Tujuh - Kabar Gembira atau Kabar Buruk?

1117 Words
 “Aku berbohong kalau berkata jika ini kabar yang buruk. Namun, aku juga tidak bisa menyebutnya kabar yang baik, mengingat bagaimana hubungan kita.” ~♥~♥~♥~   "Pagi." Adel tersenyum manis pada Beni saat cowok itu keluar dari kamarnya dengan setelan kemeja rapi. "Pagi," sahut Beni cepat. Cowok itu mengacak rambut Adel gemas dan ikut mendudukkan dirinya di samping Adel. "Kopi, please," pintanya. Adel buru-buru mengambil apa yang diinginkan Beni dan segera menyerahkannya. "Thanks," kata Beni sambil menyesap kopinya. "Kamu mau kemana pagi-pagi begini?  Tumben. Enggak ada tuh pengangguran rapi yang cuma di rumah tetapi pakai kemeja kantoran," ledek Adel. Beni terkekeh lalu menyeringai pada Adel. "Aku diterima kerja," katanya. Adel tersenyum dan bertepuk tangan di tempatnya. Kemudian ia beranjak dan tanpa sadar memeluk Beni. "Selamat ya, suamiku. Aku seneng dengernya," katanya. Beni awalnya tersentak bingung, namun membalas pelukan Adel juga sambil berkata, "Thanks a lot, Del." Adel tersentak dan buru-buru melepaskan pelukannya. "Sorry. Kebablasan," bantahnya. Beni tersenyum. "Kok dilepas sih pelukannya, kan lumayan buat hidangan pembuka," ejeknya. "Apaan sih, mulai deh narsisnya! Kamu kan udah janji semalam, enggak akan narsis lagi dan sebagai gantinya aku juga enggak akan jutek lagi ke kamu", gerutu Adel. "Oke, oke. Maaf, kebiasaan, sih." "Ah, jadi badmood," ujar Adel sambil memotong roti di piringnya dengan kesal. "Aku kan udah minta maaf," rajuk Beni. Adel tetap cemberut hingga cowok itu berdiri mendekatinya dan merangkul pundaknya. "Mau dengar kabar gembira?"   ~♥~♥~♥~   "Ya, gue ada kabar gembira nih!" Seruan salah seorang siswi yang agak populer di sekolah saat Adel baru saja memasuki kelas XII IPS 2 mengalihkan perhatian seluruh siswa. "Apa? Obat Mastin ada ekstrak jeruk purutnya!" celetuk cowok lainnya membuat gelak tawa di dalam kelas. Adel hanya diam, sambil ikut mendengarkan perbincangan di depan kelas. Ia akhirnya bosan dan menenggelamkan kepalanya ke sela tas di atas mejanya. Reina, teman sebangkunya yang sedari tadi melihat sikap diam Adel, akhirnya bertanya, "Kenapa, lo? Nata enggak chat lo?" tanyanya. Adel sudah tidak lagi mendengarkan kabar gembira di depan kelas, padahal Adel duduk di bangku kedua setelah seorang siswi berkacamata di depannya. "Hemmm ...." gumam Adel lesu. "Pagi tadi gue juga enggak ngelihat Nata ada bergerombol di gengnya," sambungnya. Adel mencebikkan bibirnya dan menatap Reina malas. Lalu keduanya dikejutkan oleh teriakan yang kembali menggema di kelas. "Pak Fajar lagi kena cacar, jadi enggak masuk sekolah hari ini! Kita bebas dari ceramahnya yang membosankan!" "Serius, lo? Tumben banget? Entah gue harus seneng atau sedih karena guru yang imutnya mirip Doraemon itu enggak masuk karena cacar?" celetuk murid cowok lainnya. Sedetik kemudian kelas itu dipenuhi gelak tawa lagi. Lagi-lagi Juno and the genk membuat ulah. Tetapi kelas akan sepi jika tidak ada mereka, tidak akan ada lagi yang membuat dirinya menjadi bahan tertawaan. Cowok yang tadi nyeletuk juga ikut-ikutan ketawa sambil joget goyang sambalado bareng teman se-gengnya di depan kelas. "Yuhu! Hari ini enggak ada pelajaran matematika!" Adel lagi-lagi tak ikut tertawa saat hampir semua murid kelasnya tertawa termasuk Reina, yang terkekeh melihat aksi Juno and the genk yang kini malah oplosan sambil godain Mimi, anak hits yang tadi mengumumkan kalau hari ini akan tidak ada pelajaran Matematika. "Siapa bilang kalau hari ini tidak ada pelajaran Matematika?" Suara bariton di ambang pintu menyadarkan semua murid. Mereka bergegas ngacir ke tempat duduk masing-masing. Pak Iqbal, Kepala Sekolah tempat Adel menimba ilmu, berjalan memasuki kelas sambil diikuti seorang cowok yang berusia sekitar 23 tahunan di belakangnya. "Ini guru baru kalian, yang akan mengajar Matematika kelas kalian, menggantikan Pak Fajar yang sedang sakit," tegasnya di depan kelas. Lelaki itu menatap sewot pada Juno dan teman-teman segengnya sejenak, lalu beranjak meninggalkan kelas setelah menepuk pundak guru baru itu. Guru baru itu mengangguk kecil. "Selamat pagi semua!" "Pagi, Pak!" "Perkenalkan nama saya Beni Pandjaitan. Kalian bisa memanggil saya Pak Beni. Saya akan mengajar kalian Matematika," kata cowok itu tersenyum. Kemudian ia semakin melebarkan senyumnya saat seorang gadis di barisan kedua langsung mengangkat kepalanya yang sedari tadi ditumpukan di meja. Gadis itu menganga di tempat duduknya. ~♥~♥~♥~   Adel terus mengucek kedua kelopak matanya memastikan bahwa penglihatannya salah. Ia juga menepuk-nepuk pipinya, lagi-lagi untuk memastikan bahwa ini bukan mimpi. Tetapi ia harus menelan pil pahit, sebab harapan jika penglihatannya salah itu tidak akan terjadi. Karena memang, orang yang kini berada di depan kelas dan yang tengah mengerling ke arahnya itu benar-benar Beni, suaminya. Jadi ini ya, kabar gembira yang ingin Beni sampaikan saat tadi pagi mereka sarapan. Tadi pagi sebelum mendengar kabar gembira yang ingin disampaikan oleh Beni, dengan cueknya Adel malah meninggalkan Beni yang berkali-kali memanggilnya. Entahlah, kini yang berada di hadapannya adalah kabar gembira, atau bahkan... kabar buruk? "Keluarkan kertas ulangan kalian! Kita adakan ulangan. Saya ingin mengecek seberapa jauh kemampuan siswa SMA HARAPAN, SMA favorit di kota ini," perintah Beni langsung. Tanpa senyum yang menghiasi wajah gantengnya seperti saat perkenalan tadi. Semua murid cowok mendesah panjang sambil bermalas-malasan mengikuti perintah guru baru itu. Sedangkan murid cewek di kelas Adel justru bersemangat mengikuti atensi Beni. Adel mungkin tidak berada di pihak cowok atau cewek, karena gadis itu tetap terbengong hingga sebuah suara menginterupsinya. "Ardela Maharani." Adel tersentak ketika Reina menyenggol lengannya. Ia bergegas bangkit dan menjawab dengan lantang, "Ya, Sayang?" Setelahnya, semua orang di dalam kelas XII IPS 2 terbengong, termasuk Beni. ~♥~♥~♥~   Setelah acara perkenalan, Beni beranjak dari berdirinya dan segera duduk. Cowok itu membuka buku jurnal kelas dan mulai mengabsen.Beni tersenyum saat ia melihat deretan nama murid di buku absen. Nama orang yang berada pada deretan terataslah yang menarik perhatiannya. "Akan saya absen dulu!" ujar Beni menginterupsi semua murid yang tengah menuliskan identitas diri. Semua pandangan murid mulai tertuju pada Beni seorang. "Ardela Maharani?" Cowok itu mengedarkan pandangannya ke penjuru kelas dan berhenti ke deretan bangku kedua di depannya. Tidak ada sahutan. "Ardela Maharani!" kata Beni lebih lantang. Semua pandangan murid di kelas XII IPS 2 mencari keberadaan Adel. Mereka berbisik untuk memamggil nama gadis itu. Namun, Adel masih terbengong sambil menatap Beni, mengacuhkan semua pandangan murid yang menuju ke arahnya.Beni melihat teman yang semeja dengan Adel menyenggol lengan gadis itu. Lalu akhirnya gadis itu tersentak dan bergegas bangkit dari duduknya. Sedetik kemudian Adel mengatakan sebuah kalimat yang membuat Beni terkejut.    "Ya, Sayang?" Berbagai macam ekspresi terpancar dari raut muka semua murid, tetapi yang lebih dominan adalah ekspresi cengo. Sedetik berikutnya mereka tergelak. Kelas dipenuhi tawa, menertawakan kebodohan Adel. Beni menggeleng-gelengkan kepalanya dan menatap galak Adel. Ia beranjak menghampiri Adel yang tengah merutuki kebodohannya. "Ardela Maharani, sekali lagi kamu melamun saat pelajaran saya, saya akan mengeluarkan kamu dari kelas." JEDER Ini pertama kalinya Adel tersangkut masalah dengan guru. Dan yang lebih parah lagi, guru yang kini dihadapinya adalah suaminya sendiri.      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD