Chat Lama

1029 Words
Mobil melesat cepat menuju rumah sakit di mana Bagus dirawat. Tak sabar rasanya ingin tahu keadaannya kini. Segala pikiran buruk berkecamuk dalam otak. Bahkan, aku seperti orang linglung. Dibingungkan keadaan. Aku hanya melirik suasana jalanan dari balik kaca, tepat di samping Lucky yang sibuk menyetir dengan kecepatan lumayan. Berharap segera datang ke tujuan. Aku ingat betul suara cemas Mbak Esti di seberang telepon. Ia tak pernah sekuatir ini sebelumnya. Apa lagi ada sangkut pautnya dengan Bagus. Lelaki yang bahkan tak pernah membuatnya terkesan. Tetapi kenapa beberapa menit lalu ia terdengar begitu sedih? Apa yang membuatnya demikian? Mungkinkah, apakah? Beragam kata tanya muncul memenuhi kepala. Sungguh tak ingin aku menerka-nerka. Tetapi keadaan ini selalu memunculkan tanda tanya besar. Ah, bisa-bisa aku benar gila jika terus tak fokus. Beberapa waktu ini sering kali kudengar kata ‘gila’ tiap kali aku berulah. Jangan sampai mereka menganggapku benar-benar tak waras, hanya karena masalah yang membebaniku beberapa waktu ini. Tanpa sadar tepukan pada lengan atas membuyarkan lamunan. “Hei, sudah sampai.” Aku menoleh pada Lucky yang seperti bingung dengan keadaanku. Mataku menjelajah ke sekitar. Tampaknya mobil sudah berada di area parkir rumah sakit. Ah, waktu begitu cepat berlalu. Sepertinya baru saja aku melihat lalu lalang kendaraan di balik kaca ini. Sekarang sudah disuguhkan senyapnya suasana rumah sakit. Kami segera turun, berjalan menuju resepsionis, untuk mencari tahu di mana ruangan Bagus Raharja. Namun, seketika pandanganku penuh dengan pergerakan aneh dari berbagai sosok di tiap sudut ruangan. Ada yang menangis, ada yang berusaha menahan bagian-bagian tubuhnya yang hampir copot dari badan. Bahkan ada yang menyeringai dengan wajah penuh luka. Sudut mataku begitu awas menatap pemandangan mengerikan ini. Mencoba setenang mungkin agar tak ada yang sadar jika aku bisa melihat mereka yang tak kasat mata. Aku bagai berada di rumah hantu, siap bertemu dengan hal yang lebih mengejutkan lagi. Meski tentu saja bukan hal yang baru untukku. Kenapa mata ini kembali seperti saat awal aku memiliki kemampuan? Tak bisa mengontrol mana yang perlu diperhatikan. Semua tampak nyata terpampang tanpa bisa kucegah. Lucky melirikku curiga, saat pertanyaan yang dilontarkannya tak mendapat jawaban dariku. Aku terus saja tegang, memperhatikan sekitar, dengan keringat dingin yang mulai mengucur dari tiap pori-pori kulit. “Al, kamu kenapa lagi, sih?” Jemarinya melambai tepat di depan wajahku. Tanpa kusadari, seorang wanita sudah berada di depan kami, menatapku aneh. “I-iya, Ky. Kenapa?” Lucky berdecak kesal. Melirikku sebal. “Nama panjang pasien siapa, Pak?” tanya wanita yang terhalang meja panjang nurse station. Aku masih belum sepenuhnya sadar. Pasien? Pasien apa? Yang ada di otakku kini hanyalah penampakan-penampakan seram di sekitar area tempatku berdiri. Aku belum paham apa yang dikatakan wanita ini. “Astaga, Al? Mau sampai kapan kamu begini terus?” Lucky melotot padaku penuh geram. Kubalas tatapannya dengan kernyit tak paham. “Siapa nama Bagus? Bukannya kamu ingin tahu bagaimana keadaannya saat ini?” Otak ini seketika berputar, menggulung beragam cerita sebelumnya. Ah, segala kecamuk dalam kepala ini benar-benar membuatku stres, hingga terasa hilang akal. “Oh, Bagus ... Bagus Raharja,” ucapku memutar kepala pada resepsionis. Wanita itu langsung mengetik nama yang kusebut pada keyboard depan mejanya. Menatap layar yang sengaja dimiringkan ke kiri, sebagai alat penunjang pekerjaannya. “Bagus Raharja masih berada di ruang ICU,” tutur cepat wanita dalam balutan setelan formal berwarna merah maroon. Kami mengangguk, secepatnya Lucky menarik tubuh ini mengikutinya. Tanpa bertanya lagi. Ia seolah hafal dengan ruang di rumah sakit ini. Terus berjalan tanpa bertanya lagi di mana ruang ICU yang dikatakan resepsionis di depan. Atau, ia sengaja cepat-cepat menyeretku agar tak lagi melamun dan termenung seperti sebelumnya? Gerakan refleks Lucky mampu membuat sosok-sosok yang kulihat sebelumnya tak lagi kutemui. Mereka seakan lenyap, saat kami melangkah cepat membelah lorong-lorong panjang. Padahal, keadaan tampak lenggang dan sepi. Biasanya suasana seperti ini, cukup bisa membuat sosok-sosok seperti itu muncul kapan saja tanpa permisi. Sampai di suatu ruang dengan beberapa orang menanti di kursi-kursi panjang. Kami terhenti. Mataku menjelajah sekitar. Sambutan Mbak Esti menemui kami dengan mata berkaca-kaca. Ia langsung berdiri dari duduknya, berjalan menujuku dan langsung memeluk tubuh ini erat. Sesenggukan dalam pelukan. Aku hanya diam, membalas pelukannya dengan mengusap punggungnya lembut. Menenangkan. Bibir ini ingin mengucap tanya, tetapi hati tidak. Membiarkan Mbak Esti menumpahkan kesahnya lebih dulu, agar lebih kuat dengan hal yang kini mengalutkan hatinya. Tampak Pak Darma bersandar pada tembok, menengadah dengan tatapan kosong. Begitu pun Papa, ia hanya menatapku dan Mbak Esti yang masih bergumul dalam rangkulan. Lucky menempatkan diri duduk di sebelah Papa, berbicara dengan suara yang tak bisa kudengar dari sini. Beberapa meter dari kursi panjang yang ditempati mereka. Aku mulai mengusap rambut Mbak Esti, mengajaknya menyudahi pelukan. Berjalan pelan dengan menggandeng bahu Kakak yang masih menempelkan wajah pada dadaku ini. Di bangku sebelah kanan tempat Papa dan lainnya duduk, aku menjatuhkan p****t. Masih dengan tubuh lemas Kakakku yang terus saja menangis. Perlahan kudengar percakapan antara Lucky dan Papa. “Kaki Bagus tak bisa lagi ditolong. Remuk dan hancur. Sekarang dalam proses operasi untuk diamputasi.” Kalimat terakhir yang diucapkan Papa bagai petir yang menyambar tubuh. Seketika sengatannya menghangatkan tubuhku. Memaksa mata untuk mendelik sempurna. Tak percaya. “Astaga ... saya turut berduka. Pak.” Lucky menatap Papa dan Pak Darma yang masih bergeming di sebelah Papa. Suara tangis Mbak Esti kini kian kuat. Baju bagian dadaku bahkan telah basah. Kueratkan pelukan pada tubuh Kakak yang seakan penuh sesal. Kini aku paham, mengapa Mbak Esti begini. Hati mana yang tak hancur, mendengar calon suaminya mengalami nasib yang bakal mengubah seluruh hidupnya. Entah, apa Bagus kuat menghadapi semua ini nantinya? Aku tak yakin mentalnya akan sekuat baja. Ia lelaki dengan hati selembut kapas. Pastilah hancur saat tahu keadaan fisiknya yang tak lagi sempurna. Sebuah getaran pada ponsel, membuatku melepas rangkulan pada Mbak Esti. Kurogoh saku dan membuka layar, memastikan apa yang sedang masuk. Sebuah pesan dari nomor yang tidak kukenal kembali mengernyitkan kening. [Bagaimana dengan semua kejadian hari ini? Mengesankan, bukan?] Rahangku seketika bergemeletak. Menahan emosi. Sebenarnya siapa dirinya? Kenapa ia ingin kami celaka? Kutekan tombol kunci ponsel, ketika Mbak Esti melirik isi pesan masuk. “Siapa, Al?” Tubuhnya diangkat sedikit tegak, menatapku lekat. Seperti ingin agar aku membuka suara. Kubalas pertanyaannya dengan gelengan dan senyuman. Mengunci mulut rapat-rapat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD