Khiya menatap punggung orang yang lalu lalang di jalan, tanpa berniat apa-apa. Jari jemari, gadis itu sejak tadi hanya memutar-mutar sedotan di gelasnya dengan pikiran yang melayang jauh. Khiya membiarkan dirinya menikmati keramaian yang ada di meja-meja orang sedangkan di mejanya, ia hanya duduk sendirian menghadap ke arah jendela cafe. Khiya memang sengaja tidak mengajak Aliya. Dia hanya ingin duduk sendirian.
Pikiran Khiya melayang pada boneka beruang semalam. Saat ditanya Farel hanya bilang, itu boneka milik seseorang.
‘Siapa?’
Itulah yang terus menganjal benak Khiya. Dia.... Seperti mengenali boneka itu. Tapi kenapa? Apa dulu dia memiliki boneka yang sama sehingga terasa familiar?
Mungkin saja... Khiya mengangguk pelan. Dia menyedot es alpokat miliknya yang sudah tidak dingin lagi.
“Boleh duduk di sini gak? “
“Meja yang lain ramai. Dan di sini kosong.”
Entah kenapa mata Khiya tertarik melihat kerah pria yang sejak tadi berwajah laptop. Maksudnya, sejak duduk di sana Khiya sama sekali tidak melihat wajah pria itu. Pria itu terlalu mentapakuri laptopnya
“Eh, astagfirullah, itu hubby.”
Khiya baru sadar saat Farel sedikit mengeser wajahnya dari layar laptop melihat kearah gadis-gadis itu.
Khiya spontan membekap mulutnya. Bagaimana bisa, Khiya tidak menyadari itu? Padahal laptop itu, ya...itu laptop pak Farel yang sering dibawa ke kelas dan di rumah.
Farel mengedarkan pandangnya, Khiya spontan langsung memutar tubuhnya.
“Iya, boleh...duduk saja.”
Farel bangkit.
“Eh, mau ke mana? Saya ganggu ya? “
“Tidak. Kamu boleh duduk di sini.”
“Dan kamu? “
“Saya akan duduk di sana.”
“Kenapa tidak duduk di sini? Saya duduk ke sini, buat dekatin kamu.”
Farel tersenyum canggung. “Maaf.”
“Ck..kenapa malah minta maaf ?”
“Silahkan duduk di sini.”
“Ck!” wanita itu memutar bola matanya, dengan. Dia bangkit dari kursi dan...
Byur....
Tiba-tiba gadis itu menyiram Farel dengan jus jeruk miliknya. Semua orang di cafe spontan langsung menyoroti keduanya.
“Kenapa mas selingkuh? “
“Mas jahat banget! “
“Setelah mas selingkuh sekarang mas mau campakin aku? “
“Apa yang gak aku beri buat mas? “
“Aku udah relain segalanya!”
“Kenapa mas jahat banget sama aku! “
“Aku gak nuntut banyak! Aku cuman mau mas bertanggung jawab!”
“Apa aku salah?! “
Gadis itu menangis tersedu-seduh. Farel bingung dengan kondisi ini. Semua mata kini menatapnya tajam.
“Mas.... Kenapa mas hancurin hidup aku gini? “
“Kenapa mas ?!”
Dahi Farel berkerut. “Apa maksud kamu? Kita aja baru bertemu—“
“Diam kamu mas!”
“Kamu jahat banget ya! Sekarang kamu bilang gak kenal aku! Kamu gak ingat aku! Ha!”
“Nona anda salah orang, saya—“
“Kamu masih mau bela diri terus mas!”
Farel menggeleng pelan, keributan ini sangat tidak penting. Farel jelas tahu, gadis ini mau mengenalnya. Farel mengambil laptopnya, tidak ada gunanya melandeni orang yang tidak waras.
“Kamu mau ke mana mas! “ Gadis itu hendak, menahan lengan Farel. Beruntung sebelum tangan gadis itu mengenai lengan Farel, Khiya sudah berada di tengah mereka.
“Siapa kamu?!”
Khiya menatap gadis itu dan tiba-tiba langsung memeluk gadis itu. Gadis itu kaget hingga tidak sempat mengelak.
“Ya ampun Sinta...aku gak tega liat kondisi kamu yang gini,” kata Khiya dengan nada super iba.
Gadis itu spontan langsung melepas pelukan Khiya. “Kamu siapa sih? “
“Ya Allah... Ternyata benar ya, makin parah...” Khiya menggeleng-geleng dramatis. “Sekarang masa kamu gak kenal aku sih? “
“Kamu siapa? “
“Ya ampun...” Khiya memasang wajah kecewa. “Aku sedih banget kamu gak ngenalin aku. Padahal kita udah kayak darah dan jantung. Tapi sekarang kamu gak kenal aku ....hwwhwhwhwhwh....” Khiya pura-pura mewek.
“Dasar gila! Gue gak kenal sama Lo! “
“Ya ampun.... Ternyata penyakit kamu dah parah banget.”
“Penyakit apa sih!” Gadis itu menggeretak kesal.
“Penyakit kamu... hem... Aku gak tega bilangnya. Aku tahu kamu lupa sama aku. Ia okey gak masalah.... Orang juga bakal maklumi penyakit kamu ini... “ Khiya menepuk-nepuk pelan pundak gadis itu.
Gadis itu mengedarkan pandangnya, kini tatapan hina pada Farel, malah berubah menjadi tatapan iba ke arahnya.
“Maaf ya mas... Sahabat saya ini emang, hem ....gitu mas... Bukan mas aja yang diginiin... Saya selaku sahabatnya minta maaf banget ya mas, atas semuanya.”
Dahi Farel berkerut. Ia jelas mengenali gadis yang ada dihadapannya sekarang. Khiya memberi kode pada Farel bahwa Farel harus ikut saja alur cerita yang dia buat. Farel menangkap kode itu melalui tangan Khiya .
“Iya tidak masalah.”
“Maaf sekali lagi ya mas... Hufft saya jadi gak enak. Tapi ini emang salah saya, gak seharusnya saya tinggal dia. Hem.....”
“Dasar cewek gila! Lo siapa! Gue gak kenal! “ teriak gadis itu kesal.
Khiya mengedarkan pandangnya, membuat mimik meminta maaf pada semua orang.
Gadis itu keki, ia malu dengan tatapan semua orang. Buru-buru dia meraih tasnya dan langsung lari dari cafe itu. Khiya masih memainkan perannya. Dia pura-pura panik dan berlari mengejar gadis itu keluar cafe.
Farel melihat itu. Dan dia hanya bisa geleng-geleng kepala, bingung. Ponsel Farel berdering.
Panggilan masuk dari nomor Sania.
“Pak buruan keluar! Urgens nih! “
‘Tik tok! ‘
“Buruan pak!” Khiya muncul diam-diam setengah terlihat di jaga jendela tepat Farel duduk.
“Keluar...” katanya dengan isyarat mulut tanpa suara.
Farel segera bangkit, menyimpan laptopnya dan segera keluar cafe.
“Stststtstst...”
Farel menoleh.
“Sini pak...”
“Kenapa kamu sembunyi gini ?”
“Ststsstt, diam pak...”
“Kenapa? “ Farel mengikuti arah pandang Khiya. Mereka mengintip di balik dinding. Tidak jauh terlihat gadis tadi dan...
“Tuh, pak, gadis itu suruan cewek yang waktu itu mau jebak bapak.”
“Gladis? “
“Gila ya teh cewek. Kemarin gagal, sekarang mau buat malu pak Farel.” Khiya menggeleng dramatis.
“Selalu saja gadis itu,” ujar Farel pelan.
“Kita harus kasih pelajaran, Pak. Gadis itu lama-lama makin kelewatan batas aja. Kemarin mau jebak, sekarang mau bikin malu...terus lagi gara-gara dia pak Farel jadi banyak dapat masalah, sampai harus pindah kampus....”
“Dari mana kamu tahu semua itu ?”
“Ha? “Khiya menoleh.
“Kabar saya pindah kampus karena Gladis? Apa selain kamu semua orang sudah tahu? “
Kasihan hubby. Dia pikir semua ini rahasia kampus dan dia saja—batin Khiya. Nyatanya berita ini sudah menjadi rahasia umum, dan pelakunya tentunya Gladis.
Khiya mengangguk pelan.
Farel refleks langsung membuang nafas, lelah.
“Ayo kita labrak sekarang pak.”
“Tidak perlu.”
“Eh? Kenapa gak perlu pak ? Mumpung orangnya masih di sana tuh ....bapak gak boleh terus-terusan diam gitu dong...”
“Biar nanti saya urus. Ngelabrak dia sekarang gak ada gunanya, malah bakal bikin ribut di jalan aja.”
Khiya menyulitkan matanya, ke arah Farel. “Bapak emang gak kesel sama tuh manusia satu itu ? “
“Saya kesel. Karena itu saya gak mau ke sana.”
“Loh kok? “
“Udah biarin aja.” Farel menarik dirinya dari balik dinding.
Lima detik berikutnya, Khiya juga) a melakukan hal yang sama.
“Bapak gak takut gitu, kalo sekarang di diamin lagi... ulah dia bakal semakin jadi? “
Terlihat Farel lagi-lagi menghela nafas panjang, yang sebenarnya sudah menjelaskan bahwa ia sangat lelah dengan semua ini.
“Tidak masalah, insyallah, Allah yang akan melindungi saya. Selain itu saya juga punya penjaga. Dia selalu jadi pelantara menolong saya. Dia sangat baik.”
“Siapa pak? “
“Kamu.”
**