Firasat

1198 Words
Aku berada dalam sebuah tempat yang gelap, hanya cahaya remang-remang yang sedikit memberi jalan terang, entah dari mana asalnya. Bola mata bergerak menyusuri keadaan sekitar. Ke kiri, kanan, atas, juga depan. Hanya sebuah tempat luas tanpa benda atau barang yang tampak di sekitar. Begitu sunyi. Kutengadahkan wajah, mencari cahaya. Namun, tak kutemukan bulan atau pijar lampu yang menerangi tempat ini. Di mana ini? Perasaanku mulai tak enak, resah. Kenapa hanya ada aku tanpa seorang pun yang bisa kutanyai di sini? Kenapa tiba-tiba aku berada di tempat seperti ini, siapa yang mengerjaiku? Sesaat aku terdiam, menatap tubuhku yang tersorot bias cahaya yang entah dari mana. Kebingunganku semakin membuncah, saat kulihat pakaianku yang hanya berbalut baju berwarna biru. Apa yang terjadi? Yang kutahu ini adalah pakaian untuk pasien rumah sakit. Jadi, apa aku sedang berada di tempat orang sakit? Lamat-lamat kudengar suara deru dari belakang. Manik hitamku bergerak ke samping kiri, tanpa menggerakkan wajah dan tubuh. Aku terpekik menundukkan kepala, ketika kudengar dentuman suara keras dari belakang. Perlahan, kutolehkan wajah dengan penuh hati-hati. Napas mulai memburu. Sorot cahaya terang tetiba muncul dan cepat bergerak mendekat pada tubuhku. Aku berteriak keras. “Aakhhh!” Kututup kepala dengan kedua jemari, menunduk dan meringkuk. Mataku memejam sekuat mungkin. Lantas, aku merasa aneh. Kurasakan tubuhku terbaring di atas kasur. Sigap kubuka kelopak mata cepat. Alisku semakin bertaut, ketika menemukan diriku masih berada di ranjang kamar. Jadi, semua itu hanya mimpi? Kuusap peluh yang terasa memenuhi kening. Deru napasku juga masih memburu. Seakan semua yang terlihat dalam netra tadi nyata adanya. Aku mengernyit kembali, merasakan sikut yang tergores seprei. Belum kering luka yang ada, kini terbuka kembali, sebab gesekan kasar dari kain penutup kasur. Kudekatkan sikut pada bibir, lalu meniupnya, berharap perih akan mereda. Seperti yang dilakukan Mama saat aku kecil dulu. Ia selalu menyugesti otakku dengan memberi tiupan cinta saat terluka. Padahal, rasa sakit itu masih tetap ada. Tak berubah. Luka kini tampak berair, perih. Bagian tubuh yang tergores aspal waktu itu terasa begitu kaku, tiap kali bangun dari tidur panjang. Terutama dengkul, telapak, juga sikut. Kucoba menahan tiap denyutan sakit ini, memejam kembali. Semua terasa percuma. Mungkin, memang sudah waktunya meminum lagi obat pereda nyeri. Perlahan kugerakkan tubuh penuh hati-hati untuk beranjak dari kasur. Aku meringis dengan menyeret tubuh. Belum sempat aku melangkah, ponsel berdering menampilkan nama Lucky pada panggilan yang menyala. Kutarik telepon pintar itu dan menempelkannya pada telinga. “Al, hari ini ada ulangan mendadak. Aku udah bilang ke guru kalo kamu abis ndelosor. Jangan lupa isi pulsaku. Hehe ....” Terdengar suara cengirnya dari seberang. “Dasar teman penuh pamrih!” ketusku kesal. Namun, dengan nada bercanda. Kututup sambungan telepon dan membuang ponsel serampangan pada kasur. Aku menggeleng, terkikik mengingat kata terakhir Lucky. Memang, sahabatku itu selalu memanfaatkan keadaan untuk mengharap imbalan dariku. Tetapi, ia selalu ada di saat kubutuhkan. Menjadi tameng dan orang yang paling depan jika aku dalam masalah. Tubuhnya yang kekar, dan tinggi semampai. Benar-benar cocok untuk menjadi pengawalku di setiap hal yang kulalui. Ia sadar betul, jika aku pun menjadikannya orang yang harus selalu siap ada kapan pun aku butuh. Akan tetapi, lagi-lagi ia akan meminta secuil hadiah dariku. Dan aku tak pernah mempermasalahkannya. Sebab, aku tahu hidupnya pas-pasan. Cukup bodoh jika mengingat kecemburuanku padanya, saat dulu ia sempat dekat dengan Adinda, kekasihku semasa SMA. Aku tahu mereka tak ada hubungan selain sebagai teman biasa. Namun, emosi labilku benar-benar tak bisa dikontrol ketika itu. Bahkan, aku sempat bersitegang dengan Lucky, dan tak berhubungan sampai dua bulan lamanya. Aku tersadar, ketika merasakan kesepian di hari-hariku tanpanya. Apalagi, Adinda memilih putus dan menjauh dariku. Hingga akhirnya, semua pesan dari Lucky yang tak sempat k****a selama dua bulan itu. Mampu meluluhkan kembali rasa pertemanan yang kami jalin sejak SMP. Aku kembali menemuinya, dan menjadi sahabat baiknya hingga kini, kami beranjak ke perguruan tinggi. Bahkan, ketika kutahu Lucky tak punya biaya untuk masuk ke universitas yang sama denganku. Aku meminta pada Papa agar mengurus semua administrasi untuk Lucky, agar ia bisa tetap bersama denganku. Tok! Tok! Ketukan pada pintu membuyarkan lamunan. “Siapa?” tanyaku. “Den, sarapan dulu dan minum obat. Ini perintah dari Nyonya.” Suara Bi Sumi pelan dari luar kamar. “Iya, sebentar lagi,” jawabku yang diiringi suara ketukan kaki yang menjauh dari pintu. Penuh malas dan dengan rasa perih di sekitar tubuh, aku berusaha beranjak dari nyamannya kasur. Melangkah ke luar kamar menuju kamar mandi. Dulu, ketika Papa ingin membuat kamar mandi di kamar, aku menolak. Aku bilang jika ingin kamarku terlihat luas, juga tak suka jika kamar menjadi basah, sebab keluar masuk dari toilet. Namun, di saat seperti ini. Kamar mandi yang jauh menjadi masalah bagiku yang dalam keadaan susah seperti ini. Belum lagi jika di tengah malam ada hasrat kebelet yang tak bisa ditahan. Penuh payah, aku harus berjalan menuruni tangga untuk menuju tempat buang hajat. Napas sedikit tersengal, sebab penuh perjuangan hingga sampai pada toilet di lantai bawah. Tepat ketika berada di depan pintu yang tertutup. Jemariku bergerak untuk meraih gagang pintu. Namun, belum sempat kusentuh daun pintu itu, pintunya terbuka dari dalam. Menampakkan wajah pria yang beberapa hari ini mengusik kenyamanan hidupku. Ia tersenyum ketika berhadapan denganku. “Aldi, apa lukamu sudah sembuh?” Bola matanya menjelajahi tubuhku. Seperti ingin mencari tahu keadaanku. “Minggir,” ucapku dengan nada sedikit kasar. “Jangan sok pura-pura baik dan perhatian, ya. Aku tahu, ini semua perbuatanmu!” Ia mengernyit, belum beranjak dari tempatnya berdiri. “Apa maksudmu, Al?” Aku mendengus, membuang pandangan ke kanan dan menyeringai. “Wanitamu itu. Seseorang yang selalu menjadi alat untukmu melakukan kejahatan. Kamu pikir aku tak tahu?” Ia menggeleng, menampakkan wajah sok polos. “Apa yang kau bicarakan, Al? Wanita yang mana?” “Aku juga tahu, tadi malam kamu ‘kan yang mengirim pesan?” Kini ia memundurkan kepalanya, seakan mengingat-ingat sesuatu. “Pesan?” “Sudahlah, jangan pura-pura bodoh. Awas saja kalau sampai kau melukai Mbak Esti atau keluargaku!” ancamku kasar. “Aku benar-benar nggak paham apa yang kau maksud. Kita bahkan belum sempat berkenalan. Bagaimana kau bisa tahu tentangku?” Dahinya semakin mengerut. Kini aku yang kebingungan. Antara percaya dan tidak dengan yang kulihat di depan mata. Apakah memang aku yang salah kira, atau Doni yang pandai menyembunyikan tangan? Aku mulai bimbang. Kucoba membaca isi kepalanya lagi. Perlahan dan pasti, kutatap dengan kuat dan dalam, mata lelaki yang bergeming di hadapanku. Sebuah senggolan dari belakang, membuat konsentrasiku pecah. “Kalian berdua ngapain?” tanya Mama yang tiba-tiba memecah ketegangan di antara kami. “Mau masuk situ lah, Ma. Tapi Doni menghalangi jalan.” Sigap, pria jangkung itu beranjak dari ambang pintu. “Maaf, tadi kebelet pas tepat ke sini. Tadi cuman mau minta tanda tangan Pak Andri. Tapi, rupanya beliau nggak ada di rumah. Makanya langsung izin Bi Sumi untuk diantar ke toilet.” Jelas Doni padaku dan Mama. Mama mengangguk. Lelaki berseragam biru putih itu, menundukkan kepala. Lalu, berlalu dengan sedikit membungkuk ketika melalui kami. Begitu sopan, tak seperti sebelumnya. Kulihat ia berdiri tegak, setelah melewati kami, dan mengenakan topi hitamnya kembali. Lalu, ke luar menuju ruang depan. Aku semakin tak mengerti dan merasa begitu aneh. Lagi-lagi aku berpikir. Ini aku yang salah, atau Doni yang memang membuatnya seperti demikian?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD