Enam - Sedikit Lebih Dekat

2193 Words
   “Aku senang pada kenyataan di mana aku dan kau … sedikit lebih dekat. Itu awal yang baik untuk sebuah hubungan, bukan?” ~♥~♥~♥~   Mereka berdua sarapan dalam diam. Adel mengaduk-aduk makanannya tidak bersemangat. Sedangkan Beni malah memakan sarapannya dengan lahap. Beni menelan makanannya lalu meminum minumannya. Cowok itu menatap Adel prihatin dan berkata,      "Kalau makanannya kamu aduk-aduk terus kayak gitu, nanti dingin, Del." Adel terus saja mengerucutkan bibirnya. Ia masih marah pada Beni, karena cowok itu semalam tidak mau mengalah padanya. Setelah Adel berpura-pura pingsan di ambang pintu kamar yang mereka perebutkan semalam, Beni dengan seenaknya menggendong Adel bagaikan karung beras dan menggiring gadis itu ke kamar bawah tangga. Adel sudah memohon pada cowok itu, tetapi lagi-lagi Beni mengusulkan untuk tidur sekamar dengannya. Sekali Adel merajuk, Beni akan dengan sekenanya menjawab, "Kenapa harus malu tidur sekamar sama aku, Ardela Maharani? Hem? Lagipula, kita kan pernah tidur sekamar sebelumnya." Dan Adel sekarang benci mengakui bahwa ia tidak menyukai seringaian licik Beni. “Dasar cowok nyebelin!” batinnya sambil memandang sinis Beni. "Nanti Bunda dan Mama akan kesini. Kuharap kamu cepat-cepat mengganti piyamamu itu dengan seragam sekolah," perintah Beni pada Adel yang baru memakan separuh makanan di piringnya. "Ya," gumam Adel singkat. Gadis itu membereskan peralatan makannya di atas meja dan melangkah menuju tempat cuci piring, hendak mencucinya. Tetapi saat akan menyapukan spon cucinya, Beni menahan tangan Adel dan mengambil alih. "Biar aku aja yang nyuci piringnya. Kamu siap-siap ke sekolah sana," kata Beni sambil fokus pada piring di tangannya. Adel acuh, dan langsung bergegas menuju kamarnya. Mengingat hal semalam membuatnya ingin segera merefresh kembali otaknya dengan obrolan tentang Korea dengan teman-temannya di sekolah. ~♥~♥~♥~   "Gimana sama rumah ini? Cocok enggak sama kemauan kamu dan Adel?" tanya Meiti. Tiga puluh menit setelah Adel berangkat ke sekolahnya, Meiti dan Mutia datang sesuai dengan janji mereka kemarin. Mereka  juga membawa pekerja dan banyak peralatan rumah tangga kemari.Benar-benar mempersiapkan rumah idaman dengan baik untuk putra-putri mereka. "Rumahnya luas Bun, Adel juga suka. Tetapi dia masih enggak mau tidur di kamar bawah tangga itu," jelas Beni sambil menunjuk kamar tersebut. "Lagipula Beni enggak mungkin tidur sekamar dengan Adel, kan Bunda?" tanyanya lagi diakhiri cengiran. Beni menatap lurus-lurus dua wanita paruh baya itu. Cowok itu mengangkat bahunya. "Sebisa mungkin Bunda akan bicara dengan Adel, nanti bunda bujuk dia agar mau tidur di kamar itu," saran Meiti. "Ingat perkataan kakek kamu, Ben. Kamu belum boleh nyentuh Adel sebelum gadis itu berusia 20 tahun."  Mutia yang sedari tadi hanya diam, kini ikut menimpali. Beni tampak mengingat kemudian ia mengangguk. "Bunda dan Mama tenang saja, Beni enggak akan macam-macam. Lagipula apa yang akan Beni lakukan pada anak kecil seperti Adel, Ma," aku Beni. Ia dalam hati berharap akan menepati perkataannya itu. Bunda dan mamanya tertawa, kemudian melanjutkan obrolan ringan mereka ke topik lain. ~♥~♥~♥~   "Hai!" Adel dan teman-temannya yang sedang berjalan sambil bersenda gurau menghentikan langkahnya. Gadis itu menoleh pada segerombol anak lelaki yang duduk di depan kantin, lalu balas menyapa orang yang tadi menyapanya. "Hai!" Adel membalas sapaan cowok yang ada di hadapannya ini dengan kikuk. "Sejak seminggu yang lalu kenapa Whatsappnya enggak aktif, Del? Pesanku yang ada di dm i********: juga belum dibaca sampai sekarang, sebegitu sibuknya ya, di desa kakeknya?" tanya cowok itu. Pertanyaannya sih sedikit, tetapi mengapa efeknya justru membuat Adel bingung menjawabnya. "Di sana ngapain aja, Del?" tanya cowok itu lagi, tidak sabar ketika melihat Adel diam. "Nikahan," sahut Adel reflek. Cowok itu mengernyitkan keningnya. Sadar ada yang aneh pada kalimatnya barusan, ia buru-buru meralat. "Maksudnya ...  tanteku nikahan, jadi aku sibuk bantu-bantu kemarin." Adel diam-diam mengembuskan napasnya ketika melihat cowok di hadapannya mengangguk paham. "Cie. .. rajin banget, sih," canda cowok itu. Teman-teman Adel yang sejak tadi di samping gadis itu cekikikan saat mendengar pujian cowok yang notabenenya adik kelas mereka itu. Mereka mencolek-colek lengan Adel untuk menggoda gadis itu. "Iya," Adel menggumam tidak jelas. Bingung memilih lanjutan kalimat yang tepat. Wajahnya memerah, khas Adel kalau habis digodain. "Aku duluan ya, Nat."Pada akhirnya ia menyudahi obrolan ringan itu dan mengangguk kecil pada teman-teman gerombolan si cowok itu.     Adel berjalan tergesa diikuti ketiga temannya di belakang. "Tumben tuh si Adel buru-buru banget, kayak ada yang disembunyiin, Nat." Salah satu teman cowok itu menyentuh bahunya. "Biasanya juga biasa aja," sambungnya. Cowok itu terdiam dan menggumam. "Perasaan lo aja, kalik," katanya. "Yuk, cabut!" Baru mereka akan melangkah, seorang gadis berkacamata berlari ke arah mereka dengan napas terengah. "Nata, dipanggil Bu Widya di ruang guru." Cowok yang bernama Nata itu tersenyum dan mengangguk. "Thanks, ya," katanya. Nata merangkul bahu temannya dan berjalan meninggalkan gadis berkacamata yang sesaat terpesona melihat senyumannya. ~♥~♥~♥~   Hari ini benar-benar hari yang melelahkan. Setelah tadi pagi ia upacara, lalu disambung dengan olahraga, siangnya ada ulangan mendadak dari guru Bahasa Inggrisnya. Mentang-mentang sekolah Adel ini katanya sekolah favorit di daerahnya, kebanyakan guru senang sekali memberikan kuis dadakan, tanpa mendengar alasan para muridnya. Benar-benar Senin yang menyebalkan untuk Adel. Adel memasuki rumah barunya begitu saja tanpa mengucapkan salam. Gadis itu berjalan sambil menyeret tas ranselnya ke arah dapur.Kemudian ia mengambil sebotol es jeruk di dalam kulkas dan meminumnya. Adel yang tengah meminum es jeruknya tersentak, hingga hampir memuncratkan semuanya. Buru-buru ia berlari ke arah ruang tamu. "Apa-apaan?!" Ia menatap bingkai foto berukuran besar yang terpajang di atas sofa ruang tamu. Adel terkejut bukan karena ia baru pertama kali melihat bingkai foto sebesar itu, tetapi ia terkejut karena dua orang yang berada di dalam foto itu. Itu foto pernikahannya dengan Beni. Ya, Adel masih ingat betul bagaimana foto itu diambil. Ketika wedding kiss mereka. "Kamu udah pulang?" Beni bertanya pada Adel yang masih melongo di tempatnya. Cowok itu mengerutkan keningnya dan ikut melihat apa yang Adel lihat. Setelah ia tahu penyebab kecengoan Adel, Beni ber-'Oh' ria. "Bagus, kan?" tanya Beni meledek Adel. "Bunda yang ngusulin ditaruh di ruang keluarga, supaya jadi kenangan untuk kita saat setiap kali masuk rumah," tambahnya. Adel membalikkan tubuhnya menatap kesal Beni. "Kenangan dari Hongkong! Kenapa bukan foto yang lain saja? Kan kita juga udah foto sama Keluarga Besar Djamil, kenapa enggak foto yang itu aja?" tanya Adel bersungut-sungut. Beni hanya mengedikkan bahunya. "Enggak tahu," katanya. Adel bergegas mengeluarkan ponsel dan memutuskan menghubungi bundanya. Tetapi ia baru ingat, bahwa ponselnya kehabisan pulsa, jadi ia memasang wajah melasnya ketika menatap Beni sambil berujar, "Pinjem ponsel kamu." Adel mengulurkan tangannya. Beni mendesah, lalu merogoh saku celananya. "Nih, jangan lama-lama teleponnya, hemat! Krisis moneter!" Beni berjalan melewati Adel dan merebahkan dirinya di sofa depan televisi. Cowok itu memencet-mencet remot, dan mencari saluran kesukaannya. Adel mencebikkan bibirnya menatap sewot ke arah Beni. Lalu mulai mencari kontak bundanya. "Bunda, kenapa harus pajang foto yang ini, sih?" tanya Adel dengan geram saat panggilannya terhubung. Mengabaikan Beni yang kini asik mencomot kripik singkong, gadis itu berjalan dengan mengentakkan kakinya sambil terus mengoceh pada bundanya di telepon. Berikutnya Beni mendengar suara debaman pintu, tanda kalau gadis itu masuk ke kamarnya. Beni tidak fokus lagi pada tayangan yang ia tonton. Cowok itu mengeluarkan ponselnya yang lain dan iseng mengirim pesan pada seseorang. Kling Satu pesan masuk ke ponselnya. Ya sudah, besok kamu kesini saja. Kita bicarakan tentang lamaran kamu. Beni tersenyum dan bersemangat menjawab.'Oke.' ~♥~♥~♥~   Adel cekikikan di tempat duduknya. Ia sedari tadi mengetikkan sesuatu di ponselnya. Setelah mengetik, ia melanjutkan menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Sesudah suapan, ia kembali mengetik. Begitu seterusnya. Membuat Beni yang melihat hal itu geram, dan menghentikkan suapannya. "Kalau lagi makan, ponselnya ditaruh dulu, Del. Seenggaknya kamu tuh menghargai makanan yang ada di hadapan kamu," kata Beni dingin. Cowok itu kembali menyendok nasinya. Mereka sedang memakan nasi goreng di ruang makan.  Nasi goreng itu bukanlah buatan Adel, juga bukan buatan Beni, melainkan buatan penjual nasi goreng yang kebetulan lewat di komplek rumahnya. Adel bukannya tidak bisa memasak, gadis itu bisa memasak kok. Tetapi kali ini mereka sepakat untuk membeli karena alasan yang sama. Malas. "Sirik aja," balas Adel singkat. "Eh, sorry, ya, bukannya sirik. Ponselku yang ada di kamar mungkin udah berulang kali bunyi karena puluhan pesan yang masuk dari tadi. Tetapi aku enggak ada tuh bawa ponsel itu kesini. Karena aku menghargai makanan. Enggak kayak kamu tuh, yang setiap 2 detik tengokin ponsel. Makanan kan rezeki, jangan begitu ah, Del," jawab Beni. Adel cemberut. Beni pintar sekali mematahkan kalimatnya barusan. Ia meletakkan ponselnya di samping piring. Gadis itu melanjutkan makannya dengan khidmat. "Em ... Ben, ada yang ingin aku tanyain ke kamu," gumam Adel melirik Beni was-was. Beni mengelap sudut bibirnya dan menatap Adel. "Apa?" tanyanya penasaran. "Kata Bunda, dulu sewaktu kita kecil, kita deket banget, ya?" Adel bertanya dengan ragu. Benarkah yang dikatakan bundanya? Jika benar, seharusnya Adel mengingat kenangan itu, bukan? Namun, kenyataannya Adel bahkan tidak mengingat satupun kenangan masa kecilnya. "Kenapa memangnya?" Beni malah balik bertanya. Cowok itu meyakinkan pendengarannya. Adel tidak mengingat semuanya? Apa gadis itu sedang bercanda sekarang? "Aku cuma penasaran aja, soalnya... tadi pas ditelepon, Bunda sempet sebut-sebut kalau aku harus bersikap akrab ke kamu 'seperti dulu'. Makanya aku nanya kamu," jelas Adel. Beni mengerutkan keningnya. Jadi benar ya, gadis itu tidak ingat apapun? Beni mengembuskan napasnya, sambil menatap tajam Adel. “Kamu beneran enggak ingat?” Adel menggeleng. "Aku akan cerita tentang masa kecil kita kepadamu, tetapi ada syaratnya," tawar Beni. "Apa?" Adel penasaran dibuatnya. "Kamu habiskan makan malam kamu terlebih dahulu, terus cuci semua peralatan makan malam kita. Kan tadi pagi aku yang nyuci piring, sekarang gantian kamu," kata Beni sambil meneguk air putihnya. Adel mengangguk antusias lalu menjawab, "Oke". Beni tersenyum kemudian beranjak dari duduknya. Adel di tempatnya menatap punggung Beni yang kini sudah mendaratkan bokongnya di sofa depan televisi. Gadis itu tersenyum manis dan bergegas menuruti persyaratan Beni. Ya, malam ini, semua hal yang mengganjal di benak Adel akan menemui titik terang. ~♥~♥~♥~   "Dulu kita memang dekat. Saking dekatnya kamu sampai godain aku mulu. Dulu itu, kamu genit banget tahu, Del," ucap Beni ketika melihat Adel yang baru saja mendudukkan dirinya di samping Beni. Mereka kini berada di ruang keluarga, tepatnya di depan televisi yang sekarang tengah menampilkan acara kesukaan Adel. Adel menyatukan alisnya bingung. "Oh, ya?" tanyanya. "Pertama kali kita kenal itu sekitar... 10 tahun lalu, tepatnya sewaktu kamu kelas 2 SD. Waktu itu kamu yang belum kenal siapa aku, langsung datang nyamperin aku sambil ngajakin kenalan. Lucu deh, kalau ingat waktu itu," kenang Beni. Adel mendengarkannya dengan baik. Tidak berniat menyela sedikitpun. "Semenjak itu kita jadi dekat dan sering main bareng," lanjut Beni sambil menatap Adel dari samping. Adel menerawang, tetapi tidak ada satupun kenangan yang ia tangkap. "Jangan dipaksain kalau memang kamu enggak ingat. Itu kan karena sudah lama banget, jadi aku maklum kalau kamu lupa," kata Beni tersenyum. Tetapi ada sorot kecewa di matanya karena tahu, Adel tidak mengingat apapun. "Ayo, ceritakan lebih banyak lagi," pinta Adel menarik ujung baju Beni antusias. "Karena saat itu aku hanya seminggu di Jogja, dan belum ada sarana komunikasi yang canggih seperti sekarang, kita sempat lost contact. Puncaknya ketika aku balik lagi pas kamu kelas 3 SD, itu terakhir kali kita akrab. Sejak saat itu aku enggak pernah balik lagi ke Jogja karena usaha Papa sempat down dan kita sekeluarga putusin untuk enggak liburan ke Jogja sampai usaha Papa kembali lagi," jelas Beni. Adel mengangguk-angguk paham. Kalau yang satu ini Adel setuju. Tetapi sedetik berikutnya ia mengerutkan keningnya. Karena setahu gadis itu, mereka memang pernah bertemu 10 tahun lalu dan setelahnya itulah yang membuat Adel bingung. Menurut cerita Beni, dulu saat Adel kelas 3 SD, mereka pernah bertemu lagi, tetapi mengapa Adel tidak mengingat bagian yang diceritakan Beni? "Dan waktu kami sekeluarga memutuskan berlibur kembali ke Jogja setelah 4 tahun lamanya enggak ke Jogja... kamu berubah. Menjadi lebih pendiam dan tertutup. Jarang tersenyum seperti Adel dulu," sambung Beni setelah jeda panjang. Beni menatap Adel lebih dekat supaya melihat reaksi gadis itu. Namun, Adel diam, seperti ikut mengenang. Berikutnya Beni dikejutkan oleh Adel yang tiba-tiba menarik kausnya. "Oh ya, aku baru ingat sekarang. Dulu Bunda pernah bilang kalau aku pernah mengalami kecelakaan yang menyebabkan sebagian memori di otakku hilang." Adel menatap Beni semangat. "Mungkin itu alasan utama, kenapa aku bisa lupain semua kenangan aku dengan kamu," tambah gadis itu. Beni tersenyum dan bernapas lega. Setidaknya kini ia tahu, Adel tidak akan sengaja melupakan kenangan masa kecilnya. "Dan bodohnya aku, karena sempat berpikir kamu lupa sama aku," sahut Beni sambil terkekeh. Cowok itu mengusap kepala Adel lembut. "Jadi sekarang kita sama-sama tahu, kalau dulu kita pernah berteman, kan?" tanyanya. Adel mengangguk. "Nah, kalau begitu... kita sekarang bisa berteman lagi kan, Del?" tanya cowok itu lagi.    Adel menatap Beni bingung. "Seenggaknya, kalau kamu belum bisa terima aku jadi suami kamu, kamu boleh anggap aku teman kamu. Seperti dulu." Beni menatap Adel tulus. Adel tertawa. "Aku memang menganggap kamu teman aku dari awal. Apa sih yang membuat kamu berpikir kalau aku enggak pernah anggap kamu sebagai teman?" "Kamu selalu jutek sama aku," ujar Beni santai. Cowok itu memanyunkan bibirnya. "Itu sih udah bawaan dari lahir!" selorohnya asal. Berikutnya ruang keluarga itu berisi obrolan tidak penting dan canda tawa keduanya. ~♥~♥~♥~    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD