Awal Kisah Kemampuan

1187 Words
Aku sudah berada di sebuah ruangan yang dipenuhi orang-orang gila. Duduk berseragam atasan dan celana biru, sama persis dengan para pasien lainnya. Meja sudah dipenuhi piring dan gelas, siap untuk makan malam. Beberapa pasien ada yang anteng duduk sambil senyum. Sedang lainnya ribut sendiri, ada yang tertawa, ada yang hanya diam dengan muka geram, bahkan ada yang menangis meraung-raung hingga beberapa perawat laki-laki mencoba menenangkannya. Sementara aku duduk di depan kakek tua. Seorang lelaki yang beberapa hari ini selalu memilih duduk di depanku. Ia selalu memandangku sembari tersenyum senang. Piring di atas mejaku sudah tersaji dengan lauk ayam bumbu kuning dan oseng sayur wortel, jagung manis, dan buncis. Kusuapkan sesendok nasi ke mulut. Dia terus memandangku lalu berkata, "Cucuku ... kamu sudah besar ya?" Aku hanya tersenyum dan mengangguk untuk membalasnya. Seperti biasa, ia akan tersenyum kegirangan lalu berjingkat-jingkat sambil bertepuk tangan. Kucoba membaca pikirannya, kosong .... Ya, mereka yang benar-benar gila hanya akan terlihat kosong dalam pandanganku. Beda halnya dengan mereka yang masih waras. Terkadang, suara-suara isi otak mereka membuatku pusing. Aku memang mempunyai kemampuan membaca pikiran seseorang sejak enam tahun yang lalu. Saat itu usiaku 16 tahun. Aku mengalami suatu kecelakaan saat pulang sekolah, dengan menaiki motor ninja hijau kesayanganku. Kisah cinta masa remaja kala itu membuatku kesal. Entah, karena terlalu kalut soal asmara dengan gadis kekasihku, pikiranku jadi melayang. Aku mengendarai motor dengan kecepatan tinggi untuk meluapkan segala amarah. Semua disebabkan ketika kulihat Adinda sedang bercanda dengan sahabatku, Lucky. Kecemburuan yang tak terkontrol, membuat otakku kacau. Hingga aku tak menyadari lampu lalu lintas yang memerah. Aku terus melaju dengan kecepatan di atas normal. Kutarik gas tanpa peduli lalu lintas yang tengah ramai. Melesat di sela mobil dan motor yang melintas, ke kiri dan kanan. Layaknya pembalap di arena balap. Hingga tangan dan kakiku tak lagi bisa mengontrol motor yang terlalu kencang. Meski sudah kutekan rem begitu dalam, tak dapat lagi kuhindari sebuah truk dengan muatan batu bata yang melintas, ketika berada pada pertigaan jalan. Motor seketika hancur dan kepalaku terbentur hebat tertindih beberapa batu bata. Darah menggenangi jalanan. Teriakan wanita dan anak-anak di tengah jalan, menjadi suara terakhir yang kudengar, sebelum akhirnya mataku memejam. Aku hampir berpikir jika nyawaku tak selamat. Seperti melayang, tubuhku terasa begitu ringan. Tak kusadari, ternyata hampir dua minggu aku mengalami koma. Kata Kakakku, Esti. Mama setiap hari menangisiku, mengusap-usap wajah dan tubuhku. Juga berbisik pada telingaku lembut, untuk berusaha membangunkanku. Semenjak kejadian itu, aku mulai bisa membaca pikiran setiap orang. Dimulai saat pertama membuka mata setelah koma. Kulihat wajah Mama dan Kak Esti di sebelah kananku. Mama belum mengatakan sepatah kata pun, tetapi aku bisa membaca isi pikirannya saat itu juga. Ia sangat bersyukur, aku telah kembali pulih dan sadar sepenuhnya. Awalnya aku tak mengerti. Bagaimana bisa suara isi otak mereka begitu saja melintas di kepalaku, tanpa harus mengatakannya? Aku hampir tercengang dan tak paham. Bahkan, terasa sangat aneh. Belum lagi mata batinku bisa melihat ‘mereka' yang tak kasat mata. Badanku terasa panas dingin saat melihat penampakan yang bermacam-macam. Bahkan, aku sampai histeris ketika menemukan sosok-sosok itu tetiba muncul di mana saja. Entah ini mukjizat atau justru petaka, tetapi aku sendiri mulai risi. Karena tanpa menebak-nebak aku sudah pasti tahu kemauan setiap orang baik yang buruk maupun yang baik. Semua itu malah membuatku malas berinteraksi dengan orang. Karena suara-suara hati mereka terus menggema dalam otakku. Hingga sekian lama aku pun mulai terbiasa dan mulai bisa mengontrol otakku. Seperti saat ini, aku tidak bisa menebak isi pikiran kakek itu, karena mungkin otaknya sudah menurun kekuatannya sebab gila. Ia terus bertepuk tangan kegirangan, tak memedulikan isi piringnya yang mulai mendingin. Meski beberapa kali sudah kusuruh ia memakan jatahnya, ia tak menghiraukan. Terus tertawa dan memanggilku dengan sebutan cucu. Melihat si kakek yang tak menyentuh sedikit pun makanannya, suster Dila menghampiri kami. Begitu lembut dan penuh kasih, ia membujuk si kakek. "Kakek makan dulu ya, nanti sakit loh! Kalo sakit, nanti nggak bisa ketemu cucunya lagi," bujuk suster Dila, suster yang selalu sabar mendampingi kami setiap hari. "Lha ini, cucuku sudah ketemu!" katanya sembari menudingku, mencoba menunjukkannya pada suster Dila. Kami bertiga tersenyum merekah, kakek itu terlihat bahagia, berkali-kali ia menggenggam tanganku sambil disuapi oleh suster Dila. "Makasih ya Al, biasanya susah lo ini makannya, sejak kamu di sini lumayan banyak perubahan sama orang-orang, mulai ringanlah pekerjaanku," ucap suster Dila sambil tersenyum padaku. Aku terus mengunyah makananku sambil mengulas senyum simpul. Kucoba memutar otak, mulai membaca pikirannya. Sepertinya, Suster Dila mulai menyukaiku. "Arrrgghh ... arrgghh ...." Suara seorang pasien mengagetkan seluruh ruangan, kulihat ia melompat ke atas meja, memporak porandakan makanan yang tersaji, ia membungkuk sambil terus mengeram seperti seekor singa. Pasien perempuan banyak yang menjerit histeris, menangis, marah. Seluruh perawat keteteran memegang pasien-pasien yang mengamuk, beberapa diarak masuk ke ruangan masing-masing, mencoba mengurangi kefatalan yang akan terjadi. Pasien di atas meja masih mengeram, kulihat dengan mata batinku, tubuhnya menghitam menandakan ia telah kerasukan. Beberapa dokter mulai masuk membawa suntik dan mencoba memegang pasien itu. Meski enam orang perawat berusaha menangkapnya, tetapi tak ada yang bisa. Ia terus melompat dan mengamuk, membuat para tenaga medis kewalahan. Kekuatannya bahkan melebihi pegangan enam lelaki itu. Kulihat suster Dila mencoba memegangnya dari belakang. Akan tetapi, pasien itu segera menaikkan badannya dan membuatnya terjungkal ke belakang. Ia tampak merintih kesakitan. Sedang si pasien yang mengamuk semakin liar melompat dan mengeram. Setenang mungkin, aku berusaha diam mengikuti apa yang diinginkannya. Lantas, mendekat dan mencoba bernegoisasi. "Heh ... metuo, ojok nggawe goro!" (Hei ... keluarlah, jangan bikin masalah!) kataku dengan bahasa jawa. Sebab, aku hafal betul dengan para penghuni di rumah sakit ini. Seketika ia menolehkan wajah kasar padaku. Menatapku dengan sorot mata tajam. Penuh amarah. Sekali lagi ia mengeram. “Ojok melok-melok. Iki dudu urusanmu!” (Jangan ikut campur, ini bukan urusanmu!) “Opo masalahe?” (Apa masalahnya) "Wong iki wes ngincak buntutku, lorooo! Bakal tak gawe loro dewe! Arrgghh ...." (Orang ini sudah menginjak ekorku, sakiiiit! Bakal tak buat sakit sendiri! Arrrghh....) "Atas nama wong iku aku njaluk sepuro, tulung metuo!!" (Atas nama orang itu aku meminta maaf, tolong keluarlah!!) "Arrghh ... bakal tak sepuro nek aku di ke'i pitik ireng, dekek'en nang nisor wit asem." (Arrghh ... bakal kumaafkan jika aku diberi ayam hitam, taruhlah di bawah pohon asem) "Setuju." Dengan segera pasien itu melemas, tergeletak jatuh dari atas meja. Ia pingsan. Para dokter dan perawat langsung mengerubunginya lalu memberikan beberapa suntikan. Suster Dila yang sempat terjengkang, berjalan pincang mendekatiku. "Kamu ngomong apa tadi sama dia?" "Siapkan ayam hitam dan taruh di bawah pohon asem sekarang!!" Ia dan beberapa perawat lelaki mengangguk, lalu bergegas pergi untuk menyiapkan. Sebab, jika tak segera dilaksanakan, penghuni pohon asem itu bakal terus mengusik pasien tadi. Setelahnya, kami bubar dan memasuki ruangan masing-masing. Semenjak aku di sini sudah ada kurang lebih sepuluh kejadian pasien yang kerasukan. memang karena penghuni di sini rata-rata orang gila, hingga dengan gampangnya barang-barang halus memasukinya. Para tenaga medis banyak yang berterima kasih padaku, karena sejak adanya aku, pasien-pasien yang kerasukan dapat dengan mudah tertangani. Dua bulan sudah aku berada di sini, di rumah sakit jiwa. Atas usulan kakak iparku, Doni. Ya ... dialah orang yang menghancurkan hidupku, meleburkan semua cita-citaku. Merampas seluruh kebahagiaanku. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD