“Yak, kamu tahu apa yang tadi terjadi? “ kata Khiya begitu masuk ke dalam mobil.
Aliya menatap Khiya dengan alis terangkat. “Emang ada apa? Jangan bilang tadi Lo buat yang gak-gak karena cemburu....”
“Bukan itu yang penting...ada yang lebih penting...” kata Khiya sembari memeluk botol air mineral. Gadis itu senyam-senyum gak jelas, membuat Aliya jadi negatif thinking...
“Kamu tahu, untuk pertama kalinya Farel marah.....dan itu artinya ada kemajuan.”
“Lo senang karena Farel marah? “ tanya Aliya tidak percaya untuk apa yang dia dengar, tapi melihat ekspresi bahagia Khiya, sepertinya hal ini memang sangat istimewa.
“Hal ini memang terdengar aneh, Yak.... tapi setidaknya ini lebih baik dari sekedar hemm... sudah minum obat? “Khiya tersenyum miris.
Aliya tidak bisa berkata-kata, dia tidak tahu ternyata rasa marah lebih di sukai orang dari pada rasa iba.
“Khy, Lo gak bisa gini terus.... Cepat atau lambat Farel juga bakal tahu siapa Lo.”
Khiya menoleh. “Dan sebelum hal itu terjadi, biarkan aku buat Farel mencintai Sania, Yak...”
“Khya, seberat itukah Khiya untuk menjadi Khiya agar bisa bahagia? Kenapa harus ada nama lain di kasih kalian? “
“Mungkin ini yang namanya takdir Yak. Takdir bahwa Farel gak bisa mengenali Khiya, istrinya sendiri padahal apa yang berubah dari aku kecuali penampilan aja? Bahkan Farel gak mengenali suara yang setiap hari menyapanya.” Khiya tersenyum kecut. “Tapi gak apalah....Farel mungkin belum ingat aja.”
“Khy, ingat...kalo Lo sedih, Gue akan selalu ada di samping Lo, insyallah.... Lo jangan tanggung semuanya sendiri. Lo bebas bagi semua masalah Lo sama gue.”
“Yak, boleh aku minta satu permintaan....”
“Apa? Lo gak boleh sungkan sama gue. Bilang aja apa yang Lo butuhin, insyallah gue bakal bantu...”
“Jadi supir pribadi aku ya? “ jawab Khiya, terkekeh.
“Dasar Lo... Gue pikir apa. Gue udah sad tahu....”
Keduanya tertawa. Ponsel Aliya bergetar. Ada pesan yang masuk. Wajah Aliya seketika suram.
“Kya, kayaknya Lo harus pulang naik taksi deh.....kepala gue mendadak pusing nih...,” kata Aliya tiba-tiba.
“Ya ampun, Yak, mending kita ke rumah sakit aja....”
“Gak usah, Khy,” cegah Aliya, panik. “Papa bentar lagi jemput gue...gue mau langsung pulang aja.”
“Ya udah, aku temenin sampai papa kamu datang.”
“Gak usah, Yak....” Aliya makin panik. “Lo belum minum obat siang kan? Mending Lo pulang gih sana...gue baik-baik aja. Cuman pusing doang....buruan sana pulang...,” paksa Aliya.
Aliya buru-buru menyetopkan taksi untuk Khiya, membuat Khiya tidak bisa berkutik.
“See you, hati-hati ya Khya.... “
Aliya menghela nafas lega setelah Khiya pergi.
“Gara-gara papa nih...,” desis Aliya lelah, masuk ke mobil sembari memijat kepalanya yang memang terasa migren.
***
Dari dulu aku sangat suka akhir pekan, dan setelah menikah aku semakin mencintai akhir pekan. Alasannya jelas, yap... semua karena Farel. Di akhir pekan Farel ada di rumah seharian, meski ya....Farel masih tetap sibuk dengan segudang pekerjaannya itu.
Itu tidak masalah bagiku, yang terpenting Farel ada di rumah. Itu sudah lebih dari cukup.
Setelah merapikan rumah, aku langsung beranjak ke dapur. Tadi pagi aku sudah membeli sayur kol putih, brokoli, kapri, sawi, jamur, jagung muda, bakso dan wortel dan ikan bandeng pada tukang sayur keliling.
Hari ini aku akan membuat sayur capcay bakso. Itu salah satu menu sayur favorit Farel. Dan untuk lauknya, aku sudah membeli ikan bandeng yang akan aku presto dengan bumbu kuning. Yummy.... perpaduan yang pas untuk makan siang.
Setelah memasukan ikan bandeng ke presto, aku beralih memotong sayur-mayur mulai dari wortel sampai ke pentol bakso yang aku potong menjadi empat bagian.
Rasa senang memang sulit untuk dibendung ya? Aku sangat sulit mengendalikan diri untuk tidak memasak sembari menari kecil ke kanan, ke kiri....rasanya tubuhku seperti kapas yang begitu ringan.
Bahkan aku juga bersenandung mengiringi setiap gerakan kecil yang aku lakukan sampai aku tidak menyadari derap langkah Farel yang berjalan menuju dapur.
Saat aku menyadari hal itu, Farel sudah menangkap basahku dengan tingkah konyol yang sukses membuat aku merasa sangat malu. Terlebih saat tatapan kami saling bertemu, aku terpaku menatapnya, semua seolah bergerak lambat.
“Au! “ Aku meringgis, tiba-tiba entah kenapa sendi tanganku terasa sakit. Spatula yang aku pegang seketika jatuh, menimbulkan suara nyaring di lantai.
Farel mempercepat langkahnya, menghampirku. Ia mengiring tubuhku, duduk di kursi makan, sedangkan dia berjongkok di hadapanku. Tangannya masih setia memegangi tanganku yang sakit tadi. Sentuhan tanganya terasa hangat. Rasa sakit yang aku rasakan seolah lenyap.
“Apa sekarang masih sakit? “ Wajah Farel mendongak, aku sedikit kaget karena lagi-lagi tatapan mata kami bertemu dengan jarak sedekat ini.
“Hem...” aku hanya bisa menggeleng pelan.
“Setelah beres-beres rumah kamu langsung masak? “tanya Farel.
Aku mengangguk pelan.
Wajah Farel langsung berubah, ia menghela nafas panjang. “Khiya, kamu gak boleh kelelahan...” katanya pelan.
Ingin rasanya aku menjawab, Farel aku gak selemah yang kamu pikirkan. Tapi yang terjadi aku malah membisu sembari mengulas senyum kecil.
Farel bangkit dan melepas tangannya dari tanganku. “Khiya, kamu sudah minum obatkan hari ini? “ tanyanya lembut.
Obat lagi!
Aku hanya bisa tersenyum miris... entah bagaimana aku bisa mendefinisikan betapa aku berharap pertanyaan itu tidak ada lagi dalam kamus Farel. Kami menikah untuk menjadi teman hidup, tapi Farel hanya menjadi alarm hidup yang terus mengingatkan aku untuk minum obat.
Farel sangat peduli padaku atau pada penyakitku? Sebegitu pentingkah obat, sampai percakapan akan ada hanya perihal obat dan penyakit?
“Khiya?” Farel masih menunggu jawaban tentang obat.
“Belum...” jawabku jujur.
“Khiya sebaiknya kamu istirahat di kamar dan jangan pernah lupa untuk minum obat tepat waktu. Itu semua demi kesehatan kamu...” katanya.
Aku berjalan gontai ke kamar, meninggal rasa bahagia yang tadi baru saja aku peluk...
Ya.... demi kesehatan. Farel melakukan ini demi kesehatan fisikku...
Tapi...
Bagaimana dengan kesehatan psikisku?
Farel tidak pernah bertanya selain obat, apa yang aku butuhkan?
Farel tidak pernah tahu, kalo aku hanya butuh dia sebagai dia. Bukan sebagai orang yang terus mengingatkanku tentang obat.
Beginikan kisah Khiya, si gadis penyakitan?
Aku tersenyum miris....menatap diriku di cermin.
Rasa sesak seketika menujamku. Membuat aku terduduk lemas di lantai seperti orang yang benar-benar tidak berdaya. Air mata yang entah kenapa harus datang, memenuhi pipiku... Membuatku makin terlihat menyedihkan.
Aku bukan gadis lemah.....yang bisa dikasihani. Aku bukan gadis menyedihkan untuk selalu dianggap rapuh. Aku bukan gadis tidak berdaya yang selalu tergantung pada obat. Aku tidak suka semua label tidak kasat mata yang selalu Farel tempelan di jidatku.
Semua ini menyakitiku.
Kapan Farel bisa paham semua ini?
Kapan Farel bisa mengerti bahwa aku istrinya bukan objek ibanya?
Aku bukan pasien rumah sakit yang harus selalu dia jaga...
Aku ini istrinya.....
Aku istrinya....Aku butuh dia sebagai suami bukan sebagai alarm.
Aku butuh cinta bukan obat.
**
Khiya memburu langkahnya, jam pertama sudah di mulai tujuh menit yang lalu dan Khiya baru saja sampai di kampus.
“Assalamualaikum, maaf pak saya terlambat....” kata Khiya dengan nafas berantak tentu saja.
Farel menoleh. Melirik jam tangan lalu melihat pada Khiya yang masih berdiri di ambang pintu.
“Pak, saya janji tidak akan pernah telat lagi...” pinta Khiya, agar dia diizinkan untuk masuk.
Farel berdeham pelan. Kali ini dia akan memaafkan Khiya. “Jadikan ini pertama dan terakhir. Kalo kamu telat lagi, mungkin kamu harus mengulang di tahun depan.”
“Baik, Pak....” Khiya menghela nafas lega. Gadis itu mengangguk sungguh-sungguh.
“Sekarang kamu bisa masuk.”
“Terima kasih, Pak.”
Khiya masuk ke dalam kelas, kakinya ternyata masih gemetar akibat Khiya yang nekat membawa mobil sendiri. Khiya mencoba mengalahkan rasa takut dan traumanya demi bisa benar-benar menjadi Sania. Setiap pulang kuliah, Khiya akan mengembalikannya pada Aliya.
Khiya buru-buru mencari kursi yang masih kosong. Gadis itu langsung mengeluarkan pulpen dan buku miliknya. Sebelum itu, Khiya terlebih dahulu mengirim pesan pada Aliya yang pastinya cemas dengan keadaan sahabatnya itu. Khiya tidak bisa membiarkan Aliya kesal karena mencemaskan keadaannya.
“Alhamdulillah semua baik.”
Tulis Khiya yang langsung di read Aliya.
“Dasar Lo, sahabat Gila! Gue udah was-was banget! Gue gak mau tahu entar pulang gue jemput Lo.”
Khiya terkekeh kecil dan menyimpan ponselnya.
Khiya menghela nafas berkali-kali. Ia sangat bersyukur ia bisa sampai ke kampus dengan selamat. Sejujurnya di sepanjang perjalanan Khiya masih terus di bayangi traumanya. Tangannya bahkan sampai sedingin ini.
Khiya spontan memainkan pelan pulpennya, berharap potongan-potongan trauma bisa segera pergi dari pikirannya.
Ponsel Khiya kembali berdering.
Khiya hendak mengambil ponselnya dari dalam tas, seharusnya semua berjalan normal seperti tadi jika saja tangannya yang dingin ini tidak gemetar dan menyebabkan benda pipih itu jatuh di lantai dan menimbulkan suara nyaring yang langsung menarik perhatian orang yang ada di kelas. Termasuk Farel.
Farel menghampiri Khiya. Wajahnya nampak datar, membuat Khiya gentar-gentir, bagaimana pun ia sudah banyak berbuat kesalahan hari ini. Pertama, telat dan sekarang membuat berisik di kelas plus juga tidak memperhatikan perkuliahan yang sedang berlangsung.
“Ini.” Farel memberikan sebotol air mineral yang belum di buka, Semu orang tidak menduga hal itu. Termasuk Khiya yang malah begong kayak orang oon.
“Kalo kamu sakit, sebaiknya ke UKS. Di sini kelas bukan ruangan pengobatan.” Farel berbalik ke depan lagi.
Tunggu dulu....
Apa yang barusan tadi Farel katakan?
Apa tadi benar-benar terjadi?
Farel.... Tidak peduli dengan obat...
Tidak ada kalimat, ‘kamu sudah minum obat? ‘ atau ‘Kamu harus istirahat, kamu gak boleh kelelahan.’
Semua itu tidak ada!
Pak Farel, dia tidak sama seperti Farel yang Khiya kenal di rumah.
Khiya tersenyum bahagia. Rasa takutnya seketika sirna menjadi kebahagiaan. Ternyata traumanya bisa ia hilangkan dengan keberanian dan juga senyum Farel.
Owww...
Sepanjang perlajaran, Sania terus memperhatikan Farel secara diam-diam. Farel tahu itu, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa karena Sania tidak membuat ulah dan hanya tersenyum saat tertangkap basah.
“Baiklah, cukup sekian pertemuan kita hari ini. Untuk tugas kalian bisa kirim lewat email saya.”
Kelas berakhir.
“Pak.....mau di bantu bawa berkasnya? “ Sania menghampiri Farel yang masih sibuk merapihkan berkas-berkasnya di meja. Seperti nampak ada yang Farel cari.
Farel mendengus.
“Tidak perlu,” jawab Farel dingin.
Sania malah tersenyum. Matanya melihat sebuah kertas yang jatuh di bawah meja. Sania berjongkok mengambil berkas itu.
“Mana sih kertasnya ?” gumam Farel. “Apa mungkin ada di loker....?” Farel bergegas ke ruang dosen. Meninggalkan Khiya yang terpaku pada kertas yang dia temukan.
Kertas yang Farel cari sangat berharga, karena kertas itu merupakan hasil dari riset jurnal ilmiah nasional miliknya guna kepentingan kenaikan jenjang jabatan akademik seorang dosen, sesuai Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN RB), Nomor 17 Tahun 2013 dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 92 Tahun 2014.
Farel sudah berkerja keras untuk hal ini. Dan ia malah menghilangkan kertas laporan penelitiannya. Farel berjalan gontai, berharap kertas itu segera ia temukan. Mungkin tertinggal di rumah. Itu yang Farel harapkan.
Farel bergegas ke parkiran, hendak pulang.
“Pak.....,” sapa Sania tiba-tiba entah dari mana gadis itu datang.
“Tolong jangan ganggu saya!” peringat Farel sebelum mempercepat langkahnya.
“Pak, pak tunggu....,” Sania mengejar langkah Farel, buru-buru.
Farel tidak peduli dan terus berjalan menuju parkiran.
“Pak... ya ampun, tunggu....”
“Pak... “
“Pak... jalannya jangan ngebut banget.....”
“Pak, ya ampun....”
Sania mengangkat sedikit roknya, agar bisa berjalan dengan cepat.
Farel masuk ke dalam mobil. Dan gadis itu, Sania malah berdiri di hadapan minimnya sembari membentangkan tangannya lebar.
“Pak,” kata Sania. “Jangan pergi dulu...”
Tin !
Farel sengaja mengklakson mobil agar Sania menyingkir dari sana. Semua tatapan langsung tersorot pada Sania. Sania sedikit malu karena hal itu tapi tidak berniat untuk menyingkir, sebelum Farel turun dari mobilnya.
Tin!
Farel tidak sengaja menginjak gas, mobil sedikit melaju membuat Sania kaget spontan mundur ke belakang.
Dan...
Kakinya tidak sengaja tersandung karena ada krikil di belakang, tangannya tanpa sengaja melepas kertas penting milik Farel. Kertas itu jatuh tepat di genangan air.
Farel spontan keluar dari mobil, hendak membantu Sania yang sekarang menatap nanar kertas yang sudah bersatu dengan air.
“Pak, kertasnya...” kata Sania pelan sembari menunjuk genangan air. “Kertas laporan milik bapak...,” tambahnya.
Farel ikut tertegun.
“Pak, saya benar-benar gak sengaja, Pak.” Sania memelas. “Tapi itu gak masalahkan, pak? Bapak masih punya soft file-nya, kan? “
Farel menggeleng pelan. Itu yang dia sesali, pasalnya setelah print out, Farel tanpa sengaja menghapus permanen berkas itu.
“Ya ampun, jadi gimana, Pak? “ tanya Sania ikut panik.
“Entahlah....” Farel menghela nafas panjang, pasrah.
“Ya, Pak, jangan gitu...bapak jangan pasrah gitu dong. Pasti ada cara lain,” kata Sania, menyakinkan.
“Cara apa? Deadline-nya satu bulan lagi dan mustahil membuat penelitian skala besar dalam waktu sesingkat itu.”
“Saya akan bantu bapak buat laporan itu. Saya tadi sempat baca sekilas dan saya tahu cara bisa dapat materi itu dalam skala yang lebih kecil. Temanya tetap sama kok, Pak....”
Farel berpikir, mempertimbangkan perkataan Sania.
“Pak, saya mohon biarkan saya bantu bapak. Bagaimana pun saya juga bersalah. Jadi saya mohon pak, jangan tolak saya...”
“Baiklah, saya gak akan tolak kamu.”
Mata Sania langsung berbinar. “Bapak terima saya? “
“Hem, saya akan menerima usulan kamu.”
“Terima cinta saya juga? “
Kening Farel berkerut.
“Ah bapak, jangan kaku gitu dong, bercanda dikit kan gak papa...” Sania terkekeh pelan.
“Jangan bercanda hal semacam itu lagi. Ini terakhir kalinya saya maafkan.”
“Idih serem amat si pak, untung suka.”
Farel berdecak pelan, melangkah masuk ke dalam mobil.
“Pak, nanti turunin saya di halte itu aja.”
Farel kaget, Sania sudah duduk manis di dalam mobilnya.
“Kamu ngapain di dalam mobil saya? “
“Saya... duduk aja pak... Emang boleh berdiri? Enggak, kan? Si bapak lucu deh.” Sania terkekeh, meski tidak ada yang lucu.
“Saya mau nebeng nih pak... Sekarang kitakan partner, iya maksudnya partner buat jurnal gitu pak... jadi sesama partner ada baiknya saling tolong menolongkan pak? “
“Kalo begitu naik taksi saja, saya yang bayar.” Farel hendak mengeluarkan dompetnya.
“Kenapa mesti naik taksi kalo bisa naik mobil bapak? Bapak konsumtif banget dah... harus hemat dong pak. Hemat pangkal kaya, kata pepatah lama.”
“Tidak bisa. Di mobil ini hanya ada kamu dan saya, ini melanggar prinsip saya dan juga di dalam agama Islam itu tidak diperbolehkan, tidak boleh ada iktilab antara perempuan dan pria yang bukan Mahrom.”
Sania tersenyum, Farel tidak tahu kalo dia Khiya. Istri sahnya.
“Jadi kamu silahkan keluar dari mobil saya. Dan untuk masalah kamu yang berniat membantu saya, saya akan mengajak beberapa mahasiswa juga. Jadi tidak hanya kita berdua saja.”
Sania tidak menghiraukan perkataan Farel. Sania malah sibuk mengetik sesuatu di ponselnya. Setelahnya dia tersenyum lebar.
“Masalah iktilab akan selesai...” desis Sania pelan. Senyum gadis itu mengembang.
Farel tidak tahu apa yang gadis itu lakukan tapi dia jelas sadar akan ada hal tidak terduga yang terjadi.
“Bisa turun sekarang? “ kata Farel.
“Tunggu bentar, Pak....saru menit lagi...”
“Baiklah. Biar saya yang turun.” Farel meraih pintu mobilnya, pintu mobil belum sepenuhnya terbuka, tiba-tiba segerombolan gadis yang terdiri dari sekitar tiga orang menghampiri mobil Farel.
Sania, si pelaku... membukakan pintu untuk ketiga gadis itu dan dia pindah duduk di kursi depan sebelah Farel.
“Terima kasih ya, Pak atas tumpangan gratisnya.”
Ketiganya masuk dan duduk rapi di belakang.
“Sania tadi yang kasih info di grup kelas, kalo bapak mau kasih tumpangan gratis ke halte depan.”
“Iya, lumayan untuk ngirit uang bulanan. Sering-sering gini ya, Pak.”
Sania tersenyum lebar pada Farel.
“Tuh pak, gak iktilab kan plus bapak bisa bantuin orang yang lagi kesulitan juga...” kata Sania pelan.
Huft...
.
.