Teman masa kecil

2282 Words
Gavin hari ini pulang lebih awal, karena ia ingin segera bertemu dengan putra semata wayangnya. Apalagi setelah pagi tadi melihat putranya itu begitu gembira bermain dengan teman-teman barunya. Gavin yang baru saja melangkah masuk ke dalam rumah, langsung disambut dengan pelukan oleh putra tersayangnya. Gavin lalu menggendong Zayn, “bagaimana dengan sekolahnya tadi, Sayang?” “Zayn sekarang punya banyak teman, Pa. Mereka semua juga baik sama Zayn.” Gavin mencium kedua pipi Zayn, “benarkah? Siapa saja nama teman-teman kamu?” tanyanya sambil melangkah masuk kedalam rumah. “Rino, Raka, Faiz, dan banyak deh pokoknya. Ada yang cewek juga. Mereka semua baik.” “Apa Papa besok mau mengantar dan menjemput Zayn ke sekolah? Karena tadi Zayn melihat semua teman-teman Zayn dijemput oleh mama dan papanya.” Zayn lalu menundukkan wajahnya, “Zayn juga ingin mempunyai mama seperti teman-teman yang lain, Pa. Dijemput mama dan papa.” Zayn ingin sekali merasakan apa yang teman-temannya rasakan. Mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tua yang utuh. Gavin mendudukkan Zayn ke sofa. Ia lalu duduk berjongkok di depan Zayn. “Maafkan Papa, Sayang. Kamu jangan sedih gitu dong. Kan Zayn punya Papa dan Nenek. Papa memang gak bisa janji untuk menjemput Zayn ke sekolah setiap hari. Tapi, Papa akan usahakan untuk menjemput Zayn ke sekolah,” janjinya dengan mengusap puncak kepala Zayn. “Papa janji?” tanya Zayn penuh harap. Gavin menganggukkan kepalanya, “Papa janji, Sayang. O’ ya, dimana nenek kamu?” “Nenek sedang ada di belakang, membantu bibi untuk menyiapkan makan malam.” Gavin mengusap puncak kepala Zayn, “kalau begitu kamu main dulu ya, Sayang. Papa mau mandi dulu.” Zayn menganggukkan kepalanya. Gavin lalu beranjak dari duduknya, melangkah menuju tangga dan menaikinya satu persatu menuju kamarnya. Zayn memilih untuk bermain di taman depan. Sedangkan Gavin yang sudah selesai mandi, keluar dari kamarnya untuk makan malam. Ia melihat putranya yang duduk di ruang tengah sambil melihat acara televisi kesukaannya. “Sayang, ayo kita makan malam dulu,” ajaknya. Gavin lalu menggendong Zayn dan mengajaknya menuju ruang makan. Dimana mamanya sedang menyiapkan makan malam diatas meja makan bersama dengan asisten rumah tangganya. Gavin lalu mendudukkan tubuh Zayn di kursi meja makan. Ia lalu menarik kursi yang ada di sebelah Zayn dan mendudukinya. “Vin, malam ini kamu gak ada acara di luar ‘kan?” tanya Sinta sambil mengambil makanan untuk cucunya. “Gak, Ma. Memangnya ada apa ya, Ma?” “Nanti teman Mama mau datang kesini. Ada yang ingin ketemu sama kamu.” Sarah lalu meletakkan makanan itu di depan Zayn, “cucu Nenek ini mau makan sendiri atau disuapin sama Nenek?” tanyanya kemudian. “Kata Bunda Shanum, Zayn sudah besar, Nek. Jadi, Zayn harus bisa makan sendiri.” Gavin mengusap puncak kepala Zayn, “siapa itu Bunda Shanum, Sayang?” “Guru yang mengajar di kelas Zayn. Dia sangat baik. Mama aja sampai terkejut, saat melihat Zayn bisa langsung akrab dengannya.” “Bunda Shanum itu sangat baik, Nek. Bahkan Bunda Shanum membela Zayn, saat ada teman Zayn yang nakal.” Shanum? Apa wanita yang ada di video tadi? Gavin lalu menatap mamanya, “Ma, siapa yang akan datang? Apa Gavin mengenalnya?” tanyanya penasaran. “Nanti kamu juga akan tau. Lebih baik sekarang kita makan dulu.” Setelah selesai makan malam, Gavin menemani Zayn untuk mengerjakan tugas sekolahnya. “Padahal baru tadi kamu masuk sekolah. Tapi Bunda Shanum sudah memberimu tugas rumah, Sayang?” Gavin melihat ada 2 lembar kertas yang berisi tugas sekolah Zayn. Yang satu tugas mewarnai, yang satu lagi tugas menebalkan huruf. “Papa yakin, Zayn pasti bisa mengerjakan semua ini,” ucapnya sambil mengusap puncak kepala Zayn. “Tentu dong, Pa. Ini ‘kan sangat mudah. Selama ini ‘kan Nenek dan Mbak Mina selalu mengajari Zayn menulis dan membaca.” Gavin menepiskan senyumannya, ‘maafkan Papa ya, Sayang. Papa selama ini terlalu sibuk dengan pekerjaan Papa di kantor, sampai Papa gak sempat untuk mengajarimu,” gumamnya dalam hati. Gavin mengambilkan pewarna yang ada di rak bagian atas meja belajar Zayn. “Anak Papa ini ‘kan paling jago mewarnai. Papa yakin, nanti Bunda Shanum akan memberikan nilai yang terbaik untuk tugas Zayn,” ucapnya sambil membuka tempat crayon itu. Zayn lalu mengambil crayon yang berwarna hijau tua untuk mewarnai daun pohon. Lalu ia mengambil crayon berwarna coklat tua untuk mewarnai batangnya. Gavin hanya melihat putra semata wayangnya yang begitu semangat dalam mengerjakan tugas rumahnya. Hingga ketukan di pintu, membuatnya mengalihkan tatapannya. “Masuk,” sahutnya dari dalam. Pintu terbuka dengan perlahan. “Sayang, tamu Mama sudah datang. Lebih baik kamu temui mereka,” ucap Sarah yang masih tetap berdiri di depan pintu. “Memangnya mereka siapa, Ma? Kenapa Gavin harus menemui mereka? Gavin baru menemani Zayn belajar.” “Sebentar saja. Biar Mina yang menemani Zayn belajar.” Siapa sih yang datang? kenapa Mama begitu memaksa? Jangan bilang Mama mau menjodohkan aku lagi dengan anak temannya? Astaga! Mama tetap gak menyerah juga. Padahal aku selalu menolak perjodohan itu. “Sayang, Papa keluar dulu ya. Nanti biar Mbak Mina yang menemani Zayn belajar.” “Iya, Pa.” Gavin lalu beranjak dari duduknya, melangkah menuju pintu. Setelah menutup pintu, ia mengikuti langkah mamanya menuruni tangga. “Mina, tolong kamu temani Zayn belajar,” pinta Gavin saat melihat Mina yang keluar dari arah dapur. “Baik, Tuan.” Mina menjawab sambil sedikit membungkukkan tubuhnya. Gavin lalu melangkah menuju ruang tamu. Ia begitu terkejut saat melihat siapa tamu mamanya. “Rani!” serunya terkejut. Sarah dan mamanya Rani yang bernama Anggi, tersenyum sambil menatap satu sama lain. Rani tersenyum, “hai, Kak Gavin? Apa kabar?” Gavin mendudukkan tubuhnya di samping mamanya, “baik. Kamu sendiri?” Rani adalah teman masa kecil Gavin. Usia mereka terpaut lima tahun. Sejak kecil, mereka kemana-mana selalu berdua. Tapi, mereka harus terpisah, karena Rani harus ikut mamanya pindah ke Australia, karena kedua orang tuanya bercerai. “Baik, Kak. Aku kira Kak Gavin sudah lupa sama aku.” “Mana mungkin aku lupa sama kamu. Kamu adalah sahabat kecil aku. Kapan kamu kembali dari Australia?” “Sebulan yang lalu. Maaf ya, Kak. Aku gak bisa datang saat kakak menikah. Dan sekarang malah...” Gavin tersenyum, “gak apa. Semua sudah takdir.” Sarah menyentuh lengan putranya, “lebih baik kamu ajak Rani jalan-jalan ke taman, agar kalian lebih nyaman ngobrolnya.” Gavin menganggukkan kepalanya. Ia lalu mengajak Rani untuk berjalan-jalan di taman depan rumahnya. Setelah Gavin dan Rani pergi, Sarah dan Anggi mulai membicarakan hal serius tentang kedua anak mereka. “Sudah aku bilang ‘kan Gavin pasti senang bertemu dengan Rani. Sekarang bagaimana? Apa kita lanjutkan rencana kita kemarin?” Sarah mengangguk setuju. Apalagi selama ini sudah berbagai cara ia lakukan untuk membujuk putranya untuk menikah lagi. Bahkan sudah banyak gadis yang ia kenalkan pada putranya, tapi tak ada satupun yang menarik hati putranya itu. “Tapi, Nggi. Aku gak yakin, apa Gavin mau menerima perjodohan ini.” “Soal itu kita serahkan kepada anak-anak aja. Kita kan hanya berusaha untuk mencarikan jodoh yang terbaik untuk mereka. Aku juga ingin melihat Rani segera menikah. Apalagi Rani adalah anakku satu-satunya.” “Tapi Gavin itu duda. Apa itu gak akan jadi masalah buat kamu? Rani masih sangat muda. Dia bisa mendapatkan suami yang lebih dari Gavin.” “Aku tau. Tapi, saat aku memberitahu Rani tentang rencana perjodohan ini, sepertinya dia tertarik. Aku yakin, sejak dulu dia memang sudah tertarik sama Gavin. Tapi, karena keegoisanku, mereka harus berpisah selama bertahun-tahun.” “Aku tau masalah apa yang kamu hadapi saat itu. Aku juga gak menyangka, suami kamu akan tega melakukan itu sama kamu.” “Aku sudah mengikhlaskan semuanya. Bagiku sekarang adalah Rani. Aku bahkan gak menikah lagi, karena aku takut, Rani akan semakin tersakiti nantinya.” Sedangkan Gavin mengajak Rani untuk duduk di bangku taman. Mereka duduk saling bersebelahan. “Aku gak menyangka, kamu akan kembali kesini lagi. Aku pikir kamu gak akan ingat sama Jakarta lagi.” Rani tersenyum, “bagaimana aku bisa lupa sama tanah kelahiranku. Disini aku lahir dan tumbuh besar.” “Wajahmu gak berubah sama sekali ya? padahal sudah 15 tahun kita gak ketemu. Apa kamu masih cengeng seperti dulu?” goda Gavin. “Kakak masih ingat aja. Aku bahkan sudah lupa.” Rani menatap kedua mata Gavin, “aku turut berduka cita ya kak, atas meninggalnya Kak Yasmin. Kakak pasti sangat sedih.” Gavin menghela nafas panjang, “sedih itu pasti. Apalagi Yasmin meninggal karena kecerobohanku. Tapi, aku harus tetap ikhlas, karena bagaimanapun, Yasmin gak akan bisa hidup lagi.” Rani memberanikan diri untuk menggenggam tangan Gavin, “mulai sekarang, aku gak akan pergi lagi. Aku akan selalu ada buat kakak,” ucapnya sambil menepiskan senyumannya. Gavin menarik Rani kedalam pelukannya. Sikap Gavin itu membuat tubuh Rani seketika langsung membeku. Ia tak menyangka, Gavin akan memeluknya. “Terima kasih. Ternyata setelah lama kita gak ketemu, kamu sama sekali gak pernah berubah.” Rani melepaskan pelukannya. Ia tak bisa mengendalikan detak jantungnya yang berdetak dengan sangat cepat. Ia tak ingin sampai Gavin mengetahui laju detak jantungnya yang begitu cepat. Dulu saat masih kecil, mereka memang terbiasa dengan saling mendukung dan memberikan pelukan kalau salah satu di antara mereka sedang bersedih. Tapi, sekarang berbeda. Usia Rani bukan lagi sembilan tahun, tapi sekarang usianya sudah dua puluh empat tahun. Ia sudah tak bisa lagi bersikap seperti dulu lagi. Gavin yang melihat perubahan wajah Rani, seketika langsung menyadari akan kesalahannya. “Ran, maafkan aku. Aku gak bermaksud untuk...” Rani menepiskan senyumannya, “gak apa kok, Kak. Dulu ‘kan kita memang terbiasa melakukan itu, saat salah satu di antara kita sedang bersedih.” “Maaf. Aku lupa kalau kamu bukan gadis kecil yang dulu lagi. Sekarang kamu sudah tumbuh menjadi gadis dewasa yang sangat cantik. Pasti banyak cowok Ausy yang mengantri ingin jadi pacar kamu,” goda Gavin dengan senyuman di wajahnya. Rani hanya menepiskan senyumannya, “kakak sendiri gimana? Bukankah ini sudah empat tahun sejak meninggalnya Kak Yasmin? Apa kakak gak ada niatan buat menikah lagi?” Gavin menyandarkan tubuhnya ke sandaran bangku taman, “entahlah. Sampai sekarang aku belum bisa melupakan Yasmin.” “Dengan menikah, kakak gak harus melupakan Kak Yasmin, karena selamanya Kak Yasmin akan tetap ada di hati kakak. Tapi, kakak juga harus melanjutkan hidup kakak. Kakak butuh seseorang untuk menemani kakak, dan merawat Zayn. Zayn pasti juga merindukan kasih sayang seorang ibu.” Gavin mengerti dengan apa yang Rani katakan. Tapi entah mengapa, hatinya belum bisa menerima wanita lain. Tapi itu bukan berarti ia gak akan pernah menikah. Hanya saja masih butuh waktu untuk menyakinkan hatinya. “Jangan bahas soal kehidupan aku. Mending sekarang kamu ceritakan soal kehidupan kamu selama di Australia. Aku yakin, banyak cowok yang tergila-gila sama kamu.” Sarah saat ini mengajak Gavin untuk duduk berdua di ruang tengah. Tentu saja setelah Zayn tidur. “Apa yang ingin Mama bicarakan sama Gavin?” bertanya setelah mendudukkan tubuhnya di sofa. Memiringkan wajahnya untuk menatap wajah mamanya yang masih saja terlihat cantik. “Mama ingin bicara soal Rani.” Gavin menyipitkan kedua matanya, dahinya mengernyit. Tentu saja karena rasa keterkejutannya. Kenapa dengan Rani? “Mama dan Tante Anggi, sudah sepakat untuk menjodohkan kamu dengan Rani. Mama harap kali ini kamu gak akan lagi menolaknya.” “Ma! kenapa Mama gak membicarakan ini dengan Gavin lebih dulu sebelum memutuskannya? Rani itu hanya sahabat Gavin, Ma. Gavin selama ini hanya menganggapnya tak lebih seperti adik Gavin sendiri.” “Karena kamu dan Rani sudah kenal sejak dulu, makanya Mama menerima tawaran teman mama itu.” “Mama mohon. Rani sudah setuju, karena dia sejak dulu sudah suka sama kamu.” Kedua mata Gavin membulat dengan sempurna. Tentu dong ia terkejut. Bagaimana mungkin Rani suka padanya sejak dulu. Padahal selama mereka bersama sikap Rani biasa saja padanya. Selain itu, waktu itu Rani masih anak bau kencur yang gak tau apa-apa soal cinta. Berbeda dengannya, yang sudah mengenal cinta. Tapi, Gavin juga tak pernah membayangkan, kalau Rani akan jatuh cinta padanya. “Mama tau dari mana kalau Rani suka sama Gavin sejak dulu?” “Dari mamanya, Rani bahkan begitu antusias saat mamanya membicarakan soal perjodohan ini.” “Tapi kenapa tadi Rani tak bilang apa-apa sama Gavin? Dia hanya menceritakan soal kehidupan dia, dan meminta Gavin untuk memulai hidup baru.” “Mungkin Rani malu. Tapi, yang terpenting keputusan kamu. Gimana? Apa kamu menerima perjodohan ini?” Gavin terlihat bimbang. Rani memang gadis yang baik. Ia juga sudah mengenal Rani sejak dulu. Tapi, ia juga tak bisa mengambil keputusan begitu saja, karena ini menyangkut masa depannya dan juga anaknya. Menikah bukanlah permainan. Bagaimana ia bisa menikah dengan Rani, sedangkan di hatinya masih ada Yasmin. Ia juga tak bisa menyakiti Rani, karena baginya, Rani sudah seperti keluarganya sendiri. “Gavin gak bisa memutuskan, Ma. Mama tau ‘kan, kalau Gavin masih cinta sama Yasmin. Gak mudah bagi Gavin untuk melupakan Yasmin begitu saja.” Sarah menyentuh lengan putranya, “Mama tau, Sayang. Tapi, Yasmin gak akan bisa hidup lagi, meskipun kamu menyimpan cinta itu selama hidup kamu. Mama gak akan minta kamu untuk melupakan Yasmin. Tapi, Mama hanya ingin kamu memulai lembaran hidup baru dengan keluarga kecil kamu yang lengkap.” “Mama juga gak bisa selamanya ada disampingmu, Sayang,” lanjutnya. Gavin menggelengkan kepalanya, “Gavin gak mau mendengar itu lagi, Ma. Mama akan selalu berada di samping Gavin. Tapi, untuk menikah dengan Rani... maaf, Gavin belum bisa, Ma. Gavin gak mau menyakiti Rani nantinya.” Gavin lalu beranjak dari duduknya, “Gavin ingin pembicaraan ini cukup sampai disini, Ma. Jangan bahas ini lagi.” Gavin lalu melangkah pergi dari ruangan itu. Menuju tangga dan menaikinya satu persatu. Tapi, yang menjadi tujuan langkahnya bukan kamarnya, melainkan kamar putranya—Zayn.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD