak bisa kuliah, itu yang membuat dia sedih. Satu jam berlalu, Aliya sudah sampai ke rumahnya. “Udahlah, Khy. Gak kuliah sehari gak pa-pa lah. Toh, Lo juga lagi sakit.” Aliya mengunyah potongan brownis. “Btw, ruam Lo ilang setelah berapa hari? “ Khiya mengangkat bahunya. “Mungkin kalo banyak istirahat bakal cepat sembuh.” “Udah ke dokter? “ “Belum.” “Ya udah entar gue temenin. Suami Lo pasti sibuk banget. Kita naik taxi aja. Gimana? Sekalian entah mampir ke cafe favorit kita. Bosan banget gue, udah lama gak ke sana juga.” “Oke.” “Sekarang, setiap gue makan brownis, gue jadi keingat sama suami Lo yang alergi sama brownis. Emang ada ya alergi gitu? Lo gak tanya gitu kenapa dia sampai segitunya... “ Khiya teringat kejadian tadi pagi. Bukan hanya brownis, bahkan aromanya saja Farel tidak suka. “Aku gak enak kalo mau nanya hal privasi.” “Aneh banget dah Lo. Kalo jadi Sania, berani banget.” Huft! Khiya menghela nafas kasar. Dia masih teringat insiden Farel yang mengelurkannya dari tim. “Duh, gimana Yak....Gimana kalo Farel benar-benar ngeluarin aku dari tim?” Khiya termenung sedih. “Telepon aja sih, bujuk lagi... barangkali dia kasih Lo kesempatan lagi. “ “Ide bagus.” Khiya meraih ponselnya. . . Seperti biasa ketimbang duduk di ruang khusus bagi dosen, Farel lebih nyaman untuk menghabiskan waktu makanan siang di perpustakaan. Tentunya dia akan sangat nyaman bersama buku-buku pilihannya, jika saja manusia bernama Sania tidak datang mengganggunya. “Pak.... “ panggilnya pelan. Farel langsung melempar tatapan tajam, agar gadis itu tidak mendekat. “Stttsttst.... Pak...” “Ada peraturan baru di perpustakaan ini,” bisiknya lagi dari jarak yang—lumayan jauh. “Di sini gak boleh bawa makanan lagi, gak tahu kenapa plus gak boleh berisik,” sambungnya, meski Farel tidak peduli. “Pak...” “Ststststatst.... pak....” “Pak bisa bantu saya, saya lagi cari buku yang judul—“ Farel menoleh, geram. Menghentikan Sania untuk melanjutkan kalimatnya. Sania berdeham pelan. Gadis itu tidak lagi bersuara, tapi dia malah mondar-mandir di depan Farel yang sukses mengganggu fokus Farel. Farel membanting pelan bukunya. Ia tidak tahu harus bilang apa lagi pada gadis itu. “Apa yang sebenarnya kamu cari? “ tanya Farel, akhirnya. “Hem, saya cari n****+ fiksi, Pak...” “Cari di deretan sana. Bukan di rak sini.” “Oh... Oke, oke, Pak... Makasih, Pak,” Sania berlalu dari sana. Farel menghela nafas panjang. Farel pikir setelah kepergian Sania, dia akan fokus pada bukunya tapi ternyata tidak. Dering ponselnya membuat Farel harus bangkit dan keluar dari perpustakaan untuk mengangkat panggilan telepon. “Iya, baiklah semua akan saya kirim nanti malam…” Farel mematikan ponselnya. Ia berbalik hendak masuk ke dalam perpustakaan. Tapi langkahnya terhenti, “Iya sih dia cantik…” “Pintar lagi…” Segerombolan mahasiswa duduk di depan perpustakaan sembari melihat ke arah dalam, ada Sania yang duduk sedang membaca buku di dekat jendela. “Tapi… hem…” Mereka tiba-tiba tertawa, mengejek. Farel tidak mengerti apa yang mereka tertawakan, tapi Farel merasa ada hal berbeda di balik tawa mereka. “Dia kayaknya simpan dosen deh, tiap hari dia ngikutin dosen muluk. Apa jangan-jangan dia ayam kampus? Wah.... kayaknya pelayanannya handal deh. Jadi mau—“ Buk Satu pukulan tepat mengenai rahang atas mahasiswa itu, langsung membungkam mulut mahasiswa itu. Mahasiswa itu spontan langsung berdiri. Segerombolan mahasiswa yang tengah duduk bersamanya juga spontan ikut bangkit, kaget dengan kedatangan Farel yang tiba-tiba melayangkan pukulan. “Berani kamu mengatakan hal itu lagi! Laki-laki seperti apa yang senang sekali melecehkan wanita! “geram Farel. “Pak, pak Farel berhenti....” Sania datang. “Tidak perlu pak, bapak terlalu berkelas untuk melayani orang yang di otaknya hanya hal-hal gak berguna. Lebih baik kita pergi dari sini, Pak.” Farel berbalik dan tiba-tiba ada mahasiswa yang berlari ke arah Sania. Dia membawa pisau di tangannya. “Sania awas! “ Farel tersentak dari tidurnya. Farel menatap sekelilingnya. Dia ada di perpustakaan. Dan tadi hanya mimpi? Dia sendirian. Tidak ada Sania di sana. Sania bahkan tidak kuliah hari ini. Dia izin. “Ya Allah...” Farel memijat pelipisnya. Apa yang terjadi padanya? Kenapa dia terus memikirkan Sania. Apa karena rasa bersalah kemarin? “Argh...” kepala Farel berdenyut, nyeri. Efek tidak tidur semalam mulai menampakkan diri. Farel merasa seperti kekurangan darah, tubuh lemas, pikiran tidak fokus dan tanpa sadar terlelap di perpustakaan. Farel tidak bisa mengajar dalam kondisi seperti ini. Farel memutuskan untuk izin pulang. Tapi Farel tidak pulang ke rumah, ia memilih datang ke tempat rahasianya untuk menenangkan diri. Ponsel Farel berdering, tepat saat Farel berusaha memejamkan matanya. Farel tidak berniat mengangkat panggilan dari siapa pun itu. Ponselnya terus berdering, berkali-kali. Sukses membuat Farel terganggu. Farel meraihnya untuk mematikan benda pipih itu. Ponselnya kembali berdering. Tertera nama Sania di layar ponselnya, Farel terenyuh, jari Farel spontan menekan warna hijau di ponselnya. “Assalamualaikum, pak...” Farel membisu. Kenapa hatinya terasa aneh. Apa ini murni karena perasaan bersalah? “Pak, ini saya Sania. Pak.... saya mau ngomong soal yang kemarin. Pak, saya mohon jangan keluaran saya dari tim. Saya mohon pak... Kasih saya satu kesempatan lagi.” “Pak, pak Farel ada kan? Pak Farel dengar suara saya, kan? “ “Pak, kasih saya satu kesempatan lagi ya, saya mohon...” “Pak....” “Pak....” “Pak...” Farel tersadar dari lamunannya. “Iya? “ “Iya? Serius pak? Alhamdulillah ....makasih ya pak. Insyallah saya bakal tepati janji saya. Terima kasih karena bapak sudah izinin saya gabung lagi.” Apa-apaan ini? Farel tidak mengatakan ‘iya' sebagai pernyataan tapi pertanyaan. “Buruan deh minum obat....kita mau pergi.” “Iya bentar.” Farel bisa mendengar percakapan latar itu. “Kamu saki—“ “Pak kalo gitu saya matiin ya panggilannya,” sela Sania. “Saya gak mau ganggu bapak, bapak pasti sibuk kan....terima kasih sekali lagi, pak.. Assalamualaikum.” Panggilan di akhiri, sepihak. “Waalaikumsalam.” Farel menatap layar ponselnya, seperti ada sesuatu yang tertinggal di sana, tapi entah apa. **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD