"Enggak, Adrian! Gak ada yang harus kita bicarakan lagi. Hubungan kita sudah selesai!" seruku di depan wajahnya. Adrian nampak terkejut sebab aku berbicara keras padanya.
"Ada, Nami. Ini tentang kita. Tentang perasaanku yang tidak bisa berpaling darimu."
Aku menghempaskan tangan Adrian yang memegangi bahuku.
"Jangan sentuh! Dengar ya, Adrian." Aku mengarahkan telunjuk ke depan wajahnya. "Hubungan yang pernah terjalin di antara kita itu salah. Kita berkhianat dari pasangan masing-masing. Kita telah menodai ikatan pernikahan dengan perselingkuhan dan aku sangat menyesal pernah melakukan itu," tandasku. Berharap ia paham dan tidak lagi menemuiku.
"Aku mencintai suamiku. Maaf karena aku pernah menjadikanmu pelarian di saat aku kecewa pada Mas Bima," ucapku lirih. Aku sadar, perkataanku barusan akan melukai hati Adrian.
"Kembalilah pada istrimu. Perbaiki hubungan kalian demi Rashi. Jangan egois, Iyan. Jangan mengabaikan perasaan Rashi hanya karena kamu tidak mencintai ibunya."
"Enggak, Nami! Aku sudah terlanjur mencintaimu." Tangan Adrian memegang lenganku, tetapi dengan cepat aku menepisnya. "Aku tahu kamu menderita hidup bersama Bima setelah dia menikah lagi. Tidak ada lagi yang bisa kamu perjuangkan dari pernikahan kalian."
Aku terkekeh getir. Apa yang dikatakan Adrian tidak sepenuhnya salah. Aku sangat tersiksa ketika harus menyaksikan perlakuan mesra Mas Bima pada istri mudanya. Namun, demi Vano, aku akan menahan sesakit apa pun itu. Anggap saja apa yang terjadi pada pernikahan kami saat ini adalah hukuman dari perbuatanku.
"Kamu salah, Iyan. Aku akan mempertahankan pernikahan kami demi Vano. Aku dan Mas Bima sudah sepakat tidak akan berpisah demi putra kami."
Adrian mengusap kasar wajahnya. Biarlah ia kecewa karena hubungan kami memang tidak pantas untuk dilanjutkan. Tentang perasaannya padaku, aku yakin itu hanya rasa sesaat ketika dia merasa jenuh pada istrinya. Tidak ada yang namanya cinta sejati jika diawali dengan pengkhianatan.
"Pergilah dan tolong jangan ganggu aku lagi. Aku tidak ingin anakku sampai curiga pada kita," ucapku lirih sebelum meninggalkannya dan menuju mobil di mana Vano menunggu di sana.
"Aku tidak akan berhenti, Namisya! Aku akan tetap mengejarmu!" Adrian berteriak. Aku sempat tertegun mendengar perkataannya yang terdengar seperti ancaman. Namun, aku berusaha untuk tetap abai, meski sebenarnya aku khawatir ia akan berbuat nekat.
"Om tadi siapa, Ma?" Pertanyaan Vano membuatku gugup. Meski ia baru berumur empat tahun, tetapi putraku ini sangat kritis, apalagi yang berhubungan dengan mamanya.
"Dia teman Mama."
"Kok Om itu narik-narik tangan Mama?"
Nah, kan. Vano tidak akan berhenti bertanya sampai kecurigaannya terjawab.
"Itu ... tadi dia mau minta tolong sama Mama tapi malu takut ada yang dengar," jawabku diserang gugup. "Eh, nanti pulangnya Vano mau beli mainan lagi, gak?" Aku mengalihkan pembicaraan. Semoga saja putraku melupakan kejadian hari ini dan tidak melaporkannya pada Mas Bima dan berakhir pria itu salah paham.
"Enggak, Ma. Mainan Vano kan masih banyak."
"Ya sudah. Kita masuk, yuk! Kasian Tante Mirna nungguin Mama."
Kami berjalan berdampingan memasuki Butik. Sapaan beberapa karyawan hanya aku tanggapi dengan anggukkan, sebab pikiranku masih terlalu kalut atas kehadiran Adrian yang tiba-tiba. Sepertinya bercerita pada Mirna akan mengurangi sedikit kegundahan. Aku tidak bisa memendamnya sendirian, apalagi yang berhubungan dengan mantan selingkuhanku itu.
*******
"Mbak Nami sama Vano baik-baik saja, Mas. Tadi pagi mereka berangkat ke Butik dan pulangnya seperti biasa."
Sayup kudengar suara Salwa dari dalam kamarnya. Aku tertegun dan mengurungkan niat untuk mengetuk pintu setelah mendengar namaku dan Vano disebut dalam pembicaraannya entah dengan siapa.
"Iya, Mas tenang saja. Mereka pasti baik-baik saja."
Aku bergegas menjauh dari kamar Salwa ketika mendengar derap langkah mendekati pintu. Jangan sampai ia memergoki diriku tengah menguping pembicaraan mereka. Aku menduga, yang menghubungi Salwa adalah Mas Bima.
Ah, andai dugaanku benar, ternyata Mas Bima tidak sungguh-sungguh mengabaikanku. Ia masih menanyakan kabarku pada istri mudanya, meski sebenarnya aku berharap suamiku itu menghubungiku langsung.
"Mbak Nami sudah makan?" Salwa menghampiriku yang sudah duduk di ruang keluarga. Mataku memicing melihat wajahnya yang nampak sendu, pun dengan matanya yang sembab.
Apa dia se-sedih itu karena ditinggal Mas Bima ke luar kota?
"Belum. Aku nungguin kamu," jawabku sedikit ketus. Ah, susah sekali bersikap biasa saja padanya.
"Kenapa gak makan duluan saja? Aku belum lapar. Lagipula, aku mau sholat isya dulu. Atau ... Mbak Nami mau sholat bareng?"
Aku tertegun.
Sholat?
Ah, entah kapan terakhir aku menjalankan kewajiban yang satu itu. Seingatku, semenjak Mama meninggal, aku mulai melupakan sholat.
"E-enggak. Kamu sholat saja duluan. Aku nunggu kamu di sini terus kita makan bareng," jawabku sedikit salah tingkah. Malu rasanya karena aku tidak lebih baik darinya soal ibadah, bahkan mungkin lebih buruk.
"Baiklah. Tunggu sebentar ya, Mbak. Aku janji gak akan lama," ujarnya dengan tersenyum, kemudian beranjak dari hadapanku.
Kuhela napas panjang sembari memikirkan ajakkan Salwa barusan. Jujur saja aku merasa tersentuh dan entah mengapa ingin melakukannya. Aku sadar, sudah terlalu jauh dari Tuhan. Mungkin karena inilah aku mengambil langkah yang salah di saat pernikahanku dengan Mas Bima sedang berada di titik jenuh.
Perlahan, kaki ini melangkah menuju kamar Salwa. Hatiku tergerak untuk melihatnya melaksanakan sholat. Dari celah pintu yang sedikit terbuka, aku menyaksikan adik maduku tengah khusuk dalam sujudnya. Hatiku bergetar. Tangisku pecah mengingat betapa hinanya diri ini yang berlumur dosa.
Cukup lama aku mematung di depan kamar Salwa, hingga tidak sadar ia sudah berdiri di depanku. Ia tersenyum lembut. Aku sempat terpaku melihat betapa manisnya senyuman itu.
"Maaf sebelumnya, Mbak. Kalau boleh, aku ingin mengajukan permintaan sama Mbak Nami," ucapnya seraya menggenggam tanganku.
Bagai terhipnotis, aku mengangguk dan tidak menepis genggaman itu.
"Berubahlah menjadi lebih baik, Mbak. Aku yakin, pernikahan Mas Bima dan Mbak Nami akan kembali seperti dulu." Suara Salwa bergetar. Tak lama kemudian, buliran bening meluncur dari kedua sudut matanya.
"Maafkan aku yang hadir di antara kalian." Salwa tergugu. "Tapi percayalah, meski ada aku, cinta Mas Bima untuk Mbak Nami masih sama besarnya seperti dulu. Dia ... dia sangat mencintai Mbak Nami. Aku tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Mbak."
Genggaman tangan Salwa makin erat. Aku bisa merasakan kepedihan di setiap kata yang ia lontarkan.
Ada apa sebenarnya? Kenapa Salwa terlihat putus asa seperti ini?
🍁🍁🍁🍁🍁