bab. 8.

1415 Words
"Ka-kau?" Keduanya berucap saling bersamaan. Tak lama Zavier membantu Bella berdiri dengan benar. Kemudian saling dehem untuk mengurangi rasa gugupnya. Pandangan Zavier terpaku pada sosok Tuan Aksa yang juga menatapnya dengan senyum tipis. "Anda?" tanya Zavier. "Iya, kami akan ke Surabaya, Tuan Zavier!" Tuan Aksa menjawab kebingungan lelaki tinggi tegap itu. 'Surabaya? Mungkinkah—' Tidak mungkin ke tempat lain,' ucap Zavier dalam hati. "Maaf, karena saya buru-buru jadi teledor," ucap Zavier kepada Tuan Aksa juga Bella. "Tidak apa, kalau begitu kamu duluan Tuan Zavier!" Bella mulai mengakhiri perbincangan tanpa terduga itu. Setelah beberapa langkah pergi dari hadapan teman sekolahnya itu, Bella menghembuskan nafas lega, karena berhasil pergi dari hadapan seseorang yang sayangnya masih setia ada di hatinya. Setelah masuk ke dalam pesawat, Zavier mematikan ponselnya dan menaruhnya di dalam tas. Tak lama, Doni juga datang kemudian duduk di kursi sebelahnya. Kedua lelaki tampan itu tak tahu jika, dua baris dari tempat duduknya Bella dan Tuan Aksa juga berada dalam satu pesawat yang sama. Entah apa yang semesta rencanakan untuk keduanya. Setelah lama terpisah, kini kedua selalu saja dipertemukan dalam ketidaksengajaan. Untuk menghilangkan rasa jenuh di dalam pesawat, Zavier memilih memejamkan mata. Meski dia tidak tidur, namun bersama alunan musik, bisa membuat hati lelaki tampan itu sedikit rileks. Perjalanan ke Surabaya ditempuh selama dua jam perjalanan. Dari bandara Juanda, Zavier dan Doni sudah dijemput sopir untuk menuju hotel yang sudah di reservasi oleh Doni. Tak jauh beda dengan Tuan Aksa dan Bella juga menuju hotel yang sama, bahkan mereka juga akan datang ke tempat yang sama. Masih ada waktu dia jam sebelum mereka mengadakan rapat di salah satu perusahaan ternama di kota itu. Meski Tuan Aksa sudah ada feeling antara sekertarisnya dan Zavier akan bertemu kembali, Lelaki paruh baya itu tetap diam. Karena dia sengaja ingin melihat apa yang akan terjadi di antara keduanya nanti. 'Sepertinya ada kisah yang belum selesai antara Zavier dan Bella. Tapi, jika benar apa yang aku pikirkan akan sangat tidak baik untuk Bella,' monolog Tuan Aksa dalam hati. Sekitar tiga puluh menit semua sampai di hotel tempat mereka menginap. Ternyata hanya beda lantai saja. Jika Bella atau Zavier menyadari ketidaksengajaan ini pasti mereka akan merasa heran dengan takdir Tuhan yang selalu saja mempertemukan. "Kau boleh istirahat dulu, Don! Setidaknya masih ada waktu untuk kita rehat sejenak!" titah Zavier kepada asistennya. "Baik, Tuan!" Doni menyerahkan kartu akses masuk ke dalam kamar hotel bosnya. Setelah memastikan bosnya masuk ke dalam kamarnya. Doni juga mulai masuk ke dalam kamar sebelah kamar hotel milik Zavier. Sedangkan di lantai berbeda, Tuan Aksa memperingatkan sekertarisnya agar tidak lupa untuk menyiapkan segala sesuatu untuk rapat nanti. "Bella, pastikan semua yang sudah kita kerjakan kamu bawa saat ke perusahaan Abadi nanti!" "Baik, Tuan. Saya sudah menyiapkan semuanya di dalam koper. Nanti tinggal saya cek ulang lalu saya persiapkan agar tidak tertinggal," jawab Bella. Keduanya juga berpisah di depan pintu kamar hotel Tuan Aksa. Setelah membuka pintu kamar hotel yang dia sewa, Bella duduk di ranjang. Dia menoleh ke arah koper yang dia bawa. Mengingat perkataan bosnya dia bergegas membuka koper itu untuk menyiapkan segala berkas untuk rapat nanti. 'Untung aku ingat, kalau lupa bisa bahaya. Semoga perusahaan Tuan Aksa menjadi salah satu perusahaan yang akan terpilih untuk bergabung dengan perusahaan Abadi.' Bella berharap dalam hati. Setelah menyiapkan segalanya, wanita yang memakai setelan blouse warna hitam itu membuka gordennya. Waktu menujukkan pukul sebelas siang. Sebentar lagi waktunya makan siang. Cuaca hari ini sangat terik. Membuat semua orang yang beraktifitas di luar merasakan panas yang luar biasa. Baru sejenak menikmati kesendiriannya, ponsel Bella berdering. 'Bos ...!' Bella membaca nama yang tertera di layar ponselnya. Gerakan cepat jari Bella mengangkat panggilan dari Tuan Aksa. "Iya, hallo, bos," Bella menjawab panggilan dari Tuan Aksa. "Bella, jam makan siang sudah hampir tiba. Kita pesan makan siang lewat layanan kamar saja. Saya terlalu malas jika harus turun untuk makan siang!" Tuan Aksa memberikan perintah. "Baik, Tuan!" "Ya, sudah, sampai jumpa lagi setelah makan siang!" Tuan Aksa mengakhiri panggilannya. Bella mengangguk seolah bosnya bisa melihat kalau dia menjawab dengan anggukan. Wanita itu memesan makan siangnya. Hari ini Bella malas makan, jadi dia hanya memesan salad dan jus alpukat saja. * "Aku berada di mana ini?" Intan bangun sambil memijit keningnya dengan mata masih terpejam. Rasa pusing dan pengar bekas alkohol semalam masih begitu terasa. Dia membuka matanya secara perlahan. Melihat dirinya yang masih mengenakan pakaiannya semalam membuatnya bernafas lega. "Syukur kalau aku tidak diapa-apain. Tapi, bagaimana aku bisa menginap di sini? Bukankah Irma sudah aku suruh pulang?" Intan seperti orang linglung mencoba mengingat sebelum dirinya mabok karena pengaruh minuman. "William ...!" Intan menyebut nama seseorang yang bersamanya tadi malam. "Dia ada di mana? Apa aku ditinggalkan sendiri di Bandung?" Intan kembali bertanya kepada dirinya sendiri karma keadaan dia yang tertidur di kamar hotel tanpa seseorang yang ia kenal. "Aku mau mandi agar pusingku sedikit hilang. Tapi aku tidak bawa baju ganti. Benar-benar menyebalkan!" Intan berkeluh kesah karena keadaan yang membuat dia harus terjebak dalam situasi yang tak enak. "Coba aku telepon William saja deh!" Kebetulan tas kecilnya ada di dekatnya, wanita itu mulai mendial nomor fotografernya. Tak lama sambungan telepon terhubung. "Halo, Will?" "Ada apa, Intan?" William menjawab dengan suara serak khas orang bangun tidur. "Kau juga baru bangun?" Tanya Intan dengan raut wajah kesal. "Hemmm ...!" William menjawab dengan gumaman. "Cepat carikan aku baju ganti! Aku ingin mandi. Bukankah siang nanti kita akan ada pemotretan di Jakarta?" "Iya, tunggu sebentar!" Intan mengeryit saat panggilannya terputus. "Si*l! Malah dimatikan secara sepihak!" Intan hanya duduk diam sambil menatap kosong ke arah depan. Jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Perutnya juga sudah bernyanyi minta di isi. Sedangkan dia malah baru bangun dan belum mandi. Wanita itu membuka gorden, secara otomatis sinar matahari pagi mulai masuk ke area kamarnya. Hal itu semakin membuat Intan silau, tetapi juga menikmati panas matahari yang jarang ia jumpai. Karena padatnya aktivitas yang sering kali dilakukan di dalam ruangan, membuat Intan jarang sekali berinteraksi dengan matahari. Sudah beberapa menit dia menunggu William datang, hingga akhirnya bel pintu apartemennya berbunyi. Sebelum membukakan pintu, dia mengintip dulu siapa yang datang. Setelah memastikan William yang datang, Wanita bertubuh seksi itu membukakan pintu. "Lama amat sih!" Intan berseru kesal ke arah fotografernya. "Ini mah, cepat. Aku belinya di swalayan bawah hotel ini. Coba kalau harus keluar? Pasti belum sampai dan kita akan terlambat pulang ke Jakarta," jawab William. "Iya, makasih! Aku mau mandi dulu!" Intan mengambil paper bag dari tangan William kemudian masuk ke kamar mandi untuk mandi. Sedangkan William memesan sarapan dan kopi untuk berdua lewat layanan kamar. Lelaki itu akan mandi setelah dia sarapan agar sekalian langsung berkemas. Lima belas menit berlalu, pesanan sarapan datang. Bertepatan dengan Intan yang juga datang dari arah kamar mandi sudah lengkap memakai baju yang dibelikan oleh fotografernya. "Lumayan! Ternyata kamu pakai apa saja tetap cantik!" William memandang tubuh tinggi nan seksi itu tanpa kedip. Sehingga dia memberikan pujian yang langsung membuat Intan merasa malu. "Sudah sejak lahir aku memang cantik!" Intan mengakui kenyataan bahwa ia cantik dengan rasa bangga." "Sini cepat ayo sarapan! Setelah ini aku akan mandi kemudian lanjut untuk pulang!" Intan hanya diam, sambil minum air mineral. Setelah itu William menyodorkan teh rasa lemon. Intan mengucapkan terima kasih sambil senyum. Setelah sarapannya habis, Intan hanya fokus pada ponselnya saja. Sedangkan William terus saja memandang tanpa henti ke arah Intan. "Aku mau mandi dulu ya? Lima belas menit kita pergi dari sini!" titah William. "Siip!" Intan hanya mengangkat satu ibu jarinya tanda dia mengerti. Lima belas menit terasa cepat, Intan dan fotografernya mulai meninggalkan hotel menuju mobil masing-masing. "Kau mau ke rumah dulu atau langsung ke tempat pemotretan, Will?" tanya Intan setelah sampai di depan mobilnya. "Aku langsung saja. Karena aku selalu menyiapkan perlengkapan di dalam mobil. Paling malam nanti kalau sudah selsai aku baru pulang," jawab William sambil membuka pintu mobilnya. "Oke, kalau gitu aku juga ke tempat pemotretan saja. Aku tadi sudah telepon Irma untuk menyiapkan semua keperluanku," ucap Intan. Intan masuk ke dalam mobil kemudian dua mobil itu mulai membelah jalan raya menuju kota Jakarta. Harapan keduanya semoga tidak macet, agar bisa segera sampai di lokasi. Perjalanan pulang ke Jakarta sangat lancar karena tidak dihadang macet. William berada di belakang Intan. Lelaki tampan itu sengaja menjaga wanita seksi itu. Intan juga mengendara mobil masih dengan kecepatan di atas wajar. Baru beberapa menit meninggalkan hotel, ponsel Intan berdering nyaring. Wanita itu mengurangi kecepatan mobilnya kemudian melihat siapa yang meneleponnya. "Siapa sih, ganggu saja!" Setelah berhasil meraih ponselnya, mata Intan sedikit melebar saat tahu siapa penelepon itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD