Bab. 9.

1395 Words
"Halo?" Intan menjawab panggilan sambil fokus ke jalan raya. "Kamu di mana, Tan? Kamu enggak pikun kan? Kalau hari ini ada pemotretan lagi?" Pertanyaan dari Irma membuat Intan hanya memutar bola matanya saja. Hingga suara cempreng itu kembali menganggu kendang telinganya. "Intan ...! Kau masih di sana?" "Iya. Bawel amat! Aku sudah dekat dengan lokasi. Bawa saja perlengkapannya seperti biasa! Tidak usah banyak tanya! Dan lakukan sekarang! Jangan sampai aku sampai kau belum juga datang!" Kini berbalik Intan yang memberi perintah kepada manager sekaligus asistennya. Setelah mengatakan itu wanita cantik itu mematikan sambungan teleponnya secara sepihak. Kemudian menekan pedal gas lebih kencang. William yang berada di belakangnya juga ikut melakukan yang sama. Hingga setelah melakukan perjalanan beberapa jam keduanya sampai di tempat kerja. Intan turun dari mobil langsung masuk ke dalam. "Will, mana kamar untukku bersiap?" tanya Intan setelah di dalam studio. Dari sini lurus kemudian belok kanan. Kamar pertama ya itu kamar kamu!" "Terim kasih!" Intan mendahului langkah fotografernya untuk menuju ruangannya. Setelah sampai di depan pintu kamarnya, Intan mulai masuk. Ternyata Irma sudah datang sedang merapikan semua peralatan make up juga baju-baju yang akan dia pakai nanti. "Ada yang ingin kau makan dulu tidak?" tanya Irma saat modelnya datang. "Pesankan aku salad buah dan kopi!" titah Intan sambil mendudukkan bobotnya di kursi depan meja rias. "Oke!" Irma bergerak mengambil ponsel dan melakukan tugasnya. "Irma, apa kita akan pulang malam lagi?" tanya Intan menoleh ke arah managernya. "Sepertinya, tidak! Kalau tidak ada halangan pulang sesuai jadwal, sekitar jam lima sorean lah! Kenapa?" Irma membalikkan pertanyaan. "Tidak apa-apa! Aku hanya capek dan sedang butuh tidur yang banyak," jawab Intan. Sambil bersiap, Intan mengecek ponselnya, sejak kemarin dia merasa di cuekin oleh suaminya. Biasanya satu hari ada lima pesan atau beberapa panggilan. Dari kemarin tak ada satu pun pesan ataupun panggilan untuknya. 'Kemana Mas Zavier pergi? Apa dia sengaja mengujiku?' tanya Intan dalam hati. Lamunan Intan buyar, saat Irma menepuk pelan pundaknya karena tak merespon saat dia mengukurkan pesanannya. "Irma, kau ini kebiasaan mengagetkanku!" Intan berucap dengan nada kesal. "Salah lagi! Padahal aku sudah sejak tadi mengukurkan papar bag pesanan kamu itu. Kamu saja yang sedang enggak fokus!" Irma seolah tak terima disalahkan karena selalu saja membuat modelnya kaget. Padahal Intan sendiri yang akhir-akhir ini sering melamun dan suka bergumam tak jelas. "Aku lanjut bantu makeup nanti saja ya? Kamu makan dulu saladnya. Aku kedepan dulu sebentar!" Intan hanya mengangguk sambil menatap managernya dari balik kaca riasnya. Setelah Irma keluar, ada seseorang yang mengetuk pintu kamarnya. Tok Tok Tok "Masuk!" Seru Intan dari dalam. Tak lama sosok Willian yang datang, lelaki bertubuh tinggi tegap itu membawa sesuatu untuk modelnya. "Ini untukmu, siapa tahu kau ingin makan dulu sebelum kerja," ucap Willian menyodorkan paper bag yang bertuliskan restoran terkenal di Jakarta. Intan menerima makanan dari William, tak lupa dia juga mengucapkan terima kasih. "Terima kasih! Nanti aku makan, aku baru makan salad dan belum habis," ucap Intan sambil menujukkan wadah yang ada di meja. "Kau sudah pilih bajunya?" tanya William saat melihat beberapa gaun teronggok di atas ranjang. Intan menggeleng sebagai jawaban, wanita cantik itu hanya memperhatikan gerak William yang sedang memilih baju untuknya. "Bagaimana kalau ini?" tanya William sambil mengangkat gaun warna maroon dengan tali tipis dan belahan d**a yang rendah. "Akan aku coba nanti kalau make up dan rambutku selesai di rias!" "Oke. Aku tunggu hasilnya, tiga puluh menit lagi!" Intan mengangguk dengan senyum ramahnya, tak lama William memilih keluar dari kamar sang model. Kalau terus bertahan, akan membuat dirinya merasa kelimpungan sendiri. * "Apa sudah kau pastikan jika tidak ada yang tertinggal, Bella?" tanya Tuan Aksa kepada sekertarisnya. "Sudah, Tuan! Semua sudah saya bawa," jawab Bella saat berjalan menuju loby hotel. Namun sebelum masuk ke dalam lift, ada yang hal janggal dirasakan oleh Bella. Jantungnya tiba-tiba berdetak kencang. Seperti setiap jali dia mengingat nama Zavier atau bahkan bertemu secara tidak di sengaja. Bella menghembuskan nafas panjang, dia mencoba meredam segala emosi dan rasa yang kian menderu. Saat matanya terpejam, ada seseorang yang masuk dalam lift yang sama. Aroma maskulin yang beberapa hari ini selalu mengusiknya kini terasa dekat dengannya. Bella membuka mata, betapa terkejutnya dia saat melihat Zavier sudah tersenyum ringan menatapnya dengan kerlingan mata. Seketika darah Bella seolah mendidih, wajahnya mulai merona dan dia menyembunyikan semua itu dengan pura-pura mengecek ponselnya. 'Ya, Allah benarkah dia juga dalam proyek yang sama?' tanya Bella dalan hati. Pikiran wanita seksi nan cantik itu semakin tak karuan saat bosnya berbincang dengan temannya itu sambil menyebutkan nama perusahaan Abadi. 'Ada rahasia apa? Kenapa Kau selalu saja mempertemukan aku dan dia di manapun aku bekerja?' Bella hanya bisa bertanya dalam hati tanpa tahu jawaban yang pasti. Setalah sampai di loby, keempat orang dewasa ini pisah dengan kendaraan masing-masing yang sudah siapkan. Kendaraan melaju cepat membelah jalan raya, karena di Surabaya tidak ada kemacetan seperti di Jakarta. Hanya dalam dua puluh menit kedua kendaraan roda empat ini sampai di sebuah gedung megah. Bella mencoba bersikap profesional, saat dia harus bekerja dan menghadapi kenyataan kalau dia juga harus mengatasi perasannya terhadap seseorang. Tamu istimewa dari Jakarta sudah disambut hangat oleh pemilik perusahaan. Semua berkumpul di ruang rapat yang sangat mewah. Sebelum dimulai, mereka saling berbincang sejenak sebelum memasuki zona panas dalam dunia bisnis. Setelah beberapa menit berlalu, acara dimulai. Dari puluhan perusahaan berbagai daerah sedang berjuang mempersembahkan kualitas terbaik dari perusahaan yang mereka miliki. Semua bersaing secara sehat untuk memperebutkan lima kedudukan untuk kerja sama dengan perusahaan Abadi. Satu jam, hingga hampir tiga jam semua selesai, namun belum ada keputusan. Karena waktu sudah sore dan semua terlihat lelah. Maka besok akan dilajutkan lagi. Waktunya sekitar jam sembilan pagi. Agar setelah selesai semua bisa kembali pulang ke rumah masing-masing. Sore menjalang, matahari masih terlihat tinggi gagah menyinari bumi. Tuan Aksa berbincang sebentar dengan Zavier. Doni dah Bella hanya menjadi pendengarnya saja. "Kalau Tuan Zavier ingin jalan-jalan, lupakan tentang pekerjaaan. Bawalah teman Anda keluar mumpung di kota orang. Siapa tahu pada ingin cari oleh-oleh atau kulineran," ucap Tuan Aksa. Bella mengatupkan bibirnya rapat meski dalan hatinya dia megumpat. 'Sial, bosku ini. Sudah tahu aku mencoba menghindar malah dengan sengaja menawarkan agar pergi bersama!' "Apakah Anda tidak ingin keluar untuk membeli oleh-oleh?" tanya Zavier kepada Tuan Aksa. "Kebetulan istri saya tidak menitipkan sesuatu. Dia sudah belajar sendiri, makanya saya tidak ingin keluar," jawab Tuan Aksa dengan kekehannya. "Kalau masalah jalan, nanti bisa diatur. Setidaknya kita makan malam bersama di restoran hotel saja kalau Anda tidak ingin jauh-jauh jalan!" Zavier memberikan solusi. "Ide bagus, Tuan Zavier! Kalau begitu selamat berjumpa nanti malam!" Tuan Aksa mulai berjalan meninggalkan Zavier dan Doni yang masih berdiri di loby. Sedangkan Bella bernafas lega karena bisa lolos dari Zavier. Perjalanan pulang ke hotel Bella lebih banyak diam. Wanita itu hanya akan menjawab kalau bosnya bertanya. Karena di dalam pikirannya sedang mencari cara untuk melawan perasaannya yang kian membara kepada satu lelaki. Dan lelaki itu sudah berstatus suami. * Malam pertama di Surabaya, Bella sudah tampil anggun dengan gaun warna navy. Untungnya dia membawa dua gaun kalau dibutuhkan dalam keadaan darurat. Setidaknya dia bisa menghemat pengeluarannya hanya untuk membeli sebuah gaun. Rambutnya yang panjang dia gerai, sehingga menutupi punggungnya yang terbuka. Kulit mulus dan warna kulit yang putih membuat seorang Bella semakin bersinar. "Sudah siap, tinggal nunggu bos memanggil aku baru keluar." Bella memakai hells kemudian menyiapkan tas tangannya. "Astaga, dadaku berdebar kencang. Hanya karena satu nama dia selalu membuat hidup juga moodku berantakan!" * Suara hentakan hells Bella membuat dua lelaki yang duduk membelakangi itu menoleh secara serentak. Entah kenapa pendengaran keduanya begitu tajam diantara bisingnya suasana restoran hotel bintang lima itu. Zavier tak berkedip melihat Bella mengunakan gaun warna navy. Kaki jenjangnya yang mulus sedikit terekspos kala kakinya melangkah. Karena ada belahan panjang di bagian kiri gaunnya. "Selamat malam!" Suara Tuan Aksa membuat Zavier terkesiap kaget. Untuk menutupi kagetnya, Zavier hanya mengangguk sambil berdehem. Bella duduk tepat di depan lelaki yang dulu satu sekolah dan punya banyak kisah tersembunyi. Meski gugup, Bella mencoba menikmati malam ini dengan biasa saja. Tak lama pelayan datang untuk mencatat apa saja pesanan makan malam. Namun mata Zavier awas kepada pelayan yang terus melirik kearah Bella. 'Sial! Pengen aku congk*l kedua matanya!' Zavier memendam kemarahannya di dalam hati. Namun dia tidak bisa menunggu lebih lama, saat lirikan itu semakin menjadi. Zavier melakukan satu hal yang membuat Bella semakin berdebar dan menatap tak percaya kepada lelaki tampan ini. Bahkan untuk sesaat pandangan keduanya saling beradu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD