Terancam

1058 Words
“Jangan mengada-ada kamu, Al. Bagaimana bisa orang tanpa undangan bisa begitu saja masuk dan berada di sini?” Sambutan Papa membuatku kecewa. Aku meliriknya dengan penuh sesal. Kenapa ia tak mempercayai anaknya sendiri. Bahkan di situasi seperti ini? Badan kutarik paksa untuk duduk dan bersandar pada punggung ranjang. Kepala terasa nyut-nyutan, ngilu sekali. Kupejamkan mata dan mengernyit untuk menahan. Perlahan kubuka kembali mata yang kini berkunang-kunang. Embusan napas berat kukeluarkan untuk mengurangi emosi dalam d**a. “Aku tak bohong, Pa. Doni pelakunya.” Kuberikan pandangan sayu pada Papa agar ia percaya, tetapi ia malah menggeleng. Seperti masih menyangkal. “Bagaimana bisa?” tanya Mbak Esti. Aku menolehkan wajah padanya. Aku mengendikan bahu, melirik dirinya yang sepertinya sama tak percayanya dengan Papa. “Harusnya aku yang bertanya ini padamu, Mbak. Kamu lebih dekat dengannya. Harusnya kamu tahu bagaimana dan siapa dia sebenarnya. Ia bisa masuk ke sini dengan memakai topeng. Entah, ia memakai nama siapa. Yang jelas, dia bisa masuk dengan menyamar menjadi salah satu undangan.” Kini Papa terkikik. Apa yang ia tertawakan? Lucukah yang sudah ku kemukakan? “Aldi, sudahlah. Mungkin kepalamu belum sepenuhnya sadar. Lebih baik istirahat lagi. Jangan memaksa.” Rahangku seketika mengeras, tak mengerti dengan Papa. Kenapa ia begitu tak mempercayaiku? Kulihat Mama yang hanya berdiam diri di tepi kasur sampingku dengan wajah cemas. Ia masih duduk dengan sesekali memandang aku dan Papa bergantian. Entah, aku tak tahu apa yang sedang dipikirkannya. Kali ini otakku terasa beku, tak bisa membaca isi pikiran Mama untuk saat ini. “Aku dalam keadaan sadar dan waras, Pa! Kalo nggak percaya, kita bisa lihat CCTV dapur. Buktikan saja!” Keluarga Bagus masuk ke kamar, ketika aku berbicara demikian. Membuat mereka jadi saling pandang, seperti ingin bertanya. Namun, tak enak hati. Papa seperti hendak membuka obrolan, mulutnya bersiap membuka. Namun, ia menarik napas berat. Lantas, melirik dan berkata pada Mama. “Baik. Ma, panggil Pak Gito. Suruh dia membuka video dapur. Kita saksikan di sini saja. Biar semua bisa melihat.” Semua tampak setuju dan diam dengan wajah tegang. Menanti hal yang membuat mereka penasaran. Penuh sigap, Mama memanggil Pak Gito dan menyuruhnya untuk menampilkan gambar CCTV di televisi kamar. Video mulai diputar tepat sejam yang lalu. Waktu di mana aku memergoki Doni di dapur. Anehnya, meski sudah berkali diulang sesuai perintahku, tak ada video yang memutar kejadian itu. Hanya terlihat aku yang memasuki ruang dapur dengan menempelkan ponsel di telinga. Berbicara sendiri dengan ekspresi membentak. Lantas, tiba-tiba video sudah menampilkan gambarku yang seketika jatuh pingsan setelah menelepon. Mataku mendelik sempurna, ini sungguh salah. Jelas sekali kepala ini masih begitu terasa sakit, akibat pukulan Doni dengan wajan penggorengan. Bahkan, rasa ngilu ini masih berdenging di telinga. Jelas sekali, jika semua video itu dipotong dengan sengaja. “Lihat, Al. Kamu pingsan dengan sendirinya. Mungkin, kamu terlalu lelah.” Papa terus saja menyudutkan. Aku menggeleng kasar, sedikit geram. Wajah ini rasanya memanas. Malu sekaligus sakit hati bercampur jadi satu. Tak tahu lagi apa yang sedang Doni rencanakan kali ini. Apa benar semua itu hanya halusinasiku? Tetapi mengapa kepala ini masih terasa berdenyut sakit? Apa yang ia inginkan dariku? “Ini jelas sudah diedit. Tak seperti ini kejadiannya! Mungkin, dia sudah benar-benar sengaja merencanakan semua ini. Sampai di titik ini pun, ia tak ingin tangannya terlihat kotor.” Kupijat pelipis yang kembali pening, akibat terlalu emosi. Mungkin, wajahku kini sudah pucat pasi. Bingung dengan keadaan diri. Tak ada yang bisa kuberikan lagi agar mereka mempercayaiku. Aku benar-benar terpojok. Semua melirikku dengan tatapan sinis. Mbak Esti malah melipat tangan di d**a, sembari menyunggingkan senyum mengejek. Apakah ia tahu, dan sengaja merencanakan semua ini padaku? Lantas, untuk apa? Aku benar-benar tak paham. Keluarga Bagus hanya terdiam tanpa berkomentar. Sepertinya, mereka masih tak mengerti dan tak juga percaya. “Bisa jadi, Pak. Aku percaya Aldi tak berbohong. Lagi pula, ini ada kaitannya dengan minuman yang teracuni itu. Semua tamu kena imbasnya. Para undangan kita sudah bilang, kalau akan menuntut keluarga kita, atas semua kejadian malam ini. Beberapa hanya pusing dan mual. Ada pula yang harus dilarikan ke rumah sakit, dan harus rawat inap. Kita tak bisa mengelak, Pak. Kita harus menyelidiki semua ini, untuk membersihkan nama kita,” tutur Pak Darma pada Papa, yang membuat kami semua menganggukkan kepala setuju. Kuembuskan napas lega. Akhirnya ada seseorang yang sedikit percaya dan membela pendapatku. Bagus mendekat padaku. Ia melirik dengan pandangan iba. Aku tahu, ia selalu percaya padaku. Apalagi setelah kecelakaan yang menimpa kami. Ini jelas perbuatan Doni. Tangannya menggosok punggungku pelan. Berbisik di telinga. “Tenang saja, aku akan membantumu mengungkap semua.” Kubalas lirikannya dengan kedipan pelan. Ada perasaan tenang, mempunyai seseorang yang bisa dipercaya. Berharap semuanya kembali clear dan tak menjadi masalah besar untuk nama baik keluarga kami. Suara langkah tergopoh terdengar mendekat pada ruang kami berkumpul. Tepat di ambang pintu, sosok Bi Sumi berdiri memandang kami dengan napas terengah-engah. Kami sama tercengangnya tak mengerti maksud kedatangannya. Matanya seperti mencari satu per satu dari kami, hingga saat bola mata yang membulat itu saling bertatap dengan Papa, kelopaknya menegang. Bibirnya mulai berucap, “Tuan, ada banyak polisi di depan.” Bibirnya gemetar, dengan raut ketakutan. Aku menelan ludah, melihat wajah Papa yang sekarang menegang. Tak hanya Papa, tentunya kami semua. Mungkin, salah satu tamu undangan ada yang tak terima dan melapor. Sebab, tak seorang pun dari tamu yang datang, bebas dari minuman itu. Semua terkena imbasnya. Pak Darma mengawali untuk melangkah. Dadanya sedikit membusung. Penuh percaya diri ia mendahului Papa menemui para polisi. Sepertinya, ia sudah tahu dan siap dengan apa yang akan terjadi. Sebelum ia keluar dari pintu ruangan. Ia menoleh ke belakang, menganggukkan kepala pada Papa. Papa terenyak dan terlihat kebingungan, ia memejam sebentar, mengembuskan napas berat, lalu mengikuti Papa Bagus untuk mencari tahu apa yang diinginkan polisi-polisi itu. Sementara kami, masih diam di tempat masing-masing. Saling lirik tanpa sepatah kata pun. Seperti bergelut dengan pikiran masing-masing. Kenapa jadi seperti ini? Momen besar yang sudah direncanakan matang-matang. Malah menjadi boomerang yang menusuk kami dari belakang. Mama, Mbak Esti, juga Bu Winda saling berpeluk menguatkan. Terlihat sekali wajah cemas pada mereka. Namun, kulirik Bagus yang tampak tenang. Tidak tegang sama sekali. Bahkan, ia asyik men-scroll ponsel miliknya dengan sesekali terkikik. “Hei, bisa-bisanya kamu setenang ini, saat keluarga kita terancam.” Aku berbicara setengah berbisik, tak mau membuat para wanita semakin khawatir. Bibirnya menyungging. Melirikku dengan tatapan sombongnya. Aku benci melihatnya seperti ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD