Chat Misterius

1120 Words
Mobil membelah jalanan tepat di tengah malam. Interogasi polisi, benar-benar menyita banyak waktu kami. Aku memilih duduk di kursi belakang, menemani Bagus yang terus merintih, menahan jemari kaki yang bagian sekitarnya kini tampak membengkak. Sedangkan jari kelingkingnya diperban melingkar. Kulirik wajah yang tadi begitu bersih dan mulus, sebelum akhirnya pucat pasi dengan peluh yang tak henti mengucur. “Apa kata dokter tadi?” tanyaku mencoba mengalihkan perhatiannya. Ia menggerakkan bola matanya padaku, dengan raut penuh cemas. Lantas, menggeleng. “Tak ada, hanya bagian kelingkingnya hampir patah. Ngilu sekali.” Disenderkannya kepala pada sandaran kursi, menengadah dengan alis terus bertaut. Aku tahu ia menahan. “Mungkin, obatnya belum bekerja sepenuhnya. Setelah ini, pasti akan reda.” Kepalanya mengangguk tanpa mengubah posisi. Kembali bola matanya melirik padaku. “Jangan sok tegar, lihat lukamu sendiri. Bahkan, lebih banyak.” Aku meringis. Membalas tatapannya. “Hari ini adalah hari sial kita.” Kami terkekeh. Kulihat wajah Papa dari spion atas kaca. Ia tampak ikut terkikik, meski tak turut menghambur dalam percakapan kami. Beberapa menit, kami lalui perjalanan dalam keheningan. Hanya deru mesin mobil yang mengiringi lintasan malam ini. Kuangkat lengan kiri untuk melihat jam pada pergelangan tangan. Menunjukkan pukul 01.15 malam. Pantas saja, mataku terasa begitu lengket dan ingin mengatup. Kuhitung sekitar tujuh kali sudah aku menguap, berusaha menahan kelopak yang ingin menutup. Mungkin, ini efek obat yang kuminum setelah ditebus Papa saat di klinik . Tanpa kusadari, aku tertidur dalam setengah perjalanan menuju rumah. Sampai akhirnya Papa menepuk pahaku pelan, saat mobil sudah terparkir di garasi rumah. Kulihat kursi sebelahku sudah kosong. Aku sampai melewatkan waktu untuk mengantar Bagus pulang. Bahkan, tak sempat mengucap kata pamit padanya. Kepala terasa berdenyut karena terbangun dengan kaget. Apalagi tertidur dalam posisi duduk. Tak nyaman. Penuh malas serta ngilu di setiap luka dan kepala, aku ke luar dari mobil. Papa sudah menungguku di luar pintu, bersiap membantuku berjalan. Ia mengalungkan lengannya pada pinggangku dan mulai mengajak melangkah. Sementara sebelah lenganku melingkar di atas bahu Papa. Tertatih kami berjalan sampai di depan pintu. Tanpa memencet bel, kunci pintu sudah terdengar diputar dari dalam. Pintu pun terbuka. Kutemukan wajah Mama dengan raut cemas, berdiri di ambang pintu. “Kenapa lama sekali? Mama khawatir tahu! Mana ponsel Papa nggak bisa dihubungi lagi. Dan kamu, lupa bawa gawai.” Matanya membulat sempurna menatapku. “Ada sedikit masalah,” jawab Papa enteng. Lantas, menarik pinggangku untuk mengajak masuk. Kami melewati Mama yang terlihat kian penasaran. “Masalah apa? Kenapa tak mengabari?” Mama berjalan mengikuti langkah kami di belakang. Ia terus saja bertanya, sampai aku sudah berada di kamarku, lantai atas. “Sudahlah, Ma. Kita bahas besok, ya. Kasihan Aldi, dia capek. Mama juga tampak lelah. Kenapa tak tidur? Sudah jam segini pula.” Papa balik bertanya pada Mama yang membuatnya berhenti untuk menanyakan apa yang telah kami alami. Ia terdiam, menghela napas pelan. “Sudah, sudah. Ayo kita ke luar. Biarkan Aldi istirahat. Papa juga sudah ngantuk berat.” Papa menyeret tangan Mama yang masih ingin tahu. Dalam seretan tangan Papa, ia memandang Papa dan aku bergantian. Namun, tak berani membantah. Hanya pasrah ditarik lelakinya menjauh dari kamarku. Mereka menutup pintu dan membiarkanku sendiri. Menikmati waktu dini hari yang beberapa jam lagi akan menuju pagi. Dalam keremangan malam, kurasa mata begitu segar sebab sempat tertidur di mobil. Meski kucoba memejam dan mengubah posisi tidur berkali-kali, tetap saja susah untuk terlelap kembali. Aku berdecak, meremas rambut sendiri kesal. Kulirik jam beker di atas meja kecil sebelah kasur. Pukul 02.50. “Aahh ...!” Penuh sebal aku memekik sendiri, sampai suara denting pada ponsel, membuat konsentrasiku untuk tidur semakin pecah. Kuraih benda pipih di sebelah jam dan mengetuk layar. Pada bar notifikasi, tampak sebuah chat masuk dari nomor tanpa nama. Alisku bertaut. Tanpa membuka chat, kutarik bar dan muncul sebuah tulisan. [Bagaimana? Suka dengan permainanku?] Aku semakin mengernyit. Siapa dia, dan apa maksudnya dengan permainan? Aku terdiam sebentar, tak ingin gegabah membalas. Perlu waktu juga untuk mencerna maksud chat yang ia tulis. Otakku berpikir keras, menjatuhkan ponsel di sebelah bantal. Kupijat pelipis yang terasa kian pening. Sembari memutar otak. ‘Apa mungkin itu Doni? Jadi, yang dimaksud permainan adalah kejadian sialku dan Bagus hari ini?' Aku berdecak sebal, meraih ponsel kembali. Lantas, membuka chat. Tak ada foto profil yang tertera di sana, kucoba menelepon. Terdengar bunyi dengingan beberapa kali. Kulihat layar juga menunjukkan nomor yang kupanggil berdering. Namun, tak ada jawaban. Kututup sambungan telepon dengan kesal. Kedua jempolku mulai mengetikkan beberapa huruf. [Apa maumu?] Centang dua, pertanda chat telah masuk. Namun, hingga beberapa detik aku menunggu. Centangnya tak kunjung biru. Sial! Selalu saja seperti ini. Rupanya ia sangat senang mengaduk-aduk emosiku. Ia tahu, aku masih begitu labil menata emosi. Dan aku juga belum terlalu pandai menstabilkannya. Mungkin, jiwa mudaku adalah alasannya. Maklum, aku masih di bangku SMA. Jadi, cukup wajar jika rasa kekanakanku terkadang sering muncul tak jelas. Gigiku bergemeletak. Lantas, mencoba menepis chat tak jelas itu. Menaruh kembali ponsel pada tempatnya. Lantas, memiringkan tubuh dan merangkul guling erat. Mencoba memejam kembali. Hingga suara denting chat masuk, mengusik lagi kesabaranku. Rasa penasaran yang cukup tinggi, membuat tanganku tergugah kembali mengecek [Cukup ikuti saja alurnya *emotikon menyeringai*] Kulempar lagi gawai ke meja, hingga terbentur jam dan membuat jam terjatuh keras. Tak kupedulikan. Kembali kucoba memejam, meski terdengar suara lamat-lamat bacaan ayat Al-Quran dari musala di sekitar perum. Terdengar langkah kaki bergerak mendekati pintu kamarku. Gagang pintu bergerak, lalu menampakkan wajah Mbak Esti dengan rambut acak mirip singa memegang daun pintu. “Suara apa tadi? Berisik banget, aku sampai kaget,” ucapnya sebal. Kulirikkan bola mata pada lantai, yang di sana terdapat jam yang sedikit retak bagian depannya. “Lah kamu ngapain banting jam gitu? Ingat dong, kamarku tepat di bawah kamar ini. Aku sampai berjingkat tadi.” Kulambaikan tanganku padanya, berharap ia masuk dan mendekat. “Sini, lihat ini!” seruku padanya. Ia melangkah dengan gontai dan mendekat, tepat ketika ia duduk di tepi kasur sebelahku. Kutunjukkan chat misterius yang kuduga adalah Doni. “Lihat, Mbak. Aku yakin kalo ini adalah Doni.” Dahinya mengerut, saat membaca tulisan pada layar yang kuhadapkan padanya. “Mana buktinya, foto profilnya saja nggak ada! Ngaco kamu! Terus apa hubungannya dengan jam di bawah?” Ia melirikkan mata pada benda tak salah itu. “Ya aku kesal lah, Mbak. Dia itu benar-benar ingin mengerjaiku. Bahkan tadi Bagus –“ Belum sempat aku melanjutkan kalimat, Mbak Esti menyelanya. “Kapan dia mengerjaimu? Doni bahkan nggak kenal sama kamu. Aku udah tanya dia. Sudahlah aku masih ngantuk, mau molor lagi. Awas kalo bikin ribut lagi!” Ia berdiri dengan mengentakkan kakinya kesal. Lantas pergi dan menutup pintu sedikit keras. Aku memejam saat pintu terasa menggetarkan tembok kamar. Kubuka mata kembali sembari bergumam, “Bagaimana caranya agar kamu percaya, Mbak?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD