Pemeriksaan

1117 Words
Begitu tenang ia menggerakkan bibir dengan sedikit berbisik, “Tenang saja, Papa akan mengatur semuanya. Dengan uang, semua akan beres.” Sebelah matanya mengerling. Rupanya, ia tak mau terdengar Mama juga Mbak Esti. Sebelah bibirku menyungging. Kudekatkan wajah ini pada telinganya. “Kalian bisa membuat semua rencana dengan uang, tetapi tidak untuk cinta Mbak Esti.” Hidungnya kembang kempis ketika mendengar bisikan dariku. Ia membuang muka, sedikit menjauh dariku. Aku memutar bola mata malas. Begitulah orang dengan finansial lebih. Menggampangkan segala hal. Dipikir semua bakal selesai hanya dengan lembaran uang. Meski terkadang benar adanya, hal seperti ini kadang membuat geram. Apalagi untuk orang-orang kecil, yang suara dan tindakannya terkadang tak bisa dinilai dengan uang. Meski dari kecil aku hidup dengan bergelimang harta. Aku tak pernah suka orang yang memainkan uang untuk apa yang diinginkan. Aku lebih suka melakukan semua dengan kemampuan. Beberapa menit, kami menunggu Papa yang masih berada di depan. Penuh was-was kami menanti. Bagaimanakah kelanjutan kasus ini? Apa semuanya akan baik-baik saja? Pertanyaan seperti ini terus menggema di kepala. Membuatku kian gelisah. Mama semakin resah. Mondar-mandir melangkah pada balkon kamar. Sesekali ia melirik ke samping kanan, tepat pada halaman depan rumah. Bibirnya terus saja bergumam. Meski suaranya menggerutu, aku bisa mendengar omelnya. Rupanya mobil-mobil polisi masih berada di sana. Mbak Esti dan Bu Winda terus saja mengucap kata tenang untuk Mama. Meski hal itu tetap tak mengubah suasana hati Mama. Mbak Esti sampai mengangkat gaun pink panjangnya ke sana kemari untuk mengikuti langkah Mama. Hanya Bagus di ruangan ini yang begitu santai. Ia masih tenang bermain ponsel tak memedulikan keadaan di luar sana. Aku jadi sedikit ragu. Bisakah ia nanti menjadi suami yang baik untuk Kakakku? Apa ia punya tanggung jawab kepada keluarga? Melihat hal semacam ini saja, ia begitu cuek. Bagaimana nanti jika sudah benar berkeluarga? Kucoba meraba isi otaknya. Kupandang mata lentik yang tak henti memandang layar pipih. Otakku berputar, beberapa detik. Ah, sungguh benar. Ia benar-benar tak peduli dengan apa yang terjadi. Menyerahkan semuanya pada Pak Darma. Sungguh kekanakan. Maklum, ia anak semata wayang. Dengan segala hal mewah di hidupnya. Wajar jika ia begitu manja. Tetapi, tak punyakah ia sedikit rasa tanggung jawab? Jadi, apa yang kudengar selama ini, tentang segala kepiawaiannya memajukan perusahaan, hanyalah rumor belaka? Ah, aku benar-benar tak paham. Langkah tergopoh kembali terdengar di luar kamar. Kian mendekat. Kami yang berada di kamar, langsung menolehkan kepala, menunggu siapa lagi yang hadir. Kembali, kami menemukan sosok Bi Sumi berdiri di ambang pintu. Alisnya seketika bertaut menemukan wajahku, dengan wajah panik ia berbicara perlahan, “Den, mereka memanggil Aden untuk diperiksa.” Mama menarik tanganku seketika, membuatku menoleh memandangnya. Matanya melotot, dengan raut penuh gusar. Ia menggeleng, seperti takut. “Tenang saja, Ma. Semua akan baik-baik saja. Percayalah.” Jemarinya kian meremasku erat. Seperti tak rela. Kuulas senyum merekah, berusaha membuatnya tenang. Kutarik perlahan tangannya agar melepasku. Diiringi rengekan Mama, aku keluar kamar ditemani Bi Sumi, untuk menghadap para polisi. Kulihat wajah tak relanya yang terus saja menggeleng, diusap dan ditenangkan oleh Mbak Esti, sebelum akhirnya wajah itu menghilang di balik dinding. Kutarik napas berat dan memejam. Menyiapkan diri untuk menghadapi segala pertanyaan. Aku harus siap. Sebab, kami tak salah. Akan kuungkap semua yang sudah ku alami. Meski sedikit ragu, semua harus clear. Langkahku terhenti di ruang depan. Bi Sumi pergi, setelah mengantar sampai di sini. Di mana Papa, Pak Darma, beserta beberapa polisi dan tamu undangan terlibat dalam percakapan adu mulut. Mereka terdiam sebentar. Menolehkan wajah padaku dan Bi Sumi yang berdiri di ambang pintu. “Saudara Aldi, mari bergabung.” Salah satu polisi mempersilakanku duduk. Tangannya merentang di kursi kosong sebelah Papa. Aku mengangguk. Jantungku mulai berdebar, bahkan iramanya terasa sampai ke ubun-ubun. Membuyarkan segala ketenangan. Hingga tanpa terasa napas sedikit memburu, bahkan jemari terasa dingin. Penuh hati-hati aku duduk di sebelah Papa. Kulirik mukanya yang tampak masam. Mungkin, ia habis terlibat dalam perdebatan sengit. Aku tahu persis, ia orang dengan pendirian kuat. Selalu saja menyangkal apa yang dirasa tak cocok dengan hati dan pemikirannya. Ia juga akan mempertahankan pendapatnya dengan cara apa pun. Keras kepala, ya. Itulah sifatnya. “Kami butuh kesaksian semua anggota keluarga. Tolong jelaskan apa yang sudah terjadi.” Dadaku mengembung, bersiap mengatakan sejujurnya. Namun, tarikan jemari kaki Papa di bawah meja, membuatku ragu. Ia sedikit mencubit pergelangan kakiku dengan kaki. Aku hampir memekik. Tetapi sebisa mungkin ku tahan. Aku langsung tahu apa yang diinginkannya. Sekejap k****a isi otaknya. Ia ingin aku membungkam mulut. Ia tak mau memperpanjang masalah. Aku jadi gelisah, serba salah. Apa aku harus diam saja? Meski tahu Doni adalah dalang di balik semua ini? Namun, tak ada bukti dan kekuatan agar mereka yakin dan percaya. Bagaimana ini? Beberapa detik, pandangan para polisi terasa mengintimidasi. Aku meneguk ludah. Mencecap bibir beberapa kali. Apa kuikuti saja rencana Papa? Agar semuanya tak bertambah rumit? Jika kubeberkan apa yang kualami, masalah ini malah akan berbuntut panjang. Tetapi, aku tak rela jika Doni tak mendapat hukuman untuk segala perbuatannya. Kubuka bibir untuk mengeluarkan suara. Hampir saja aku berbicara, tetapi dipotong begitu saja oleh Pak Darma. “Aldi sepertinya terlalu tegang untuk ditanyai. Lebih baik, kita tunggu sampai dia tenang dulu, Pak.” Papa menarik jas bagian belakangku, aku mengerti betul apa yang mereka inginkan. Ya, tentu saja uang. Mereka akan membersihkan semua masalah ini dengan uang. Tak salah lagi. Aku hanya mengangguk patah-patah. Sekalian berakting untuk Papa dan Pak Darma. Kupasang wajah pucat, agar para polisi percaya. Tiga orang kolega Papa hanya diam mengikuti rencana Papa. Sepertinya, mereka juga butuh uang. Bisa k****a isi pikiran dari salah satunya. Beginilah kekuatan uang. Semua bisa bersih tanpa jejak, hanya dengan kibasan lembar rupiah. Kustabilkan napas yang hampir memburu, sebab emosi bercampur bingung. Kulihat Pak Darma terlihat menarik seorang polisi untuk diajak bernegosiasi. Dengan wajah meyakinkan, dan ucapan-ucapan taklukan, rupanya ia berhasil merayunya. Ia terus mengiming-imingi polisi itu dengan segala hal yang menggiurkan. Licik. Kini aku baru tahu keahlian Pak Darma. Bersilat lidah, ya ... itulah keunggulannya. Sementara Papa, tampak membisiki salah seorang kolega yang telah memanggil polisi untuk memperkarakan ini. Hanya butuh beberapa menit saja. Semua tampak tenang. Aku benar-benar tak percaya, begitu kuatkah rayuan uang? Aku masih bergeming di kursi, tak mau ikut campur dengan mereka. Terlalu rumit untukku. Seorang tim dari polisi, masuk ke ruang kami. Ia tergopoh, menunjukkan sesuatu pada para atasannya. Membuat semua berdiri menyambutnya. Hanya aku yang masih setia duduk tanpa ingin menggerakkan tubuh. “Lapor, Pak. Kami menemukan sebuah kacamata hitam di dapur.” Sebuah plastik ia angkat. Di dalamnya terdapat kacamata hitam milik Doni. Seperti terkena sengatan petir. Aku, Papa, juga Pak Darma terdiam. Benda itu bisa membuyarkan rencana kami untuk membersihkan segalanya. Bodoh, kenapa Doni meninggalkannya begitu saja? Rupanya ia tak cukup cerdik. Bisa-bisanya ia meninggalkan barang bukti di TKP!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD