Fernandes mengetuk pintu ruangan Gavin, ia lalu membuka pintu itu setelah mendengar suara sahutan dari dalam.
“Astaga! Apa ini sikap seorang bos yang baik? Membiarkan aku bekerja keras sendirian, sedangkan kamu malah enak-enakan disini!” kesalnya saat melihat Gavin yang tengah duduk bersantai di sofa sambil menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa.
Gavin terkekeh. Ia memang sengaja melimpahkan semua pekerjaan hari ini kepada Fernandes.
Meeting siang ini bahkan Fernandes yang menghandlenya, karena dirinya sedang tak bisa fokus sama pekerjaan, karena kata-kata mamanya yang semalam terus berputar di otaknya.
Fernandes mendudukkan tubuhnya di samping Gavin, “kenapa lagi? kamu ada masalah apa lagi, hem?”
Gavin mengambil nafas lalu mengeluarkannya secara perlahan, “apa aku benar-benar harus menikah?”
“Kenapa tiba-tiba kamu menanyakan itu? apa mama kamu kembali menjodohkan kamu dengan anak teman-temannya?”
Gavin mengangguk pelan, “tapi kali ini aku mengenal siapa gadis itu.”
“Apa aku mengenalnya?”
Gavin menggelengkan kepalanya, “dia teman masa kecilku. Rani.”
“Apa dia cantik?”
“Kenapa? kamu mau sama dia?” Gavin geleng kepala.
Fernandes nyengir kuda, “siapa tau setelah ditolak sama kamu, dia mau sama aku.”
“Aku belum memberi jawaban. Aku hanya bilang sama mama, kalau aku gak mau bahas itu lagi. Memang salah ya, kalau aku lebih memilih untuk sendiri dulu? aku hanya ingin fokus sama Zayn. Itu aja.”
Fernandes menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa. Bingung juga mau jawab apa. Ia sendiri juga memilih untuk sendiri dulu, sebelum menemukan wanita yang tepat untuk dinikahinya. Tapi, kasusnya dengan sahabatnya ini beda.
Sahabatnya sudah duda dan berbuntut satu, sedang dirinya, masih single sampai sekarang.
“Bukannya salah, Vin. Mungkin mama kamu melakukan itu juga demi Zayn. Bagaimanapun juga, Zayn butuh figur seorang ibu, dan itu gak bisa kamu berikan.”
“Aku masih bisa memberikan apapun yang Zayn minta. Selama ini Zayn juga tak pernah mengeluh apapun, kecuali...” Gavin menggantungkan ucapannya.
Fernandes mengernyitkan dahinya, saat Gavin tak melanjutkan ucapannya, “kecuali apa?” tanyanya penasaran.
“Zayn selalu bertanya, kenapa mamanya pergi gak mengajaknya. Saat Zayn menanyakan mamanya, aku selalu berkata, kalau mamanya sekarang berada di tempat yang indah. Makanya, Zayn ingin pergi ke tempat indah itu untuk bertemu mamanya.”
Gavin lalu menghela nafas, “kemarin Zayn juga bilang sama aku, kalau dia ingin seperti teman-temannya. Mempunyai seorang mama dan dijemput oleh mama dan papanya.”
Gavin mengerjapkan kedua matanya, untuk menghalau cairan bening yang sudah lancang memenuhi kedua sudut matanya.
“Mungkin Zayn merindukan mamanya. Saat Yasmin pergi, saat itu usia Zayn masih satu tahun, dia belum tau apa-apa. Tapi, sekarang usia Zayn sudah empat tahun, itu sebabnya dia selalu menanyakan mamanya.”
Gavin kembali menghela nafas panjang, “tapi meskipun begitu, aku belum siap untuk menikah lagi. Aku masih sangat mencintai Yasmin, aku gak mau mengkhianatinya. Sampai kapanpun, hanya Yasmin yang akan ada di hati aku.”
Fernandes menepuk bahu Gavin, “pikirlah kembali. Pikirkan juga sisi positifnya untuk pertumbuhan Zayn nantinya. Tanyakan pada hatimu sekali lagi, dan ingat, Yasmin sudah gak ada di dunia ini lagi. Kamu harus mulai melepaskan nya, dia sudah tenang disana, Vin. Kamu juga harus memikirkan masa depanmu.”
Semalaman Gavin sama sekali tak bisa tidur. Kata-kata yang Fernandes ucapkan kemarin, terus berputar di otaknya.
Apa dirinya sudah egois dan mementingkan dirinya sendiri, hingga sama sekali tak peduli dengan kebahagiaan putra semata wayangnya? Seperti itulah yang Gavin pikirkan.
“Sayang, apa yang kamu pikirkan?” tanya Sarah penasaran.
Gavin menggelengkan kepalanya. Tak mungkin juga dirinya akan mengatakan, kalau dirinya saat ini tengah memikirkan tentang perjodohan yang mamanya tawarkan padanya.
Gengsi dong.
“Nanti kamu antar Zayn ke sekolah ya, soalnya Zayn ingin sekali di antar sama kamu.”
Gavin menatap putranya yang tengah menikmati sepotong roti dengan selai nanas kesukaannya.
“Iya, Ma. Kebetulan Gavin gak ada meeting pagi ini,” ucapnya sambil mengusap puncak kepala Zayn.
“Habisin rotinya ya, Sayang. Jangan lupa diminum susunya juga.”
“Iya, Nek. Kata Bunda Shanum, Zayn harus minum susuu biar sehat.”
Zayn menghabiskan rotinya yang tinggal satu gigitan. Setelah itu mengambil gelas yang berisi susuu hangat, dan meminumnya.
“Anak Papa ini memang pintar,” puji Gavin saat Zayn menghabiskan susunya.
“Sekarang Zayn pamit sama Nenek dulu.”
Zayn menganggukkan kepalanya. Ia lalu beranjak dari duduknya, melangkah menghampiri sang nenek.
“Zayn berangkat sekolah dulu ya, Nek,” pamitnya sambil mencium punggung tangan neneknya.
Sarah mencium kedua pipi cucunya, “di sekolah jangan nakal ya, Sayang. Dengerin apa kata Bunda Shanum dan juga Bunda Yumna.”
Zayn menganggukkan kepalanya, “baik, Nek.”
Gavin beranjak dari duduknya, melangkah mendekati mamanya dan Zayn.
“Gavin juga berangkat kerja dulu, Ma,” pamitnya lalu mencium punggung tangan mamanya.
“Hati-hati di jalan ya, Sayang. Keselamatan kamu dan anak kamu tetaplah yang utama.”
Gavin menganggukkan kepalanya, “baik, Ma. Ayo, Sayang, nanti kamu terlambat ke sekolah,” ucapnya lalubmenggandeng tangan Zayn.
“Da da, Nek.” Zayn melambaikan tangannya ke arah neneknya.
Sarah membalas lambaian tangan Zayn dengan senyuman di wajahnya. Melihat pertumbuhan cucunya selama ini, membuatnya merasa tenang. Meskipun tanpa kasih sayang dari ibunya, Zayn tumbuh menjadi anak yang cerdas.
Andai Gavin mau menerima perjodohannya dengan Rani. Zayn pasti bisa kembali merasakan kasih sayang seorang ibu.
Gavin memasang sabuk pengaman di tubuh Zayn. Ia lalu memasang sabuk pengaman di tubuhnya. Setelah itu mulai melajukan mobilnya keluar dari pintu gerbang rumahnya.
“Pa, nanti Zayn mau kenalin Bunda Shanum sama Papa. Bunda Shanum baik deh, Pa.”
Gavin mengusap puncak kepala Zayn, “benarkah?”
“Iya, Pa. Bunda Shanum juga selalu menemani Zayn makan. Zayn juga sering dibawain bekal makan siang sama Bunda Shanum.”
Gavin mengernyitkan dahinya, “bekal makan siang? Apa nenek juga tau soal itu, Sayang?” tanyanya terkejut.
Zayn menganggukkan kepalanya, “masakan Bunda Shanum enak lho, Pa.”
Kenapa Mama gak mengatakan apapun tentang masalah ini sama aku?
Gavin menatap putranya sebentar, lalu kembali menatap ke depan. “Zayn harus mengucapkan terima kasih sama Bunda Shanum. Ok?”
Zayn menganggukkan kepalanya, “Zayn sudah melakukan itu, Pa. Zayn selalu mengucapkan terima kasih sama Bunda Shanum yang sudah baik sama Zayn.”
Setelah setengah jam, mereka sudah sampai di depan sekolah Zayn. Banyak anak-anak yang diantar oleh kedua orang tuanya ke sekolah.
Gavin membuka pintu mobilnya, ia lalu melangkah keluar dari mobil. Berjalan memutar untuk membuka pintu mobil untuk Zayn.
Gavin melepas sabuk pengamannya, lalu membawa Zayn keluar dari mobil, lalu menggandeng tangan Zayn.
“Pa, itu ada Bunda Shanum,” ucap Zayn sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah wanita yang tengah berdiri di depan lobby sekolah.
Gavin mengarahkan tatapannya ke arah yang ditunjuk Zayn, “kita kesana ya, Sayang,” ajaknya.
Gavin dan Zayn melangkah menghampiri Shanum yang tengah menyapa anak-anak didiknya yang tengah diantar oleh orang tua mereka.
“Pagi Bunda Shanum,” sapa Zayn lalu mencium punggung tangan Shanum.
Shanum duduk berjongkok di depan Zayn, “pagi, Sayang. Anak Bunda Shanum sudah tampan. Sudah siap untuk belajar hari ini?”
Zayn menganggukkan kepalanya, “siap dong, Bunda.”
“Kalau begitu, kasih tos dulu dong sama Bunda Shanum,” pinta Shanum lalu mengangkat tangan kanannya dan mengepalkan telapak tangannya.
Zayn melakukan hal yang sama, lalu menyatukan telapak tangannya dengan telapak tangan Shanum dengan sedikit hentakan.
“Pintar.”
Shanum mengusap puncak kepala Zayn. Ia lalu beranjak dari duduknya, kini tatapannya mengarah ke pria berjas yang sejak tadi berdiri di samping Zayn.
Gavin tersenyum. Ia tak menyangka, anaknya akan sedekat ini dengan guru pengajarnya.
“Saya papanya Zayn.” Gavin mengulurkan tangannya.
Shanum menjabat tangan itu dengan canggung.
“Gavin.”
“Shanum,” ucap Shanum dengan menepiskan senyumannya.
Shanum menarik tangannya, “Sayang, pamit sama papa dulu. Setelah itu kita masuk ke kelas,” ucapnya sambil mengusap puncak kepala Zayn.
Zayn menganggukkan kepalanya, “Zayn mau belajar sama Bunda Shanum dulu ya, Pa,” pamitnya lalu mencium punggung tangan papanya.
Gavin duduk berjongkok di depan Zayn, “ingat pesan Papa ya, Sayang. Jangan nakal. Zayn harus dengerin apa kata Bunda Shanum.”
“Baik, Pa.”
“Anak pintar.”
Gavin beranjak dari duduknya, “em... saya titip Zayn ya, Bun. Tolong segera hubungi saya, kalau terjadi apa-apa sama Zayn.”
Shanum menganggukkan kepalanya, “semua guru yang mengajar disini akan menjaga anak-anak didik mereka. Jadi anda tidak perlu cemas,” ucapnya sambil menepiskan senyumannya.
“Ayo, Sayang. Teman-teman Zayn sudah menunggu di kelas.”
Shanum menggandeng tangan Zayn, mengajaknya masuk ke loby sekolah.
“Da da, Papa,” ucap Zayn sambil melambaikan tangannya.
Gavin menatap kepergian anaknya sambil membalas lambaian tangan Zayn.
Gavin melihat jam di pergelangan tangannya. Ia lalu bergegas menuju mobil, karena ia sudah terlambat pergi ke kantor.
Shanum kini tengah berada di dalam kelas, mengawasi anak-anak didiknya yang tengah bermain dengan teman-temannya.
Yumna menyenggol lengan Shanum, “siapa pria tampan yang tadi berdiri di lobby?” godanya.
Shanum mengernyitkan dahinya, “pria tampan? Yang mana maksud kamu?”
Tadi banyak pria yang berdiri di lobby untuk mengantar anak-anak mereka. Siapa yang Yumna maksud?
“Yang sama Zayn tadi. Jangan pura-pura amnesia deh.”
“O... itu papanya Zayn. Kenapa? kamu naksir sama dia?”
“Papanya Zayn? Bukankah Zayn sudah gak punya ibu? Itu artinya papanya sekarang duda dong?”
Shanum memutar matanya jengah.
Sahabatnya ini tak pernah berubah. Lihat cowok bening dikit, langsung deh.
“Kira-kira, Zayn sudah punya calon mama baru belum ya? kalau belum, aku pengen deh mendaftar.” Yumna nyengir kuda menatap Shanum yang kini membulatkan kedua matanya.
Astaga!
Zayn berjalan mendekati Shanum dan Yumna, “Bunda Shanum, Zayn mau buang air kecil.”
Yumna beranjak dari duduknya, “gimana kalau Bunda Yumna yang mengantar Zayn ke toilet?”
Kalau bisa dekat ama anaknya, siapa tau bisa dekat ama bapaknya juga.
“Zayn mau sama Bunda Shanum,” tolak Zayn.
Shanum tertawa, “kayaknya niat kamu gagal deh,” ucapnya lalu beranjak dari duduknya.
“Ayo, Sayang. Bunda Shanum antar ke toilet,” ajaknya lalu menggandeng tangan Zayn.
Mereka lalu melangkah keluar kelas.
Yumna kembali mendudukkan tubuhnya di bangku yang tadi didudukinya.
Gak apa, masih ada hari esok. Yumna menyemangati dirinya sendiri.
Gavin dan Fernandes sedang memeriksa berkas-berkas yang akan mereka gunakan untuk meeting siang ini.
Tiba-tiba ponsel Gavin berdering.
Gavin mengambil ponselnya dari atas meja, lalu melihat siapa yang menghubunginya.
“Halo, Ma,” sahutnya setelah panggilan itu mulai tersambung.
“Sayang, apa kamu bisa menjemput Zayn? Mama gak bisa menjemput Zayn, karena kepala Mama sedikit pusing.”
“Baik, Ma. Mama istirahat aja, biar Gavin yang jemput Zayn di sekolah.”
“Maafin Mama ya, karena sudah mengganggu pekerjaan kamu.”
“Gak kok, Ma. Gavin akan jemput Zayn sekarang. Mama istirahat aja.”
Gavin lalu mengakhiri panggilan itu.
“Kenapa?” tanya Fernandes penasaran.
“Mama gak bisa jemput Zayn ke sekolah. Aku juga gak bisa melewatkan meeting ini.”
“Biar aku aja yang jemput. Aku gak ikut meeting gak apa ‘kan?”
Gavin menganggukkan kepalanya. Ia tak punya pilihan lain, karena dirinya harus hadir dalam meeting siang ini.
“Sebelum mengantar Zayn pulang, sekalian kamu mampir ke restoran. Belikan makanan untuk Zayn dan mama aku.”
“Siap, Bos.”
Fernandes lalu beranjak dari duduknya, “aku berangkat sekarang aja. Kasihan Zayn sudah menunggu dari tadi.”
“Hem...”
Fernandes lalu melangkah keluar dari ruangan Gavin.
“Zayn pasti terkejut saat tau aku yang menjemputnya,” ucapnya sambil memainkan kunci mobil yang ada di tangannya.
Fernandes menghentikan mobilnya tepat di halaman sekolah Zayn. Ia lalu membuka pintu mobil dan melangkah keluar dari mobil.
Fernandes melihat Zayn yang tengah duduk di bangku panjang bersama dengan wanita cantik.
Itu kan wanita yang ada di video yang Tante Sarah kirim ke Gavin. Ternyata lebih cantik aslinya.
Fernandes melangkahkan kakinya menghampiri Zayn dan Shanum. “Hai, Sayang,” sapanya sambil melambaikan tangannya ke arah Zayn.
“Om Fernandes! Kok Om yang jemput? Papa kemana, Om?” terlihat raut kecewa di wajah Zayn.
Fernandes mengusap puncak kepala Zayn, “Papa kamu ada pekerjaan yang gak bisa ditinggal, Sayang. Jadi Om yang jemput kamu.”
Fernandes lalu menatap Shanum, “terima kasih ya bunda....”
“Shanum,” ucap Shanum dengan menepiskan senyumannya.
“Shanum, karena telah menemani Zayn,” ucapnya dengan senyuman di wajahnya.
“Itu sudah tugas saya untuk memastikan anak-anak didik saya sudah dijemput oleh keluarganya. Tadi Bu Sarah sudah menghubungi saya, kalau papanya Zayn yang akan menjemput. Tapi ternyata...”
Shanum melihat wajah Zayn yang murung, “sepertinya Zayn kecewa, karena bukan papanya yang menjemputnya,” lanjutnya sambil membelai puncak kepala Zayn.
Fernandes berjongkok di depan Zayn, “em... gimana kalau kita ajak Bunda Shanum untuk makan siang, Sayang?”
Modus.
Dasar Fernandes.
Wajah Zayn berubah ceria, “mau, Om,” sahutnya dengan senyuman di wajahnya.
Fernandes mendongakkan wajahnya menatap Shanum, “Zayn ajak Bunda Shanum. Mau gak Bunda Shanum makan siang sama kita berdua.”
Shanum masih diam mematung.
Zayn menatap guru pengajarnya itu, “Bunda Shanum, mau ‘kan pergi makan siang sama Zayn dan Om Fernandes?”
Shanum berjongkok di samping Zayn, “maafin Bunda Shanum ya, Sayang. Bunda Shanum gak bisa pergi sama Zayn, karena Bunda Shanum masih ada pekerjaan. Gak apa ‘kan, Sayang?”
Zayn terlihat kecewa dengan jawaban Shanum. Melihat kekecewaan di wajah Zayn, membuat Shanum tak enak hati.
Fernandes menggenggam tangan Zayn, “gak apa, Sayang. Mungkin Bunda Shanum sedang banyak pekerjaan. Tapi, lain kali, Bunda Shanum pasti mau menemani Zayn untuk makan siang. Iya ‘kan, Bunda?” tanyanya sambil menatap Shanum.
Shanum tak punya pilihan lain selain menganggukkan kepalanya. Ia tak ingin melihat Zayn semakin merasa kecewa.
“Lain kali, Bunda Shanum akan menemani Zayn untuk makan siang,” ucap Shanum sambil mengusap pipi Zayn.
"Bunda janji?" tanya Zayn memastikan.
Meskipun Zayn masih kecil. Tapi ia tak ingin dibohongi.
Fernandes lalu beranjak berdiri, begitu juga dengan Shanum.
“Kita pergi sekarang, Sayang,” ajaknya lalu menggandeng tangan Zayn.
Zayn melambaikan tangannya ke arah Shanum dan dibalas oleh Shanum.
"Da da, Bunda. Zayn pulang dulu ya, Bunda."
"Da da, Sayang, sampai ketemu besok lagi di sekolah," balas Shanum dengan senyuman di wajahnya.