Terpukul

1069 Words
Tangis Mbak Esti telah reda, setelah melihat pesan yang kuterima pada ponsel. Semua rasa sedihnya seakan lenyap, berganti dengan rasa penasaran. Sesekali senggukan masih menghiasi wajahnya, tetapi tak se-instens sebelumnya. Lirikan sinisnya seakan menjadi ancaman untukku. Ia terus berusaha membuatku tak enak hati dengan menatap penuh curiga. Aku bahkan membuang muka darinya, agar tak ada rasa sesal jika tak membuka suara padanya. Meski tentu saja, ada sebersit rasa tak enak, ketika melihat raut mukanya dari sudut mataku. Hampir tiga jam kami lalui hari dengan menunggu. Dalam kesetiaan kami menunggu, kami juga setia dalam diam. Tak ada lagi hal yang perlu dibicarakan. Semua kalut dalam resah masing-masing. Menanti kabar dari dokter, tentang keadaan selanjutnya dari Bagus. Pak Darma bagai orang stres. Beberapa kali bergumam sendiri tak jelas. Sesekali melenguh kesal, tanpa ingin mengatakan keresahan dalam hatinya. Tak ada yang berani mengusik. Bahkan Papa sekalipun. Hanya sesekali meliriknya yang tampak emosi dengan dirinya sendiri. Aku dan Lucky, memilih untuk memainkan ponsel. Berusaha sok sibuk, meski tetap saja turut tegang dalam situasi ini. Beberapa kali ponsel Pak Darma berdering, tetapi ia seperti enggan menyentuh. Membiarkan nada dering terus berbunyi sampai berhenti dengan sendirinya. Aku paham betul, itu pasti panggilan dari Bu Winda. Rupanya ia tak ingin menambah beban pikirannya untuk saat ini. Lebih memilih menunggu hasil yang pasti dari ruangan yang masih tertutup beberapa meter dari tempat kami duduk. Segala kecamuk dalam d**a ini terasa menghentikan isi otak. Aku tak dapat lagi berpikir. Hanya bisa menunggu dan menunggu, berharap kabar dari dokter tak mengecewakan. Meski tentu saja semua bakal berakhir menyedihkan. Bakal banyak hati yang hancur setelah semua ini. Seorang perawat berjalan menuju kami. Detak jantungku bahkan terasa kian cepat, saat perawat itu berhenti tepat di depan kami. “Keluarga Raharja?” Seketika Papa dan Pak Darma berdiri dari duduknya. “Hanya ingin menyampaikan, jika operasi telah berjalan lancar. Pasien masih dalam keadaan tak sadar efek obat bius. Boleh menjenguk, tetapi harap tenang, dan jangan diganggu. Terima kasih.” “Terima kasih informasinya,” balas Papa lembut. Perawat itu mengangguk, dan segera berpaling dari kami. Dalam gaungan suara hak sepatu pantofel miliknya. Pak Darma mengikuti langkahnya dari belakang. Diikuti Papa dan Mbak Esti. Sementara aku dan Lucky masih bergeming di tempat. Menatap ketiga manusia yang tampak tegang berjalan meninggalkan kami. Lucky melirikku dengan raut cemas. Tampaknya ia sama tegangnya dengan mereka. Tak tahu harus berkata apa. Aku sendiri tak yakin sanggup melihat ekspresi Bagus nanti, jika dia tahu keadaan dirinya yang tak lagi sempurna nantinya. “Yakin tak ingin ikut nengok Bagus?” tanya Lucky yang membuatku ingin berpikir ulang. “Kita harus menyemangatinya. Ia butuh banyak kata pacuan agar bisa bangkit. Ini soal mental.” Baru kali ini kalimat yang dilontarkan Lucky sangat bijak. Tanpa candaan, tak seperti biasanya. Ya, kami harus turut andil untuk menemui Bagus. Ia butuh kawan, ia butuh bantuan jika saja nanti ia terbangun dari ketidaksadaran. Kami harus jadi seseorang yang selalu ada untuk saat ini. Mungkin, selamanya. Aku mengangguk. Lucky terlebih dulu berdiri dari duduknya. Merentangkan tangan kanannya padaku, mencoba mengajak. Meski ragu, kubalas uluran tangan itu dan turut berdiri menyejajari. Ia menepuk bahuku lembut, lalu merangkulnya dan mengajak berjalan. Dari kejauhan, punggung Papa masih terlihat dari sini. Kami mengikuti arah mereka dan terus berjalan lurus. Tiba-tiba sosok-sosok yang tak kasat mata kembali menghiasi penglihatan. Sejauh mata memandang, di tiap sudut dan ruang, beberapa penampakan mulai mengganggu perjalanan. Aku berusaha tenang dan biasa, meski tentu saja jantung terasa berpacu lebih cepat. Meski berusaha tak menghiraukan, nyatanya tubuh ini meluruhkan keringat dingin. Membuat Lucky akhirnya menyadari gelagatku yang tak biasa. “Kamu kenapa? Tegang banget.” Aku mendengar suara Lucky, tetapi suara dari sosok-sosok itu lebih mendominasi isi kepalaku. Teriakan, tangisan, tawa, serta lolongan minta tolong menyempurnakan kengerian ini. Mungkin wajahku kini sudah sepucat mayat. Terus menahan diri untuk menahan rasa takut. Bahkan, ketika Lucky mengarahkan kami masuk ke dalam ruangan. Aku masih belum sepenuhnya sadar. Tepat di pojok ranjang tempat Bagus telentang. Ada sebuah penampakan wanita dengan kaki sebelah. Wanita itu tampak bahagia menatap keadaan Bagus yang sama dengan dirinya. Aku hanya bisa meneguk ludah, berharap sosok itu tak tahu jika aku bisa melihatnya secara nyata. Semua kengerian ini seketika lenyap, tatkala kulihat Pak Darma sesenggukan di pojok ranjang. Kulihat kaki sebelah kanan Bagus yang kini berbalut perban. Tak ada lagi telapak. Tak ada lagi jemari. Hanya sebuah kaki panjang sampai mata kaki. Hati ini rasanya mencelus. Sangat shock! Tangisan Mbak Esti turut pecah di sini. Papa memeluknya erat, berharap meredam suara dan tak mengganggu istirahat Bagus. Sungguh pemandangan yang sangat menyentuh. Tak bisa diungkapkan dengan kata. Aku bahkan bingung menempatkan diri. Terlalu menyesakkan d**a. Kulirik wajah Bagus yang masih tenang di atas kasur, dengkuran lirihnya bisa kudengar dari sini. Entah, bagaimana nanti jika ia bangun. Tak bisa kubayangkan. Saat itu pun tiba. Perlahan tubuh Bagus bergerak. Seperti kebanyakan film di sinetron yang pernah kutonton. Jemarinya mulai menunjukkan pergerakan. Kami terdiam. Secepatnya Pak Darma mengusap air mata yang sejak tadi mengucur tanpa permisi. Ia berdehem dua kali, bersikap setegar mungkin untuk putra tercintanya. Begitu pun Mbak Esti. Ia menahan isakkannya dengan mengembuskan napas berat. Menampilkan Senyuman semanis mungkin untuk menyambut kesadaran Bagus. Aku dan Lucky pun sama. Masih berdiri di depan pintu dengan wajah seceria mungkin. Kelopak matanya mulai terbuka. Sorot matanya mulai memperhatikan sekitar, dimulai dari plafon ruangan, menatap wajah Pak Darma yang duduk paling dekat dengannya, kemudian beralih pada Papa dan Mbak Esti yang berdiri berdampingan di belakang Papanya. Satu senyuman mengembang memenuhi wajah yang tampak pucat itu. Bola matanya bergerak padaku dan Lucky yang turut lega melihatnya siuman. “Al, kamu nggak papa?” Ada sebuah perasaan yang ingin melompat dari d**a. Kenapa di saat seperti ini, ia malah memikirkan orang lain. Belum sadarkah ia dengan kondisinya sendiri? “A-aku baik-baik saja,” jawabku penuh bimbang. Entah pandangan mata ini kenapa ingin tertuju pada kaki Bagus. Beberapa kali tak sengaja aku melirik ke bawah. Tepat pada kakinya yang berbalutkan perban. Ia sepertinya mengerti dan merasa, perlahan berusaha untuk duduk. Pak Darma bergegas mendekat. Mencoba membujuknya agar kembali berbaring. Namun, Bagus seperti sudah merasa ada yang tak beres dengan kakinya. Ia memaksa duduk, meski Papanya berusaha memberi pengertian. Hingga ketika tubuhnya sudah sedikit tegak, dapat melihat keadaan tubuh bagian bawahnya. Ia terdiam. Mematung seribu bahasa. Mbak Esti membekap mulutnya sendiri. Linangan air sudah siap ditumpahkan. Bagus menatap kakinya lekat-lekat. Tak berpaling dari sana. Kami hanya bisa pasrah, melihat dirinya tampak terpukul dengan kondisi barunya.

Read on the App

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD