Ravin masih berkutat dengan tumpukan berkas pelamar kerja, saat ini Ravin dan tim sedang melakukan penilaian kepada karyawan yang tadi di wawancara untuk diloloskan ke tahap berikutnya. Yang mendapat nilai tinggi tentu akan langsung lolos dan yang mendapat nilai rendah dengan sangat terpaksa harus ditolak perusahaan.
Hingga pada sebuah nama Darren, ke empat pewawancara sepakat memberinya nilai rendah. Darren dinilai tidak mempunyai keahlian dan pengalaman kerja di bidang yang mereka butuhkan.
“Mengapa nilainya sangat rendah?” tanya Ravin dengan wajah seriusnya, jelas hari ini merupakan hari yang melelahkan namun dia tak mau membuang emosinya, selama ini dia selalu bisa mengendalikannya.
“Dia sepertinya tidak cocok dengan perusahaan kita,” ucap salah satu rekan Ravin.
“Kenapa? Apa karena dia berasal dari desa? Atau usianya yang sudah hampir tiga puluh, sementara dia baru lulus kuliah?” tanya Ravin, menatap mata rekannya satu persatu.
“Jawaban dia juga kurang memuaskan dan ... ya dia kurang berpengalaman,” timpal rekan lainnya. Ravin menghela napas panjang.
“Saya yakin dia akan cepat berkembang, anggap saja dia sama seperti lulusan baru dan jangan lihat dari usianya, tolong ubah nilainya.”
“T-tapi pak?”
“Bukankah saya punya hak merekrut seorang karyawan melalui jalur pribadi?” tanya Ravin seolah berbicara pada dirinya sendiri. Hingga ke empat rekannya mengangguk dan mengubah nilai Darren. Darren akan lolos di babak selanjutnya. Ravin yakin pasti ada sesuatu dalam diri Darren yang membuatnya penasaran.
“Untuk Angel,” ucap salah satu rekan Ravin.
“Oh iya, Angel masukkan ke dalam kandidat sekretaris,” ucap Ravin. Tadi dia sempat mendapat perintah dari asisten pribadi Enzi yang mengatakan bahwa pemilik perusahaan itu menunjuk langsung Angel untuk mengikuti interview bagian kesekretariatan.
“Padahal dia bukan lulusan kesekretariatan,” potong rekan lainnya.
“Sekretaris pak Enzi tak hanya satu, dia bisa mempelajari hal itu dari rekannya nanti,” ucap Ravin, memindahkan berkas Angel ke tempat terpisah.
Dia menggerakkan lehernya yang terasa sangat pegal, dia sangat ingin pulang namun pekerjaannya sangat banyak, dia rindu masakan bundanya dan ingin berbaring di paha sang bunda yang tentu akan mengusap rambutnya dengan lembut. Ah Ravin teringat belum menelepon sang ibu hingga dia meminta waktu rehat sebentar dan keluar dari ruangan.
“Bunda ... ,” panggil Ravin.
“Kamu masih di kantor? Sudah malam lho ini,” ucap Triana dari seberang sana.
“Bun, masak apa hari ini?”
“Udang goreng kesukaan kamu, tapi sudah dingin, bunda tunggu kamu dari tadi nggak pulang-pulang,” rutuk Triana membuat Ravin terkekeh.
“Aku sepertinya masih lama Bun, jangan tunggu aku. Bunda tidur saja duluan nanti kalau aku mau makan, aku hangatin di microwave,” ucap Ravin.
“Bunda tetap akan tunggu kamu, sayang. Jangan kecapekan ya, bunda sudah beliin vitamin untuk kamu dan ayah.”
“Terima kasih Bun, aku lanjut kerja ya,” ucap Ravin.
“Iya, semangat ya sayang,” tutur Triana sebelum memutuskan panggilan itu. Ravin pun mengunci layar ponselnya, menampilkan foto dirinya dan kedua orang tua ketika hari raya kemarin. Dia sangat bahagia berada di sisi kedua orang tuanya.
Meskipun ... dia tahu bahwa dia bukan anak kandung mereka. Namun Ravin bahkan tak mau mencari tahunya, karena kenyataan itu membuatnya sedih, dia tetap ingin menganggap kedua orang yang membesarkannya itu adalah orang tua kandungnya. Toh mereka bilang kedua orang tuanya telah meninggal. Ravin terlalu takut, menerima kenyataan pahit lagi. jadi dia benar-benar menikmati kehidupan bahagianya bersama keluarganya yang hangat.
***
Ravin mengendarai mobilnya, membelah jalan perkotaan yang mulai sepi. Maklum sudah lewat pukul sepuluh. Mungkin sebagian orang sudah tertidur nyaman di kamar mereka. Dan sebagian lagi masih berjuang, berpeluh keringat mencari rejeki untuk menyambung hidup mereka.
Ravin menyalakan radio, seorang pembawa acara membacakan sebuah email dari penggemar yang menceritakan bahwa dia adalah anak adopsi.
Ingatan Ravin melayang ke sepuluh tahun lalu. Ya, saat itu kelulusan sekolah menengah atasnya.
Ravin masih mengenakan seragam SMA kala itu, sebagai siswa berprestasi dia langsung mendapat undangan untuk kuliah di kampus ternama, betapa bangga kedua orang tuanya.
Selama ini Ravin memang merasa wajah dan beberapa bagian tubuhnya tampak tidak sama dengan kedua orang tuanya, dia nyaris tak menemukan kesamaan sama sekali. Dia sangat tinggi sejak SMP namun sang ayah justru bertubuh pendek.
Meskipun begitu, orang tuanya sangat menyayanginya. Ketika acara keluarga, sering keluarga lain menatapnya sambil berbisik yang terkadang membuat Ravin risih dan tidak nyaman, namun sebagai anak yang baik, Ravin tetap ikut jika ada acara keluarga besar. Dia mulai tak mempedulikan tatapan aneh yang mengarah kepadanya.
Dari semua keluarga yang hadir, dia pun merasa seolah bukan bagian dari mereka, tak ada satupun yang mempunyai wajah sedikit saja mirip dengannya. Padahal sepupu lainnya mempunyai kesamaan, entah dari rambut, bentuk mata, hidung, atau bibir.
Suatu malam, Ravin pernah mendengar suara kedua orang tuanya namun samar dan dia merasa mungkin dia bermimpi kala itu.
“Kapan kita beritahu tentangnya?” suara sang ayah terdengar seperti bergetar.
“Bunda belum siap, Yah. Bunda nggak mau sikapnya berubah ke kita jika tahu,” ucap sang ibu sambil terisak. Ravin tak mengerti apa yang mereka bicarakan dan tak baik mencuri dengar percakapan orang tua, karenanya dia memilih kembali ke kamar.
Namun, hari itu ... sebuah kenyataan seolah memukulnya. Ravin berniat menemui orang tuanya yang dipanggil kepala sekolah untuk menjelaskan kampus yang menginginkan Ravin menjadi mahasiswanya.
Ravin mengintip dari celah jendela teralis besi, kedua orang tuanya duduk di kursi seberang meja kepala sekolah. Persis seperti orang tua mengambil rapor sang anak.
“Ravin di sekolah sangat pintar dan juga baik hati, saya tahu pasti karena keturunan ibunya. Katanya kecerdasan anak menurun dari ibunya lho,” ucap kepala sekolah itu. Triana hanya tersenyum dan menggeleng.
“Saya tidak pintar, Bu. Bahkan saya pernah tinggal kelas,” tutur Triana seraya menahan tawanya.
“Wah kalau begitu dari, Bapak?” ujar sang kepala sekolah. Bachtiar pun menggeleng seraya tertawa.
“Nggak mungkin lha bu, saya dulu memang peringkat dua di kelas, namun ... dua dari belakang,” kekehnya membuat sang kepala sekolah tertawa.
“Wah saya jadi penasaran, terkadang saya menebak kecerdasannya berasal dari mana?” kekeh ibu kepala sekolah. Ravin masih tersenyum lebar kala itu, membayangkan wajah kedua orang tuanya saat tertawa, yang selalu membuatnya tenang berada di rumah hangat itu.
“Pasti orang tuanya yang cerdas, Bu,” ucapan Triana seperti petir menggelegar di telinga Ravin, dia bahkan mengorek kupingnya sendiri, khawatir salah dengar. Hingga sang kepala sekolah mengatakan sebuah kalimat yang masih diingatnya sampai kini, “jadi benar dia anak angkat?”
Ravin tak menghiraukan apa-apa lagi, dia berlari untuk pulang ke rumah, dia perlu mencari bukti bahwa dia adalah anak adopsi. Sesampainya di rumah, dia langsung masuk ke kamar ibu. Dia tahu dimana sang ibu menyimpan berkas pentingnya. Dia pernah diminta tolong mengambilkan, namun dia tidak pernah berani membuka map itu.
Namun kini ... dia merasa perlu membuktikannya, untuk tahu bahwa apa yang mereka katakan tadi tidak benar. Mungkin mereka hanya bercanda.
Ravin membuka lembar demi lembar berkas yang berada di map holder, tampak satu kertas yang masih terlihat rapih meski warna kertasnya sudah menguning. Dia tak kuasa menahan tangis ketika melihat isi surat itu yang menyatakan bahwa dia telah di adopsi.
Ravin menutup berkas itu setelah melihat nama kedua orang tuanya. Dia pun meletakkan map itu di tempat semula. Lalu dia keluar dari kamar orang tuanya dan mengurung diri di kamar. Dia tak menyangka orang yang paling dicintainya di dunia ini, bukanlah orang tua kandungnya.
***
Ravin memarkirkan mobil di garasi rumahnya. Melihat motor tua sang ayah yang masih terparkir, bahkan motor itu kini nampak seperti motor antik karena sang ayah sangat merawatnya. Meskipun ayah lebih sering menggunakan mobil. Ravin selalu teringat, setiap pagi sang ayah yang mengantarnya sekolah sampai Ravin memiliki SIM dan diberikan motor baru.
Motor ini ikut mendengar cerita seru Ravin dengan sang ayah setiap pagi. Bahkan ketika SMP dan SMA saat ayah mengantarnya, Ravin tak akan segan berpegangan kepada sang ayah dan sesekali memeluknya, lalu mereka akan tertawa sambil bergidik geli.
Ravin mengusap stang motor itu, lalu tersenyum ke arah motor itu.
“Ehem, si jagur laki-laki lho Vin, bukan perempuan,” sebuah suara berat terdengar dari arah pintu. Ravin terkekeh melihat wajah tua sang ayah, yang membesarkannya dengan penuh kasih sayang.
Bahkan setelah mereka pada akhirnya menjelaskan tentang Ravin yang bukan anak kandung mereka pun, mereka tak pernah merubah sikap, justru terlihat semakin perhatian kepada Ravin. Yang membuat Ravin pada akhirnya bisa menerima kenyataannya dan bersyukur karena yang mengadopsinya adalah pasangan suami istri yang sangat baik terhadapnya dan melimpahinya dengan penuh kasih sayang.
“Ayah, sudah hampir jam sebelas, kok belum tidur?” ujar Ravin, melihat ke jam tangannya lalu menghampiri sang ayah dan mengecup punggung tangannya.
“Kamu belum pulang, mana bisa ayah tidur pulas?” cibir sang ayah, setelah Ravin masuk rumah, dia pun mengunci pintu dan mengekor sang putra.
“Bagaimana jika aku sudah menikah nanti? Apa setiap malam ayah nggak akan bisa tidur? Padahal aku sudah tinggal di rumah aku dan istri?” rutuk Ravin berpura merajuk.
“Kalau itu beda lah, yang menunggu kamu bukan ayah atau bunda lagi, tapi istri kamu,” kekeh sang ayah. Ravin menggeleng geli dan langsung menuju dapur, dia terbiasa memakan masakan sang ibu. Karena itu, se-malam apapun dia pulang, dia pasti akan makan. Bukan karena dirinya lapar, namun cara ini adalah bentuk penghargaan kepada sang ibu.
“Sudah ayah tidur sana, nggak usah menemani, aku bisa sendiri kok,” usir halus Ravin ketika ayahnya menarik kursi meja makan, bersiap untuk menemani makan sang anak.
“Yakin nggak apa-apa? Ayah tinggal ya, ngantuk, padahal tadi nggak ngantuk sebelum kamu pulang. Apa kamu mengandung obat tidur ya?” ledek sang ayah seraya beranjak pergi. Ravin hanya mendengus dan tertawa. Dia tahu bukan dia yang mengandung obat tidur. Namun rasa aman karena anaknya telah pulang dengan selamat ke rumah yang membuat sang ayah jadi mengantuk.
Ravin memakan udang goreng tepung dengan perlahan, tidak memakai nasi karena perutnya yang terasa penuh. Mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Rumah ini, masih rumah yang sama sejak dia kecil, semuanya tampak tak berubah termasuk rasa sayang kepada kedua orang tuanya.
***