"Meski kau tak ingin bertemu denganku lagi, aku yang akan datang menemuimu. Dalam sekejap aku pasti bisa menemukan alamatmu," jawab Zavier sambil menggengam tangan Bella erat.
Bella melotot tak percaya sambil menggelengkan kepala. Lelaki tampan itu malah tertawa.
"Kenapa wajahmu ketakutan? Bukankah kamu belum bersuami? Atau kau takut kalau kekasihmu akan marah?"
Rentetan pertanyaan dari Zavier itu membuat Bella menggeleng mencoba menyanggah tuduhan Zavier.
"Jika tidak, kenapa harus takut?" Zavier terus memberikan pertanyaan.
"A-aku hanya tidak ingin menjadi duri dalam rumah tanggamu, Vier!"
Zavier melepaskan genggaman tanganya, dia hembuskan nafas panjang lalu menatap lekat dua bola mata hitam milik Bella.
"Jika kau tahu keadaan yang sebenarnya, kau tak akan lagi merasa bersalah!"
Sedikit senyum diberikan Zavier, bak oase sangat menyegarkan dan menyejukkan hati seorang Bella. Lelaki itu berdiri kemudian mengulurkan tangannya kepada Bella.
"Ayo!" ajak Zavier menatap lekat wajah Bella yang masih bingung.
Karena tak mendapatkan respon, lelaki bertubuh tinggi tegap itu meraih tangan Bella agar segera mengikuti langkahnya. Tujuan pertama adalah kasir. Suami Intan itu memberikan kartu warna hitamnya untuk membayar semua tagihan.
Zavier menoleh ke arah Bella yang tampak tak nyaman karena perlakuannya.
'Seharusnya aku jangan bilang kalau sudah menikah. Dia sepertinya tidak nyaman dengan statusku. Maaf, Bella aku hanya merasa nyaman berada di dekatmu. Rasa yang aku miliki kepada Intan perlahan pudar,' Zavier bicara dalam hati.
Langkah keduanya keluar dari restoran menuju ke dua mobil dengan warna yang sama. Warna hitam tetapi berbeda merk dan jenisnya.
"Kau bawa mobil sendiri?" tanya Zavier saat melihat tangan Bella yang merogoh tasnya mengambil kunci.
"Iya." Bella menjawab singkat.
Zavier memutar arah, kemudian membukakan pintu mobil Bella saat wanita itu menekan kuncinya.
"Duduklah! Aku akan tunggu sampai kau pergi lebih dulu!"
Bella duduk di depan kemudinya, sambil memakai seat belt dia bertanya. "Apa kau akan menguntitku?"
"Hahaha ....!" Lelaki yang masih memakai setelan jas lengkap itu malah tertawa.
Sedangkan Bella mengerjap lucu dan membuat tangan Zavier terulur untuk mengacak rambut sebahu Bella. Setelah sadar dengan apa yang dia lakukan, lelaki itu kembali berperang dengan hatinya.
'Hari ini kenapa aku banyak tertawa? Seolah rasa sesak dan bebanku hilang dalam sekejap. Semua karena Bella!'
"Jangan takut, tanpa menguntit pun aku akan segera tahu rumah dan tempat tinggalmu! Hati-hati di jalan!"
Zavier menutup pintu mobil Bella hal bersamaan wanita cantik itu membuka kaca mobilnya. Bunyi klakson tanda ia akan meninggalkan Zavier pun sudah berbunyi. Lelaki yang masih setia bediri melihat mobil Honda jazz warna hitam itu akhirnya juga ikut masuk ke dalam mobil mewahnya.
Kedunya akhirnya pulang dengan membawa perasaan aneh yang kini singgah di hati masing-masing. Entah, sepertinya semesta ingin keduanya bertemu agar bisa saling menyembuhkan luka, atau merajut asa yang dulu belum sempat terajut?
*
"Sepi ...! Pasti Intan belum sampai rumah," keluh Zavier saat sudah sampai di halaman rumahnya.
Waktu sudah menujukkan pukul delapan malam. Tiga jam waktu yang dia gunakan untuk berbincang dengan Bella. Rasanya masih ada yang kurang, saat di memutuskan untuk mengakhiri pertemuan.
Langkah lebar Zavier masuk ke dalam rumah yang seolah tidak berpenghuni. Dia dihadang oleh Bu Nani.
"Selamat datang, Tuan! Apakah saya siapkan makan malam sekarang?"
"Tidak perlu, Bu! Saya sudah makan malam di luar. Ibu makan saja dengan Pak Rahmat," jawab Zavier dengan nada sopan.
"Baik, Tuan!"
Zavier mengangguk kemudian meneruskan langkahnya menuju kamarnya yang terletak di lantai dua. Dia membuka jas dan juga sepatunya, kemudian mulai membersihkan diri.
Entah kenapa aura lelaki tampan itu sangat berbeda. Terkadang senyum mengembang menghiasi bibirnya. Tidak ada moment spesial saat bertemu teman lamanya tadi. Hanya saja sikap wanita cantik itu mejadi hiburan sendiri untuk Zavier.
Selang lima belas menit, dia sudah rapi dengan kaos warna navy dan celana bahan sebatas lutut. Rambutnya ia biarkan sedikit basah tampan di sisir. Langkahnya menuju lantai bawah kemduian duduk di ruah tengah.
Kopi sebentar lagi akan terhidang karena Bu Nani sudah hafal keinginan Tuannya saat berada di ruang tengah. Zavier mulai mengirim pesan kepada Bella agar segera istirahat. Dia merasa waktu istirahat wanita itu sudah ia renggut sore tadi.
Hal sepele ini yang akan menjadikan Bella di posisi tidak aman atau bahkan tidak nyaman. Zavier adalah lelaki tampan berpendidikan juga sudah mapan dalam karir. Hanya saja lelaki itu sudah menikah dan punya keluarga.
Jika Bella merasa nyaman dengan Zavier bukankah rasa yang sudah terkubur beberapa tahun silam, akhirnya akan tumbuh subur kembali karena perhatian dan kasih sayang?
Satu jam akhirnya dinikmati Zavier hanya dengan acara tv yang tidak menarik. Satu cangkir kopi bahkan sudah hampir habis. Tetapi istrinya tak kunjung datang atau sekadar memberikan kabar.
Suara langkah hells menggema memecah suasana malam yang sepi. Intan menghentikan langkahnya menatap suaminya yang juga menatapnya. Rasa bersalah itu kembali muncul di benak Intan.
“Malam Mas,” sapa Intan medekat ke arah suaminya.
Intan mengecup pipi suaminya lalu duduk di sofa sebelah Zavier. Kedunya hanya diam tak ada yang ingin memulai bicara. Hingga lima menit berlalu, Zavier akhirya mengalah untuk bertanya lebih dulu.
"Intan, apakah kita tidak bisa seperti dulu?"
Intan mendesah kasar, dia sangat paham apa maksud dari ucapan suaminya. Tetapi, dia tidak ingin mengorbankan karirnya yang sedang meninggi.
"Jika Mas Zavier ingin aku di rumah mencurahkan segala tanpa mementingkan karirku aku tidak bisa, Mas!"
Jawaban dari istrinya membuat Zavier tersenyum tipis. Lelaki itu semakin enggan menatap wajah yang kini banyak dipuja oleh ribuan warga negara Indonesia.
"Lalu kau yang akan mengorbankan rumah tangga kita?"
Intan tak bisa menjawab pertanyaan suaminya, wanita itu sedang tidak ingin bertengkar. Sebenarnya dia sangat lelah dan ingin segera merebahkan tubuhnya. Hanya saja, saat melihat suaminya duduk di sofa menunggunya, rasa bersalah itu kembali mencuat di dalam hatinya.
"Kita ini menikah baru satu tahun, Tan! Kau tidak lupa bukan? Kita bahkan punya impian indah sebelum menuju meja akad. Aku sudah berkorban banyak untuk sampai di titik ini! Apa kamu masih kurang dengan segala perhatian, seluruh cintaku sejak kelas dua SMA?"
Nada bicara Zavier tidak meninggi, lelaki itu sangat pelan tetapi mengandung segudang makna. Dalam setiap kalimat yang diucapkan seolah menjadi belati yang perlahan menusuk kulit mulus seorang Intan.
"Aku pikir memberimu kebebasan dalam karir akan membuat kau semakin dewasa dan mengerti betapa aku sangat mencintaimu. Nyatanya aku salah. Kau seolah memanfaatkan segala fasilitas dan kepercayaan yang aku berikan, Tan!"
Intan menggeleng pelan seolah tak terima dengan ucapan suaminya. Dia menatap dalam wajah penuh kekecewaan itu hingga dia mendengar lagi kata demi kata kecewa dari suaminya.
"Aku sudah berupaya menjadi suami yang baik untuk kamu, Intan! Aku bahkan rela kau tinggalkan setiap hari tanpa kau mau bertanya tentang apa yang aku lakukan. Kau menjelma menjadi anak kecil yang tak tahu tanggung jawab!"
"Sekarang, apa yang kau harapkan dengan hubungan pernikahan seperti ini?" tanya Zavier yang sedikit meninggi di kalimat terakhir.
Hal itu membuat Ingat merasa bersalah dan menitikkan air mata. Jika ditanya soal cinta apa tidaknya kepada lelaki ini, jawabannya adalah sangat mencintai. Tetapi keadaan semakin membuat dirinya menjadi wanita yang tak bisa diharapkan.
Zavier sangat penasaran dengan keterdiaman sang istri. "Kenapa kau masih diam saja, Tan? Aku tidak butuh air matamu. Aku butuh jawaban dari semua ucapan yang sudah aku katakan!"
"A-aku ...!"