BAB 7

882 Words
Adam "Agni menerima lamaran Bram, beberapa hari lagi mereka akan menikah. Terima kasih telah menjaga Agni selama ini. Saya tahu kamu kecewa atas tindakkan Agni menerima lamaran Bram. Tapi saya lebih kecewa terhadap kamu. Kamu berani bermain api di belakang Agni. Jika saya tahu tindakkan kamu selama ini bersama Jenar, saya tidak akan merestui hubungan kalian berdua. Semoga kamu bahagia atas pilihan kamu ". Alan menatap pesan singkat dari Adam. Alan menatap foto Agni, foto itu adalah foto pertunangannya kemarin. Agni lah, yang ia inginkan menjadi istrinya. Jujur hatinya teriris melihat kejadian yang menimpanya. Malam ini seharusnya ia sudah tidur bersama Agni disini. Sungguh ia masih sulit menerima kejadian seperti ini. Ia mencintai Agni, seharusnya ia menikah dengan wanita itu. Seharusnya ia melihat senyum Agni disini, memeluk tubuh ramping Agni bukan seperi ini, meratapi kegagalan yang ia alami. Banyak yang bilang laki-laki itu harus tegar menghadapi masalah. Tapi laki-laki juga manusia yang mempunyai hati dan perasaan. Laki-laki mana yang tidak sedih melihat pernikahannya gagal dengan wanita yang ia cintai. Pernikahan yang ia inginkan berantakan hanya karena gosip dirinya bersama Jenar. Alan tahu jodoh ada di tangan Tuhan, tapi jika jodoh sudah di depan mata, hanya hitungan jam pernikahannya hancur seketika. Hati mana yang tidak teriris melihat kejadian itu. Pernikahan yang ia buat, bukan pernikahan sembarangan tanpa mendasari cinta. Seluruh keluarganya menyalahkan dirinya, karena berani berselingkuh tepat di hari pernikahan dirinya. Itu sama sekali tidak masuk akal. Orang lain mungkin menganggap dirinya laki-laki yang tidak punya hati, secepat itu mendapat pengganti posisi Agni. Padahal semua tidak seperti itu. Berat rasanya melepaskan ini, melepaskan itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Melihat orang beranggapan ia akan tenang menghadapi setiap masalah yang ada. Ia bukan jenis laki-laki yang bebas berbuat sesuka hatinya. Sejatinya tenang adalah salah satu cara dirinya untuk menutupi rasa sakitnya. Sebagai seorang laki-laki seperti dirinya, tidak bisa memutuskan untuk berpisah. Kenangan dirinya bersama Agni tidak bisa ia lepas begitu saja. Ia tahu bahwa jodoh tidak akan kemana, jika ia berjodoh, Tuhan dan alam semesta akan berusaha memepertemukan jodohnya. Demikian juga jika tidak berjodoh, meski ia menunjukkan air mata dan pedih patah hati, tidak mungkin untuk bersama. Jika Agni adalah cinta sejati dirinya, maka dia akan kembali dengan cara yang mengagumkan. Jika takdir tercipta untuk dirinya, maka akan kembali dengan cara sederhana. Sungguh tidak ada gunanya jika hanya meratapi kekecewaan, cemas dan perangai norak lainnya, tidak akan sesuai rencana dan keinginan dirinya. Seperti inilah hukum Tuhan, ia harus melepaskan orang yang kita cintai, Tuhan tahu apa yang terbaik untuk umatnya. ********** Alan merasakan air yang jatuh di permukaan tubuhnya. Ia tidak bisa terus-terusan meratapi kekecewaanya. Jika harapan tidak sesuai dengan kenyataan, maka mungkin Tuhan akan mempersiapkan jalan yang lebih baik yang ia harapkan nantinya. Ia yakin rencana Tuhan itu akan indah seiring dengan waktu. Alan berlama-lama dalam kamar mandi, untuk menghilangkan rasa kekecewaanya. Alan tahu, ia tidak mudah untuk membuat semuanya kembali sediakala. Semuanya karena Jenar, Jenar sudah membuat hidupnya hancur seperti ini. Alan mematikan shower itu, ia lalu melangkah mengambil handuk yang menggantung di dekat wastafel. Alan menatap pantulan dirinya di cermin. Hatinya seperti teriris melihat dirinya. Alan lalu masuk ke dalam walk in closet. Ia butuh untuk tempat menyendiri, ia harus menjernihkan pikirannya. Mungkin ia akan meluapnya apa yang ada. Ia tidak mungkin marah, menghancurkan seisi rumahnya. Ia lebih baik memelih pergi jauh, ia akan pergi jauh tidak ada orang yang melihatnya. Celana jins dan kaos adalah pilihannya saat ini. Alan membuka laci di dekat brangkas. Alan mengambil paspor dan visa yang masih aktif, karena sebulan yang lalu ia mengaktifkan visa karena dulu ia pernah ingin mengajak Agni berbulan madu ke Luzern. Alan memasukkan beberapa pakaian ia masukkan pakaian itu ke dalam tas ransel miliknya. Ia butuh menenangkan hati dan pikirannya. Menyendiri adalah pilihan yang terbaik, ia memulihkan hatinya yang telah hancur ini. Tidak banyak yang ia bawa, Alan mengambil jaket kulit yang menggantung di lemari. Alan menatap penampilannya, saat ini ia akan pergi, entahlah ia juga belum tahu akan kemana, yang pasti ia akan pergi jauh dari Jakarta. Alan membawa tas ranselnya dan melangkah keluar dari kamar. Alan menghentikan langkahnya, ia menatap Jenar disana. Wanita itu telah rapi dengan balutan dress berwarna kuning, dengan bahu terbuka. Rambut lurus itu, ia biarkan terurai. Wanita itu Terlihat sangat rapi, sapuan make up tipis di wajahnya, membuat wanita itu terlihat lebih segar. Jenar memandang Alan disana. Laki-laki itu terlihat rapi, seakan ingin pergi terlihat jelas tas ransel hitam yang dibawanya. Saling menatap satu sama lain, Jenar tidak tahu akan berbuat apa, ia lalu melangkah mendekati Alan. "Alan" ucap Jenar pelan. "Ya". "Kamu mau kemana". "Itu bukan urusan kamu" ucap Alan. "Pergilah dari hadapan saya, jangan pernah ganggu hidup saya lagi. Jangan pernah bertemu saya lagi". Jenar mengerutkan dahi, "apa maksud kamu". "Kehidupan saya telah hancur karena kamu. Masa depan saya bersama orang yang saya cintai hancur karena kamu. Apakah kamu puas apa yang telah kamu lakukan terhadap saya?". Alan menarik nafas, "pergilah menjauh dari saya, saya tidak ingin mengenal kamu lagi". "Itu semua karena kamu, hanya seorang wanita seperti kamu. Saya laki-laki yang memiliki masa depan, hidup bersama wanita yang saya cintai, memiliki keturunan, dan hidup bersama keluarga kecil saya. Sekarang semua hanya akan menjadi angan-angan. Itu semua karena kamu". "Pergilah, bawa koper kamu. Selamat kamu sudah sukses membuat seluruh hidup saya hancur". *************
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD