Flashback

1472 Words
Aku seorang pemuda dengan kesempurnaan dalam hidup. Kata orang-orang, wajah dan tubuhku good looking. Lumayan pintar, dan tentunya mempunyai keluarga yang perfeksionis. Siapa yang tak iri denganku? Aku dan kakakku Esti, adalah dua saudara dengan segala kemewahan hidup. Usia kami terpaut empat tahun. Mbak Esti adalah gadis yang cantik. Tubuhnya molek, kulit putih dengan mata sipit dan lesung pipit khas orang cina. Papaku memang ada keturunan Cina dari Nenek. Akan tetapi, mamaku asli Jawa, dengan kulit kuning langsat dan mata belo yang memesona. Tidak seperti Mbak Esti, aku mewarisi seluruh perawakan Mama. Hingga kadang membuat teman-temanku tak percaya bahwa kami saudara kandung. Bagai gula dan kopi saat kita bersanding. Meski tak hitam-hitam amat, jika bersanding dengan Mbak Esti, tentu aku terlihat begitu kontras dengan kulit putihnya. Papaku, Andri Wicaksana adalah seorang presiden direktur perusahaan farmasi terkenal. Tak ayal, sejak kecil kami hidup bak putra-putri mahkota. Tercukupi, mewah dan berkelas. Sungguh hidup yang diidamkan semua orang, bukan? Sejak awal Kakakku sudah digadang-gadang akan dijodohkan dengan anak kolega kerja Papa, untuk memperluas jaringan perusahaannya. Namun, Mbak Esti secara terang-terangan menolak perjodohan itu, karena tak sanggup melihat perangai sang calon dengan segala kesombongannya. Saat Mbak Esti mulai remaja, lelaki itu sudah mulai menggencarkan aksinya. Sering kali mampir ke rumah dengan alasan main, tetapi sebenarnya memang berusaha mendekati Mbak Esti. Papa selalu membuka lebar pintu rumah untuk dia, Bagus raharja. Pemuda mapan calon Kakak iparku. Usianya dan Mbak Esti terpaut tujuh tahun. Hal itu yang membuat Mbak Esti malas, karena berpikir bahwa ia terlalu tua untuknya. Sebab, saat itu Mbak Esti masih SMP sedangkan Bagus sudah di jenjang kuliah. Ditambah lagi sifat arogan dan sombongnya. Ia benar-benar tak menyukai sedikit pun apa yang ada dalam diri Bagus. Apalagi perawakannya, dia tak begitu tinggi. Mungkin sama tingginya dengan Mbak Esti. Badannya gempal kekar karena selalu ikut gym. Kedua lengannya besar mengembung seperti tokoh animasi popeye. Kulit sawo matang dan rambut sedikit ikal. Sebenarnya dia manis dengan hidung mancung dan brewok tipis di pipi. Namun, entah mengapa Mbak Esti begitu muak dengannya. Ketika Mbak Esti beranjak dewasa dan masuk ke perguruan tinggi. Jarak usia antara dirinya dan Bagus tak lagi terlihat jauh. Bahkan, makin ke sini aku melihatnya tampak serasi. Namun, tidak dengan Kakakku itu. Ia bahkan semakin malas saat Bagus tebar pesona padanya. Sore itu, Bagus datang ke rumah saat Mbak Esti pulang kuliah. Ia datang dengan mobil sport kuning hitam dengan suara dentuman knalpot yang menderu. Saat mobil diparkir di halaman depan, ia melihat Mbak Esti turun dari motor matic merahnya. Ia membuka jendela kaca mobil dan tersenyum mengerling. Mbak Esti semakin jijik dibuatnya, ia bergidik dan segera berlari kecil masuk ke dalam rumah. Sebenarnya Mbak Esti sudah punya SIM A. Akan tetapi ia malas memakai mobil. Ia lebih suka dikenal dengan segala kesederhanaannya. Beda sekali denganku yang agak songong. Bukan berniat sombong sih, tetapi kenyataannya memang berpunya. Mungkin orang lain saja yang menganggap demikian. Aku yang sedang berada di ruang tengah, sedang asyik main game di TV sebesar 50 inchi. Suara dentuman tembak menggelegar memenuhi ruangan. Kulihat Mbak Esti datang dengan wajah sebal dan mengentak-entakkan kakinya. Ia melihatku sekilas, kemudian menghampiri dan segera mematikan televisi. Aku kaget, melongo dan seketika marah karena levelku yang sudah tinggi harus hilang sebab keisengan Mbak Esti. "Gimana sih Mbak!!" Kubuang stik game di hadapannya penuh kesal. "Budeg tau gak?!" jawabnya begitu saja sambil berlalu menuju kamarnya. Kulihat Bagus masuk ke dalam rumah dengan setelan celana jeans sobek dan kaus hijau army. Aku terkekeh, mungkin ini yang membuat mood Mbak Esti yang tiba-tiba meninggi. Ia mengedarkan pandangan dan melihatku, segera kusetel TV kembali dan mengajaknya duduk di sampingku, lalu kuajak dia battle. Ia pun mengiakan mantap. Kulirik wajahnya, mulus tanpa kerut dan noda, mungkin dia habis peeling atau facial di salon. Baunya wangi dan segar. Aku heran mengapa cowok sekeren Bagus ditolak mentah-mentah sama Mbak Esti. Ia benar-benar cowok metro seksual yang mementingkan penampilan. Sangat kentara sekali ia merawat tubuhnya. Begitu bersih dan sempurna. Aku hampir kewalahan menghadapi permainannya. Ia bahkan sangat serius memainkan perannya, aku semakin gelagapan dibuatnya. Benar-benar skill dewa, hanya beberapa menit saja aku sudah kalah telak dibuatnya. "Walah Al, segini doang kemampuan gaming mu,” katanya mengejek. Duh ... jengkel aku dibuatnya. Mungkin benar kata Mbak Esti, kalau sombongnya sundul langit, kubalas dengan mesem saja. Karena kesal, aku berhenti dan meletakkan stik game di meja lalu hendak berdiri. "Eh mau ke mana?" ia menarik tanganku, "Ambil minum buat kamu," jawabku cuek. Padahal sudah terlalu kesal karena kalah. "Mbak Esti suruh ke sini dong ...." Ia mendongakkan wajah padaku, sembari mengatupkan kedua tangan di d**a. Berharap aku mau menurutinya. "Ya kalo dia mau, sih." Bibirku menyungging. Nggak yakin Kakakku itu bakal mau menemuinya. "Ayolah nanti tak ajarin trik main game biar menang." Ia mengerling dan mengangguk untuk merayu. Kulirikkan bola mata ke atas untuk berpikir. Lantas, mengacungkan jempol, lalu beranjak menuju kamar Mbak Esti. Begitu malas dan dengan langkah gontai aku melangkah. Tepat di depan pintu kamar dengan tempelan nama ‘Esti', tanganku mengetukkan pintu. Kutempelkan pipi pada pintu jati itu dan mulai berteriak. "Mbak ditungguin Bagus tuh ...,” kataku di depan pintu tanpa menunggu pintu terbuka. Tak ada jawaban. Kuketuk lagi penghalang sekat itu, dengan intens lebih kuat dan cepat. Ia mulai menyahut tanpa membuka pintu. "Suruh pulang aja, ngapain, sih!" teriaknya dari dalam kamar. "Kasian lah Mbak, tuh orang udah capek-capek dari salon loh?" Pintu seketika dibuka paksa, menampakkan wajah kesal Mbak Esti dari dalam. "Dia itu cowok apa cewek sih? Pake nyalon segala." Aku terkikik, jurusku benar-benar mampu membuatbya terbangun. Dalam pintu yang sedikit terbuka, tampak laptop dalam kamarnya menyala. Kudorong pintu yang terbuka setengah itu lalu masuk ke dalamnya. Kulihat laptop di atas kasur, memperlihatkan wajah seorang lelaki yang sedang menanti. Aku semakin penasaran. "Kamu lagi VC an? Sama siapa?" Kucoba mendekati laptopnya mencoba memastikan, tetapi ia menghalangi dan mendorongku untuk kembali ke luar. "Eh ... eh ... anak kecil dilarang sok tahu." Kucoba memperjelas pandanganku, tetapi lelaki itu malah menundukkan kepalanya. Mbak Esti terus mendorongku untuk keluar. Gagal aku melihatnya, sebal sudah pasti. Pintu seketika di tutup kasar. Membuatku memejam tepat di depannya. Aku pergi dari kamarnya dan hendak ke dapur, samar-samar kudengar suara seseorang tergelak bersama Bagus, kuintip mereka di ruang tengah. Kutemukan Papa di sana sedang asyik mengobrol sesuatu, entah apa aku tak bisa mendengarnya. Bagiku ini lucu, Papa yang terlalu berharap pada Bagus, dan Mbak Esti yang malas dengan segala ke muakkannya. Entah bagaimana nanti akhirnya, aku tak berharap apa-apa. Setelah mengambil minuman dingin dalam kulkas, aku kembali ke ruang tengah untuk menemui Bagus. Tampak dua lelaki di sofa sedang tergelak, saling puji dan berbalas tentang pekerjaan masing-masing. Aku tak mau tahu dan masa bodoh. Sebab, saat itu aku masih di kelas tiga SMA. Aku tak mau tahu tentang rumitnya masalah kantor atau pabrik. Yang kuinginkan hanya main dan menikmati masa remajaku. Melihatku berjalan menenteng tiga kaleng soda, Papa langsung menolehkan pandang. Seperti biasa, ia akan memuji dan memberi contoh untukku melalui Bagus. Malas rasanya, tetapi kucoba biasa saja dan sedikit menimpali untuk menghormatinya. "Aldi, contoh nih si Bagus, dia udah mulai punya usaha sendiri loh. Masih muda, tampan, dan mapan, keren pokoknya,” tutur Papa padaku, aku hanya tersenyum. Jika saja Mbak Esti yang diajak bicara mungkin dia sudah muntah seketika. "Mana Mbak Esti? Katanya mau dipanggilin?" tanya Bagus sambil celingukan mencuri pandang di belakangku. "Lagi pusing katanya, mau istirahat saja,” jawabku berbohong, lalu menghambur duduk bersama di samping Papa. Beberapa menit kami lalui dengan basa-basi yang terasa membosankan bagiku. Bagus yang bercerita muluk-muluk perihal pekerjaan dan komunitasnya, dan Papa yang tak henti-hentinya ber-woah woah ria. Padahal menurutku tak ada yang istimewa. Ting ... tong .... bel rumah berbunyi. Tergopoh Bi Sumi berlari kecil menghampiri pintu depan, setelahnya dia menghadap Papa dengan sedikit menunduk menunjukkan rasa hormatnya. "Tuan ada yang nyariin, katanya namanya Doni," ujar Bi Sumi, Papa mengernyitkan kening tanda heran. "Doni siapa?” tanya Papa. “Kurang tahu, Tuan. Sepertinya seorang sopir. Dia memakai seragam seperti karyawan yang biasa ke sini. Tapi saya nggak pernah melihatnya sebelumnya.” Alis Papa semakin bertaut, penasaran. “Baiklah suruh dia masuk ke ruang tamu. Akan kutemui sebentar lagi.” Bi Sumi mengangguk dan segera berlalu. Beberapa detik kemudian, Bi Sumi kembali menemui kami dan memberitahu Papa, jika tamunya sudah berada di ruang tamu. Papa mengangguk dan beranjak dari sofa. Ia melangkah menuju ruang depan, sementara aku dan Bagus masih setia di ruang tengah. Kudengar suara Papa begitu renyah mengobrol, membuatku penasaran. Aku pun berdiri untuk mengobati rasa keingintahuanku. Diikuti Bagus yang langsung mengikuti langkahku. Mungkin, ia sama penasarannya denganku. Di ambang pintu antara ruang tengah dan ruang tamu. Aku terenyak kaget, seketika bergeming di tempat. Bagus menyamai langkahku, lalu melihat penuh heran. “Kamu kenapa, Al?” Mataku membulat, melihat perawakan sosok pemuda yang duduk di depan Papa. Baru kali ini kulihat seorang manusia yang membuatku tercekat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD